"Minggir! Minggir! Minggir! Minggir! Dodot, pesenan gue kayak biasanya!" Suara Biru kemudian menghilang, digantikan dengan keriuhan siswa yang berdesak-desakan masuk ke kantin.
"Bar-bar banget, Lo! Itu pesenan gue!"
"Aduh, kaki gue keinjek, ya!"
"Ini apa, sih? Santai, donk! Gue mau bayar doank."
"Woy, anak kelas berapa Lo? Anak kelas satu nggak boleh masuk kantin sini!"
Jam makan siang merupakan jam yang paling dinantikan para siswa sekaligus jam yang paling sibuk di kantin. Setelah penat mengikuti pelajaran yang membosankan, para siswa akan berbondong-bondong keluar dari kelas mereka dan berdesak-desakkan ke kantin.
Bukan tanpa alasan, dengan jumlah kantin yang terbatas serta jam istirahat yang hanya 15 menit, mau tak mau mereka harus berjuang untuk mendapatkan makanan mereka sebelum bel kembali berdering. Tak jarang, situasi di kantin lebih mirip seperti para pengungsi perang yang kelaparan. Mereka berteriak, berebut, dan mendorong satu sama lain. Namun, pemandangan tersebut sudah menjadi hal yang biasa, jadi tidak ada orang yang akan protes.
Biru mencoba berjalan melawan arah. Ia memilih untuk keluar dari kantin dan menyerahkan pesanannya ke pemuda yang ia sebut Dodot. Ia sama sekali tak mau tahu dengan situasi di kantin, dan hanya berharap bahwa Dodot bisa mendapatkan pesanannya.
Biru berlari-lari kecil menuju kelasnya dan langsung berjalan ke pojok kelas.
Sebuah kipas tua yang tidak lagi sempurna, berputar di belakang sebuah kursi yang tidak pada tempatnya. Kursi itu menjadi favorit Biru, karena tidak ada siswa yang berani duduk di atas kursi tersebut. Kursi itu sudah lama terletak di pojokan kelas. Tanpa meja dan tidak ada di barisan.
Rumor mengatakan bahwa kursi tersebut adalah milik salah satu siswa yang menghilang dua tahun lalu, yang sampai saat ini tidak ditemukan jasadnya atau bahkan berita kematiannya. Karena para siswa merasa aneh dan trauma dengan menghilangnya teman sekelas mereka, akhirnya kursi itu dikeluarkan dari barisan dan diletakkan di pojok kelas begitu saja.
Beberapa siswa kemudian membuat sebuah cerita, bahwa siapapun yang duduk di kursi tersebut akan ikut menghilang.
Awalnya cerita tersebut hanya sebuah cerita yang dibuat untuk bersenang-senang.
Sampai pada suatu waktu, seorang siswa laki-laki, nekat menukar kursinya dengan kursi tersebut. Lalu esoknya siswa tersebut juga menghilang. Pihak keluarga telah melaporkan kehilangannya ke polisi. Setiap kota ditelisik, dan teman-temannya diselidiki. Namun, tetap saja keberadaan siswa tersebut bagai hilang ditelan bumi. Tidak ada jejak, seolah-olah ia tidak pernah ada di dunia ini.
Para siswa kemudian mencoba memindahkan kursi tersebut ke gudang. Esok harinya, dua siswa yang menggotong kursi tersebut ke gudang juga ikut menghilang. Kasusnya sama dengan siswa pertama yang menghilang. Tidak ada jejak, tidak ditemukan jasad, atau berita kematian.
Kursi itu akhirnya dikembalikan ke pojokan kelas, dan sampai sekarang tidak ada yang berani mendekatinya atau bahkan duduk di atasnya. Tidak ada, sampai Biru menempati kelas ini dan menjadi orang pertama yang mematahkan rumor tersebut.
Sudah seminggu Biru menjadikan kursi sebagai singgasananya. Tidak ada kejadian apapun yang menimpa Biru dan ia masih tetap bersekolah. Ia tidak menghilang seperti rumor yang sudah diceritakan sebelum-sebelumnya.
Awalnya Biru juga mendengar tentang rumor tersebut dan merasa takut. Namun, ia sudah terlanjur nyaman, karena dengan duduk di kursi itu, tidak ada yang akan mengganggunya membaca buku.
"Batagornya habis, gue ganti siomay nggak apa-apa, 'kan?"
Biru yang sedang asyik duduk sambil membaca sebuah novel, terkejut mendengar suara yang tiba-tiba datang.
YOU ARE READING
The Rooms
Mystery / ThrillerRumor tentang hilangnya siswa semakin marak, ketika semakin banyak kasus siswa hilang tanpa jejak. Mereka menghilang di sudut bumi, tanpa jasad, tanpa kabar kematian. Seolah-olah, mereka tak pernah ada. Biru tak pernah ambil pusing dengan rumor ter...