Prolog

7K 128 20
                                    

"Fahrena Alamanda?" Aku menyebut lagi nama gadis yang sedang kuamati dari balik kaca mobil, kaca ribennya lumayan gelap, tidak terlihat orang lain dari luar mobil.

Gadis berseragam putih abu itu keluar dari gerbang sekolah sendirian dalam keadaan tertatih. Apa dia tidak memiliki teman atau kendaraan sendiri untuk pulang?

"Iya, Tuan." Asisten yang mengambil posisi duduk di sampingku membenarkan setiap hal yang aku baca dari tampilan layar tablet di tangan, mencocokkan dengan sosok yang kini terduduk pada pembatas trotoar di pinggir jalan.

Awalnya aku tidak yakin jika Rena yang tampak polos di depan mata adalah Rena yang sama dengan gadis seksi di salah satu aplikasi video bebas. Gadis yang kulihat sangat berani mempertontonkan setiap bagian intim tubuhnya seraya bermasturbasi.

Rena di sana ... seperti menangis. Pinggiran matanya menggelap kemerahan seperti warna hidungnya juga. Lucu dan ... menggairahkan.

"Ada informasi lain?" tanyaku kemudian pada sang asisten seraya melempar tablet ke pangkuannya.

Sempat kudengar pekikan mengaduh dari pria itu sebelum memberi lembaran lain yang berisi rekening koran penuh transaksi. "Ini, Tuan."

Kebanyakan tujuan transfer mencantumkan nama akun virtual perjudian dan penarikan kredit.

"Orang tuanya terkait utang?" tebakku cepat, lalu setengah tersenyum. "Menarik."

Pantas saja agen di daerah Rena menawarkan anak dari salah satu pelanggan di sana untuk dilelang. Mereka tidak memiliki aset atau harta benda yang bisa dijual.

Membayangkan tubuh sintal di sana terlucuti saja ... aku menegang. Dia yang menangis pasrah, lalu tidak memiliki penolong ketika harus melayani orang asing.

"Eksekusi sekarang?" Pertanyaan berikutnya dari pria di samping membuatku berpikir keras.

Aku sangat tidak sabar menggunakan Rena, tetapi sepertinya Rena perlu perlakuan khusus di pelelangan nanti.

"Nanti dulu. Biar aku yang urus ini." Aku tidak terlalu peduli kritikan tajam dari para investor nanti. Sepertinya aku hanya ingin dia menjadi milikku seorang, permainanku, duniaku.

"Pertunjukan malam ini bagaimana, Tuan?"

Asisten menunjukkan jadwal yang semakin mepet dan memberi pilihan lain, gadis di bawah umur yang terlalu kurus menurutku.

"Ambil wanita satunya." Dan aku tidak akan turut campur. "Aku hanya ingin melihat langsung calon penghibur yang ini." Lebih tepatnya memastikan.

Pembicaraan sang asisten seperti mental dari telingaku. Sama sekali tidak mampu kupahami ketika melihat Rena dari kejauhan.

Aku perlu menemuinya. Begitu pikirku dan langsung dieksekusi dengan turun dari mobil tanpa peduli peringatan pria yang menjadi asistenku dua minggu terakhir ini. Mungkin, aku akan memecatnya.

Rena terlihat melepas sepatu kets dari kaki kirinya. Kaus kaki yang bolong di bagian tumit, dan dasar sepatu menganga bak mulut buaya. Intinya, tidak layak pakai.

"Ada yang sakit?" tanyaku sambil berdiri di sampingnya, menutupi terik matahari yang masih sangat menyengat ketika sore menjelang.

"Eng ... enggak apa-apa, kok." Rena menggeleng cepat. Tawanya terkesan dipaksakan ketika mengangkat sepatu itu ke udara.

"Sepatunya, ya?" Aku berjongkok, membiarkan dia berkedip cepat akibat cahaya menyilaukan. Kutawarkan, "Mau beli baru?"

"Eh?"

Aku sama sekali tidak berbohong. "Anggap saja aku sedang berbuat baik." Membeli baru juga bukan dosa.

Bibirnya yang membuka ketika terkejut langsung kukatupkan dengan kedua tangan. Imajinasiku membuana, reka bagaimana jika bentuk sensual itu penuh olehku.

"Maaf? Aku enggak bisa terima pemberian orang asing," tolak Rena sembari mendorong kedua tanganku menjauhinya.

Sayang sekali, besok bisa jadi hari menyenangkan.

"Mau berkenalan?" Kuulurkan telapak tangan bersama senyum yang sangat ... ramah. Tenang, "Aku tidak menggigit," untuk saat ini.

Besok mungkin bukan hanya gigitan. Aku bisa lakukan hal yang lebih nikmat dan bisa membuatmu terus memintanya.

Rena menoleh ke arah berlawanan dari keberadaanku, ke samping, bahkan mencari ke balik punggungku. "Beneran enggak apa-apa? Enggak ada kamera atau acara tivi? Social experience gitu?"

Sulit menahan tawa ketika melihat kepolosannya mencari kebohongan dari tawaranku. "Aku ada tampang-tampang artis atau influencer?"

"Ada, sih ...." Rena mengangguk cepat, lalu tatapannya melirik pada lenganku yang tidak tertutupi lipatan kemeja. "Serem. Tatonya."

Malah memperhatikan lengkungan gelap yang membentuk gambar di sepanjang lenganku. Dia belum melihat saja yang di punggung.

Seram? "Perlu aku ceritain soal tato ini?"

Lagi, Rena mengangguk, mungkin tertarik dengan bahasan mengenai salah satu seni lukis tubuh.

"Sama sepatunya, Om?"

Ah? Aku dipanggil 'om'?

Rena, Sentuhanmu MelenakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang