Senja Kala Itu

29 3 0
                                    

Kalau bisa dikata, aku merasa bahwa apa yang kulewati minggu ini terasa sangat membosankan. Semuanya memang terlewatkan dengan baik, namun tugas-tugas terus mengusik.

Jadi ketika kaki kanan menapak pada lantai koridor kelas, aku merasa bebas. Hanya satu langkah, tetapi aku merasa beban di pundak lepas. Artinya, Kegiatan Belajar Mengajar hari ini telah berakhir.

Aku balik badan. Selanjutnya membentangkan tangan, meraih pinggiran pintu, menutup pintu kelas dengan rapi takut aku akan merusaknya. Kegiatan rutin: menjadi murid terakhir yang keluar kelas. Pun bertepatan dengan bel pulang para Kakak Tingkat yang berbunyi. Dan aku selalu ikut dengan gerombolan para siswa itu.

Memang awalnya, aku berjalan di tepi sebab takut terdorong jauh mengetahui badan ini tidak bisa menopang beban berat. Tapi ketika namaku dipanggil, dan merasa ada tarikan di tali tas sebelah kiri, aku spontan berani untuk jalan di tengah bubaran siswa.

Sebab ada Haidar yang menjaga.

Haidar yang tidak pandai basa-basi, Haidar yang pandai mengerti situasi, Haidar yang akhir-akhir ini selalu mendampingi. Namanya Haidar, tinggi, pula dikagumi banyak siswi. Kakak Tingkatku, tetapi usia kami berdua sama. Haidar Si Anak Pintar tanpa memperdulikan tampangnya yang nakal.

Faktanya, aku tidak selincah Haidar. Yang tiba-tiba sudah berada di luar sekolah seakan buta bahwa jalan menuju gerbang bahkan tertutup para siswa. Tetapi ketika ada Haidar, aku bisa mengimbangi.

Masih di gerbang, Haidar berhenti melangkah. Bagaimanapun, aku menyadari bahwa Haidar sedang tidak menatap sekeliling yang ramai ini. Jadi ketika aku menoleh, rupanya Haidar melakukan hal persis apa yang kutebak beberapa detik lalu.

"Ayo ... pulang, biar cepet istirahat."

Jika anak-anak lain menggunakan kendaraan milik sendiri, maka Haidar memilih jalan kaki. Bunda pernah memarahinya sebab mengendarai sepeda motor tanpa Surat Ijin Mengemudi. Ingin menjadi anak baik, Haidar akhirnya berjalan kaki.

Seperti hari-hari lalu, Haidar berjalan di sisi dekat para kendaraan melaju. Seperti hari-hari lalu, Haidar tidak membiarkan salah satu dari kami bungkam meski aku tahu bahwa sebenarnya ia tidak lagi menggenggam kebahagiaan. Senja membuatnya tidak berselera.

"Dira."

Aku hanya meliriknya. "Besok, tolong anter gue ke warung Bu Imas, ya?"

"Iya."

"Dira."

"Kenapa?"

"Besok tunggu guenya di depan kelas aja."

"Iya ... liat nanti, Haidar."

Haidar sudah tidak di sampingku. Dengan gerakan cepat, Lelaki Jangkung itu sudah ada di depanku. Memimpin jalan. Sambil sesekali menoleh padaku yang di belakangnya.

Ini akibat sekolah berada di jalanan kecil. Setiap pukul tujuh pagi, pukul tiga petang, selalu ada kemacetan pengendara yang berniat mengantar-jemput para siswa. Sedikit menyusahkan. Jalanan luas kini bagai jalan sepetak. Seru, cukup menantang.

"Dira."

Panggilan yang kesekian kali rupanya membawa aku pada keterkejutan. Haidar menggenggam pergelangan tangan terbalut seragam tanpa ragu. Ia menariknya, tanpa tenaga, tapi cukup membuatku beralih menjadi di sebelah kirinya.

Rupanya, sudah di ujung jalan.

Perjalanan pulang kali ini, Haidar melakukan tindakan yang bahkan belum pernah terjadi di hari lalu. Haidar menarikku, sambil memberi alasan mengapa ia melakukannya. "Ra, di lain waktu, langkah lo harus lebih cepet. Jangan sampe ketinggal apalagi kalau mau nyebrang. Jangan jauh di belakang, kalau mau nyebrang, berdampingan. Ya?"

Perjalanan Pulang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang