Bab II: Penyakit Jantung?

10 2 0
                                    

ALAN MENERTAWAIKU SETELAH KUCERITAKAN reaksiku waktu itu. Dia mengatakan aku bodoh, dasar tuan sok tahu. Mahasiswa Kedokteran macam apa yang tidak tahu gejala yang kualami. Padahal sudah jelas sekali kalau aku merasakan jantungku berdegup keras kemarin.

"Gue tahu obsesi lo ke basket gede, tapi coba mikir lah, gila. Lo juga punya perasaan, lo bukan sakit jantung, itu namanya jatuh cinta," kata Alan, kemudian dia tertawa lepas sembari menutupi wajahnya dengan kertas belajarnya.

"Kalo gue kenapa-napa nanti, lo yang tanggung jawab ya!" ujarku.

Lalu, kenapa waktu itu detaknya kencang sekali hingga aku sendiri bisa mendengarnya? Apa yang salah denganku. Jatuh cinta? Tidak mungkin. Aku sudah menghabiskan seluruh hidupku untuk fokus dengan permainan basketku dan mengubur dalam-dalam perasaan cinta. Cinta akan mengalihkan fokus, menjauhkanku dari kemenangan dan ketenaran. Lebih baik aku mendapat cinta dunia ketika aku bermain di perlombaan nasional daripada aku jatuh cinta dengan seseorang.

Membayangkannya saja aku tidak suka.

"Iya, terserah lo mau ngomong apa lagi. Itu ga ada hubungannya sama penyakit jantung. Jangan mentang-mentang gue Fakultas Kedokteran malah dianggep dokter pribadi sama lo! Jadi dokter aja belom, amit-amit deh dapet calon pasiennya kayak elo lagi." Alan mengetuk kepala dengan tangan kemudian kepalan tangan itu diketukkan ke meja.

"Yeu!" Kubuang buku kuliah ke meja bertumpuk kertas-kertas Alan. Dia masih bergelut dengan belajarnya, memandang layar laptop dan kertas bergantian dengan tangan yang bergerak untuk mengetik. "Tapi lo bisa bayangin gak sih." Aku melipat kedua tangan di meja, mencondongkan badan.

"Apa?" kata Alan tanpa melirikku.

"Ada perempuan cantik, matanya biru, mukanya kayak bule banget. Sumpah, Lan. Lo kalo liat langsung bakal ngira dia Anya Taylor-Joy tapi tipe muka yang agak lebih lembut kayak artis Korea." Seketika bayangan wajahnya tampil di mataku.

Jemari Alan berhenti bergerak sejenak, dia memikirkan sesuatu. Mungkin membayangkan rupanya. "Cakep juga," kata Alan.

Kujentikkan jemari. "Kan udah gue bilang,"

"Biasanya orang cantik pacarannya sama orang ganteng," kata Alan. Dia melirikku sekilas, kemudian melanjutkan kegiatannya.

"Makasih sanjungannya."

"Pede banget idih. Gue ga muji elo." cibir Alan.

"Maksud lo?!"

Dia terkekeh, "Udah stop jangan berisik. Gue mau ngerjain tugas."

Setelah ucapan itu, Alan benar-benar fokus dengan tugasnya. Dia mengabaikanku setiap aku menyeletuk. Kuembus napas kesal, kemudian kuambil buku kuliahku di meja dan segera meninggalkan ruang tamu ke kamar.

Kulempar buku itu di kursi Bean Bag abu di ujung kamar. Lemparanku tepat seperti aku melempar bola basket seperti biasanya. Lalu aku melempar badan ke atas kasur empuk, menatap langit-langit sembari mengistirahatkan sejenak pikiran. Alan kurang ajar. Tidak mungkin aku sedang jatuh cinta.

Aku mencintai basket lebih dari segalanya. Tidak ada perempuan yang dapat memiliki cintaku. Aku tidak mau fokusku buyar. Aku membenci kekalahan. Siapa tahu karena itu, aku kalah terus menerus karena waktu yang kami habiskan seharusnya menjadi waktu untukku berlatih lagi. Meski aku pelatih basket, bukan berarti aku berhenti di situ saja, aku masih mengikuti pelatihan dari pelatih nasional.

Jangan sampai itu terjadi, aku harus menjadi yang terbaik dulu sebelum semuanya ada. Aku tidak mau menyia-nyiakan bakatku, bahkan demi seorang perempuan.

Ataukah dia yang akan membangkitkan semangatku lebih tinggi sehingga aku bisa masuk ke dalam tim nasional berkat kehadirannya? Kugelengkan kepala untuk mengusir isi kepalaku yang satu itu. tidak mungkin itu yang terjadi. Alan pernah berpacaran, nilainya turun, dan aku tidak mau merasakan hal yang sama dengannya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Star in Your SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang