Tiiit .... Tiiiit .... Tiiit ....Suara-suara lirih yang diciptakan oleh detak jantung seorang perempuan paruh baya lewat alat-alat rumah sakit menjadi suara candu yang menyesakkan dada.
Tubuh lemah itu terbaring dengan fisik yang mulai semakin kurus, dan bibir yang tak lagi semerah dulu. Nafasnya juga sudah berat, bahkan sesekali saat tubuh disana benar-benar lelah, maka dokter akan buru-buru masuk karena kejang hebat yang melanda tubuhnya.
Sungguh, sungguh sedikit sekali harapannya untuk bisa bangun dari koma yang sudah menelannya selama 4 bulan lamanya. Satu per satu dokter mulai mundur, dan terus digantikan dokter lainnya. Hanya saja, sekalipun dokter yang bersedia merawat perempuan itu berganti setiap bulannya, namun satu hal yang membuat mereka sama dimata keluarga adalah kalimat bahwa 'tidakkah sebaiknya keluarga merelakan saja kepergiannya?'
Bodoh!
Manusia mana yang ingin melihat nyawa orang terdekatnya dicabut secara paksa oleh alat-alat rumah sakit. Hei, bukannya monitor menunjukkan detak jantungnya masih ada? Lalu kenapa harus merelakannya pergi dari dunia?!
Namun bagaimanapun dokter bersikeras meminta keluarga untuk melepaskan kehidupan sang perempuan cantik itu, bagi An Yujin, anak dari pasien yang membuat banyak dokter angkat tangan, lebih bersikeras untuk melakukan hal sebaliknya.
Tidak! Bagaimanapun ibunya masih hidup, dan harus tetap hidup disampingnya.
Tes
Sekali lagi, air mata sialan kembali membasahi tangan ibunya yang sedari tadi ia genggam. Sadar bahwa air matanya semakin deras, Yujin dengan sigap segera meraih sapu tangan di nakas dan menyeka tangan sang ibu agar tidak merasakan kesedihan dari air matanya barusan.
"Eomma, kau lapar? Rasanya sudah lama sekali kita tidak makan bersama-
Kalimat Yujin entah bagaimana terus tercekat, berlarian dengan nafasnya yang semakin sesak. Pembicaraan hangat untuk tubuh dingin sang ibu.
"Aku banyak merindukanmu"
Dan kali ini, hanya bisikan lirih yang bisa ia sahutkan.
Lemah sekali ia hari ini. Dan terus seperti ini setiap kali Yujin mendengar bahwa ibunya kejang-kejang, lalu ia akan datang terlambat-lagi- seolah anak yang paling tidak bisa berbakti bahkan pada ibunya yang tengah melawan kematian.
Dan detik berikutnya, Yujin hanya duduk disamping tubuh kurus ibunya dan mulai menggenggam tangannya lalu menangis.
Heh, bodoh!h
"Eomma, maaf karena aku tidak bisa selalu ada disampingmu" jemari Yujin mengusap pelan pelipis sang ibu, menghalau helaian rambut kesamping untuk memperjelas pandangannya akan wajah Kim Jisoo, ibunya yang sudah mulai tampak keriput-keriput halus.
"Kau juga pasti lelah kan, berjuang sendirian? Mianhae eomma, jeongmal mianhae"
Kini Yujin hanya berharap, kalimat manis dan pelukan hangat darinya mampu merangsang saraf -saraf Jisoo yang mulai melemah. Dan sungguh, rasanya Yujin hanya bisa ikut pergi jika saja ibunya benar-benar meninggal, karena baginya hari ini tidak ada lagi kebahagiaan selain menunggu bibir pucat itu kembali melengkung menampakkan senyuman.
Ddrrrtt .. ddrrrt...
Keributan dari ponsel Yujin diatas nakas mengalihkan atensinya. Pelan, Yujin melepaskan pelukannya dan meraih ponsel yang sudah menampilkan nama "Eomonin" di layar.
Melihat itu, Yujin segera mengambil langkah keluar ruangan dan
Klik
"Yeobos-
KAMU SEDANG MEMBACA
Her
FanfictionAn Yujin, bukanlah sekuat rantai yang kerap membelenggunya. Tidak pula sehebat kalimat dan tamparan yang sesering itu menghampirinya. Tidak, Yujin tidak sesanggup itu untuk mengahadapi semua rasa sakit lebih jauh lagi. Maka, tolong sampaikan pada l...