24 September 2022
Wanita berpakaian serba gelap memasuki ruang tunggu Bandar Udara Changi Singapura. Ia tidak habis pikir harus melakukan ini. Berlibur ke Negeri Singa. Amplop yang diterima kemarin berisi paspor dan tiket penerbangan. Saat mengkonfirmasi pada Ben, wanita itu mendapat saran untuk mengepak beberapa baju dan juga keperluan pribadi untuk tiga hari. Wanita yang belum mengetahui tujuan ia melakukan perjalanan ke Singapura itu ingin menolak, tetapi penolakan bukanlah suatu hal yang dapat ia lakukan pada Bos Besar.
Di sinilah Kahi. Duduk menyilangkan kaki di ruang tunggu Bandar Udara Changi Singapura. Bukan tidak tahu, jika seorang yang bertugas menjemputnya sedang menunggu. Wanita yang mengenakan kacamata hitam itu sedang menikmati kesendiriannya. Karena ia yakin, ini bukan perjalanan wisata seperti yang dikatakan oleh Ben. Entah tugas apa yang akan ia lakukan nanti. Yang pasti Kahi ingin sedikit bersantai.
Kahi mengunyah permen karet. Ia tidak memperhatikan sekitar. Pandangannya jatuh pada lantai di depannya. Tidak ada yang mengganggu pikiran Kahi. Ia hanya suka mengamati sekitar melalui suara yang didengarnya. Hingga Kahi menyadari seorang mendekat dan duduk di sebelahnya. Langkah ringan dan bersahabat, tidak membuat wanita yang memakai kaus berleher tinggi itu tidak perlu waspada.
“Kakak. Aku mau permen karet juga. Boleh aku minta?”
Suara renyah seorang gadis cilik membuat Kahi menoleh. Ia membuat balon kecil dari permen karet yang sedang dikunyahnya.
Plop!
Kahi menatap gadis yang memakai jaket kuning itu dengan sebelah alis terangkat.
“Kakak masih punya?” Tangan gadis yang Kahi tebak berusia dua belas tahun itu menengadah. “Boleh aku minta?”
Kahi mengangguk. Ia membuka wristbag, meraih permen karet yang tersisa dua buah, dan meletakkan di tangan gadis kecil itu.
“Terima kasih.”
Kahi kembali mengangguk. Ia kembali menatap lantai dan menajamkan telinga. Ia menoleh saat mendengar langkah yang dientakkan dengan pasti. Tenang, tetapi mantap. Seperti langkah seorang yang Kahi kenal. ia Mencari sosok yang memiliki langkah tersebut. Namun, lagi-lagi suara renyah membuyarkan konsentrasinya.
“Kenapa Kakak berpakaian serba hitam?”
Kahi tidak menghiraukan gadis yang bertanya. Ia sedang berusaha menemukan seseorang yang kemungkinan ia kenali. Atau setidaknya orang yang memiliki profesi atau kebiasaan yang sama.
“Bukankah ada banyak baju berwarna cerah yang bisa dipilih?”
Baiklah. Kahi juga tidak menemukan siapa pun yang terlihat mencurigakan atau berbahaya. Tidak juga menemukan seorang yang ia kenal. Lagi pula, ia sedang berlibur. Meskipun berpakaian serba gelap, penampilannya masih terlihat seperti pelancong yang ingin berwisata di Negeri Singa itu. Kaus berlengan panjang yang bagian atasnya menutupi leher Kahi. Celana jeans hitam yang melekat sempurna pada kaki jenjangnya. Sepatu bot yang sebenarnya bukan hitam, melainkan cokelat gelap. Wristbag yang juga berwarna hitam. Jangan lupakan kaca mata hitam yang kini bertengger di kepala Kahi.
Kahi kembali menoleh pada gadis yang sedang mengunyah permen karet seperti dirinya. Gadis ini memang memakai pakaian yang semuanya berwarna. Jaket kuning. Kaos hijau. Celana dan sepatu merah.
“Saya suka warna hitam.” Akhirnya Kahi mengucapkan kalimat pertamanya pada gadis kecil itu.
Gadis itu mengangguk. Kemudian ia mengulurkan tangan.
“Divi.”
Kahi menatap tangan kecil itu. Ia tidak menganggap gadis ini berbahaya. Tidak. Namun, tidakkah gadis ini berpikir ia berbahaya?
“Grey.” Kahi menyalami gadis di sebelahnya. “Di mana orang tuamu? Tidakkah mereka mengajari untuk tidak berbicara dengan orang asing? Atau seorang yang memberimu permen?”
Kahi bersedekap setelah menarik tangan. Ia tidak terbiasa berbicara basa-basi, tetapi gadis ini seperti tidak membaca sikap cuek yang ia tunjukan sedari tadi. Gadis yang mengaku bernama Divi itu tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya.
“Divi.” Belum sempat gadis itu menjawab, suara seorang pria menginterupsi mereka.
Divi menoleh. “Ayah.”
Pria yang dipanggil ayah oleh Divi itu, mengedikkan kepala. Divi yang mengetahui maksud ayahnya segera bangkit.
“Dah, Kakak.”
Kahi bergeming. Ia sempat beradu pandang dengan pria yang baru saja berlalu itu. Kahi hanya melihat pasangan ayah dan anak itu menjauh. Setelah berjarak beberapa meter, Kahi beranjak, ia menarik koper kecil bersamanya. Langkah kaki Kahi terlihat tenang. Pandangan matanya masih mengikuti gerakan langkah yang dibuat oleh pria yang berjalan di depannya.
Entah mengapa Kahi menyukai langkah kaki tersebut. Bukankah langkah kaki seharusnya sama saja? Entahlah.
Kahi berjalan perlahan. Tangan kirinya menarik koper. Sementara tangan kanan ia masukkan ke saku celana. Kaca mata hitam sudah kembali ia pakai. Tidak ada yang mengetahui, sebenarnya wanita jangkung itu sedang mengamati pria yang ia sukai langkahnya.
Pria yang berjalan bersama Divi itu menyadari jika seseorang sedang mengawasinya. Meski sedang mendengar gadis kecil itu mengoceh, ia tetap waspada pada sekitarnya. Saat sampai di lobi, pria itu menoleh. Ia melihat seorang wanita yang berbicara dengan Divi sebelumnya, berjalan mendekat. Wanita ini mengikutinya? Timbul pertanyaan di pikiran pria itu.
“Miss Grey.” Seorang menghampiri Kahi dengan pandangan bersalah.
Kahi mengangguk. Ia menyerahkan koper saat lelaki paruh baya itu memintanya. Kemudian berjalan mengikuti lelaki itu menuju mobil yang terparkir tidak jauh.
Kahi melihat mobil ini tidak memiliki kaca yang gelap. Ia memutuskan tetap memakai kacamata hitamnya, meski sudah duduk di dalam mobil. Ia mengarahkan wajahnya ke arah pria yang berdiri melirik mobil . Kahi tidak ingin orang lain mengetahui jika ia masih mengawasi. Namun, sepertinya ia tetap ketahuan.
Pria yang berdiri di samping gadis yang sibuk berceloteh itu sempat ingin menegur wanita yang ia kira sedang mengikutinya. Meskipun wanita itu tidak berbuat apa pun pada putrinya, ia memiliki firasat yang tidak baik. Entah mengapa saat bertemu pandang tadi, ayah Divi itu merasa pandangan wanita itu mengawasinya. Atau hanya firasatnya saja?
Pria itu menggeleng. Ia kembali fokus pada gadis yang menceritakan seorang wanita yang melamun saat mengunyah permen karet. Pria itu tersenyum hangat dan mengusak kepala Divi, saat gadis kecil itu mengatakan kasihan pada wanita yang bahkan tidak mereka kenal.
Sementara di dalam mobil yang melaju menjauhi bandara, Kahi menyandarkan tubuhnya. Baru saja ia ingin memejamkan mata, tetapi ponselnya menerima notifikasi. Ia melihat sebuah email masuk. Sesuai dugaannya. Perjalanan ini adalah pekerjaan yang harus ia lakukan.
Kahi segera memeriksa isi pesan itu. Tugas yang ia terima ringan. Hanya melukai seseorang. Tidak sampai menghilangkan nyawa.
Kahi membuka satu per satu dokumen yang dilampirkan. Hingga pada foto seorang pria, ibu jari Kahi berhenti menyentuh layah ponsel. Ia mengamati foto itu dengan saksama.
“Shit!”
Kahi mengumpat seketika saat yakin siapa yang menjadi targetnya kali ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/317235092-288-k561281.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SHOTS MY HEART
Mystery / ThrillerKahi. Gadis yang terbiasa dengan dunia gelap tiba-tiba merasakan gemerlapnya hidup. Ia tidak tahu, ada rasa selain pahit dan asam. Ia juga tidak tahu, ada wangi semerbak yang memabukkan. Namun, keadaan memaksa Kahi untuk menutup mata dari gemerlap...