Bagian 2: Kalau Kamu suka bilang

20 1 0
                                    

Saat itu kelas MIPA 5 dan MIPA 4 dapat kelas olahraga gabungan. Lail dan Karin berjalan menuruni tangga, Tara mengekori mereka dari belakang.

Lapangan sudah dipenuhi gabungan kedua kelas itu. Mungkin mereka yang terakhir datang.

Dari jauh, Lail dapat melirik sekilas. Pra yang berbaris di antara para siswa lainnya. "Eh gue di sini aja, Rin." Lail mengambil posisi yang jauh dari baris cowok yang ia perhatikan tadi.

Sejak insiden Pengakuan itu. Lail tidak bisa tidak menghiraukan keberadaan Pra.

"Loh sini aja, bareng gue. Nanti kita ga sekelompok Lail, lagian gue juga gak bisa gabung di barisan itu karena udah 4 orang." Lail mengamati barisannya, benar saja ia adalah orang terakhir yang melengkapi barisan itu.

Lail menghela napas ia akhirnya menurut, berdiri di belakang Karin. Tak jauh dari tempat Pra berdiri.

"Siapa yang bolehin kalian ikut baris?" Tegas Pak Surya, guru olahraga.

Karin, Lail, dan Tara sontak melempar pandang. "Kalian bertiga itu terlambat, sekarang sudah pukul berapa?"

Lail reflek melihat jam tangan konvesionalnya, benar saja mereka sudah terlambat 15 menit. "lima putaran untuk kalian berdua, Tara tujuh putaran. Dimulai dari sekarang."

Tanpa bisa menolak, ketiganya mulai berlari.

Napas Lail tersengal-sengal, ini baru satu putaran tapi kenapa ia sudah merasa letih. Memang kalau dilihat dari ukurannya, lapangan sekolah mereka termasuk luas.

Tiga putaran, untuk Lail sedangkan Karin sudah empat. Lail tahu jelas, temannya itu terlihat bersemangat, ditambah berlarian dengan Deantara beriringan.

Hingga Lima putaran berhasil Lail lakukan, ia terduduk di tepi lapangan. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya menyucur deras.

Tampak dari jauh, Lail dapat melihat Karin menghampirinya, "Nih Lail, minum."

Matanya berbinar, sungguh temannya peka sekali. Ia meneguknya dengan cepat, hingga tersisa setengah.

"Punya Pra, balikin ke orangnya lagi ya nanti." Tukas Karin pergi kembali ke barisannya.

Sedangkan Lail, berdiri kaku, menelan salivanya. "Lail ayo disuruh baris!"

Lail tidak bisa berkata-kata.

Kesekian kalinya, Lail bertindak tanpa berpikir. Ia menutup mulut botol itu. Menarik napasnya. mengumpat diri sendiri karena langsung meneguk minuman itu tanpa bertanya. "Sialan si Karin."

Pelajaran olahraga mereka lanjutkan, mereka terbagi jadi enam kelompok per-kelas untuk latihan bola tangan.

Lail tentu saja satu kelompok dengan Karin, dan empat orang lainnya tidak termasuk Tara.

"Karin kok lo gak bilang sih kalau itu dari Pra, gila kali lo ya. Masa gue disuruh minum airnya dia." Lail melempar bolanya ke arah Karin.

"lo gak nanya sih di awal, Pra yang nyuruh gue kali. Udah dibalikin belum minumnya?"

"Sinting kali, gak. Bekas gue itu juga." Karin tertawa lepas lagi.

dukk!

Seseorang melempar bola tidak sengaja ke arah kepala Karin. "Karin! lo gak apa-apa?" Tanya Lail khawatir.

Mereka berdua menepi, Lail masih menatap Karin dengan iba.
Sedangkan yang dikhawatirkan malah masih tertawa, ia meringis "sakit dikit sih,"

"Karma tuh ngerjain orang!"

Dari arah sebrang, Terlihat Pra berjalan mendekati. "Liat Lail, ada Pra." Pupil matanya membesar.

"Mana minuman gue?"

"Kata Karin lo ngasih ke gue, Pra? Gak ikhlas ya? Udah gue minum lah."

"Yaudah," Pra lantas kembali pergi. Lail dan Karin saling tatap.

"Kok bisa-bisanya lo suka sama Pra sih?" Karin bertanya heran.

Tapi justru Lail yang lebih heran.

"Pra kayaknya suka sama lo deh, Lail. Gelagatnya itu keliatan banget! Harusnya lo makin gencar deketin Pra sih. Bentar lagi juga lo paling nyusul gue." kening Lail berkerut.

"Haduh, lo bayangin deh...orang secuek Pra, sedingin Pra, yang setiap kali cewek ajak ngobrol dia langsung menghindar. Setiap cewek bilang suka aja dia cuekin. Lo masih gak mau cabut kata-kata lo barusan?"

"Justru itu, aneh gak sih kalau tiba-tiba dia nanggepin lo?" Berkat kalimat Karin barusan, Lail sukses berpikir panjang.

🐿🐿🐿

"Lail gue bareng Tara, ya!" Karin melambaikan tangan sebelum berlalu pergi menyusul Tara.

Lail menarik napasnya, ia berjalan sendirian sekarang. Tentu saja akan kembali naik bus sekolah seperti biasanya.

Tapi Lail dapat merasakan ada seseorang di belakangnya.

Ia berbalik, dan menemukan Pra dengan earphone dan sedang menatap bukunya. Ia berdecih. "Nabrak aja mantep tuh,"

"Lo ngomong apa barusan?" Lail menutup mulutnya. Ternyata Pra mendengarnya barusan.

Pra sekarang sudah menyejajari jalannya. "Ngomong sendiri kok."

"Pulang bareng siapa?" Pra bertanya.

"Sama abang-abang bus sekolah." gurau Lail.

Keduanya sudah sampai di parkiran. Pra menarik lengan Lail sesaat ia hampir berlalu.

"Bareng gue aja." Tentu saja, Pra dengan paket dinginnya itu selalu lekat. Bahkan Kadang Lail bingung cowok yang menariknya barusan sedang marah atau tidak.

"Hmm gimana ya Pra, gak usah deh. Bukannya gimana-gimana. Tapi gue lebih nyaman aja naik bus dibanding motor lo yang jok belakangnya tinggi gitu." Lail melirik sekilas motor hitam besar milik Pra.

"Ohh, yaudah." Sepertinya Pra tidak akan memaksa lagi.

Lail pun tanpa segan berjalan lagi hingga ke halte depan gedung sekolah. Hingga bus datang.

Lail naik, dan berjalan melewati lorong kursi. Ia tersenyum sesaat menemukan bangku favoritnya. Kursi dekat jendela. Ia kontan duduk di sana,

Tapi tanpa ia bisa bayangkan, Pra mendadak muncul dari pintu masuk bus. Pupil mata Lail kontan membesar kesekian kalinya.

Termangu menatap Pra, yang tiba-tiba mengambil alih bangku kosong di sampingnya. "Lo ngapain Pra!?"

Pra memandangnya, "Bangku umum kan?"

Lail menggaruk tengkuknya. "Tapi, lo kan ada Motor tadi."

Pra tidak menimpali lagi. Ia malas berdebat.

Akhirnya Lail menyerah, ia lebih memilih memandang keluar jendela dalam diam.

Bus kembali berjalan, mungkin hanya perlu memakan waktu 20 menit untuk Lail sampai halte dekat rumahnya.

"Lail, soal tempo hari. Lo serius kan?" Lail tidak salah dengar kan? Pra membicarakan soal tempo hari dimana Lail salah bicara itu?

Lail tersenyum kikuk, "lupain aja Pra, Anggap aja gue gak ngomong apa-apa. Lo gak suka gue kan? Jadi yaudah."

Pra melepas kedua earphonenya. "Siapa yang bilang?" Dinginnya makin kentara, matanya tajam menatap Lail.

"Hah— gimana Pra? bilang gimana maksudnya Pra?" Lail bicara beruntun, mungkin ucapan Pra berikutnya akan membuat Lail terjebak ke masalah yang lebih rumit lagi.

"Siapa yang bilang gue gak suka sama lo, Lail?"

"Bentar, Pra. Lo gak suka gue bukannya? Lo kan selalu nolak cewek-cewek yang biasanya suka sama lo Pra, bercanda kan lo.." Lail berujar gugup.

Pra berdecak.

Tanpa menjawab, Pra turun dari bus. Hingga meninggalkan tanda tanya besar pada Lail yang masih terpaku duduk di tempatnya. Pra menyukainya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Someday SomewhereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang