Tak kusadari ternyata selama Lazu berada di dekatku, nafasku seperti tercekat. Aku mengembuskan napas panjang setelah Lazu dan kawannya melaju beberapa langkah dariku dan Nesha."Deg-degan ya, Lo?" Nesha menatapku dengan tatapan jahil.
"Nesh, kayanya Lo udah ngga waras deh. Ngapain, sih, pake basa-basi kaya gitu?!" Protesku.
"Tapi Lo seneng, kan? Akhirnya Lo tahu siapa nama dia, sekarang Lo ngga lagi panggil dia dengan sebutan si netra karamel," tukasnya dengan kedua alis yang di-naik turunkan.
"Tapi gue malu, mana pasti muka gue kelihatan tegang banget tadi."
Tak menggubris ucapan ku, Nesha justru mengibaskan rambutnya hampir terkena wajahku, kemudian ia melangkah tanpa persetujuan ku.
***
MPLS hari pertama, hanya diisi dengan sambutan panjang dari kepala sekolah -yang sangat membosankan, perkenalan guru-guru, perkenalan sarana dan prasarana sekolah, juga kegiatan-kegiatan harian yang akan kami jalani di sekolah selama tiga tahun kedepan.
Itu semua akan terasa sangat membosankan jika saja aku tak melihat Lazu disepanjang kegiatan. Lazu, manusia sedikit kata itu ternyata menjabat sebagai ketua OSIS di sekolah ini. Sedikit aku merasa bangga, tapi akhirnya aku sadar dia bukan siapa-siapa.
Waktu masih menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit, namun kegiatan MPLS untuk hari ini telah dibubarkan, katanya panitia osis akan rapat mengenai acara MPLS esok hari dan hari-hari berikutnya.
"Balik bareng gue atau mau naik bus?" Tanya Nesha.
Aku belum menggubris pertanyaan Nesha. Mataku sibuk mencari suatu objek, biasalah..
"Lazu ngga ada, dia lagi rapat osis," ucap Nesha, seolah tahu apa yang ada dalam pikiranku.
***
Memutuskan untuk tidak pulang bersama Nesha, aku memilih untuk mengunjungi sebuah coffee shop sebelum kembali ke rumah.
"Americano, 8 shot espresso."
Secara impulsif kepalaku menoleh ke sumber suara. Siapa yang selera dengan americano 8 shot espresso?
Seorang pria hoody hitam dengan satu cup kopi ditangan kanannya melintas di hadapanku setelah mendapatkan pesanannya dari meja resepsionis.
Lazu, mungkin semesta sengaja membawamu ke tempat ini untukku.
Lazu duduk di bangku kosong berseberangan dengan tempat dudukku. Mengeluarkan handphone dari saku hoody yang ia kenakan lantas memainkannya selama beberapa menit. Entah apa yang sedang lelaki itu lakukan dengan benda pipihnya.
Leherku hampir kaku karena terus menoleh ke sebelah kiri. Pria bernama Lazuardi itu benar-benar telah merenggut atensi ku. Aku terus menatap ke arahnya sambil menopangkan dagu pada tangan kananku yang juga mulai terasa kaku. Sungguh, Lazu, aku belum pernah se-tertarik ini pada sesuatu. Bahkan rasanya kamu jauh lebih menarik daripada artis Korea yang aku idolakan.
Mungkin Lazu sudah sejak lama menyadari bahwa dirinya ditatap oleh wanita aneh sepertiku, ia mulai merasa risih. Ia menoleh ke arahku dan..
eye contact.
Lihatlah betapa bodohnya aku yang tidak segera mengalihkan pandangan ketika menyadari Lazu hendak menoleh ke arahku. Salah tingkah, aku segera pura-pura menyibukkan diri dengan hp ku yang sedari tadi tergeletak di atas meja. Sudut mataku menangkap Lazuardi melangkah menghampiriku.
Jantungku berdegup kencang. Aku takut kalau-kalau Lazu akan melontarkan kata-kata yang tidak seharusnya kudengar dengan nada yang tinggi.
Lazu tiba dihadapan ku, ia menarik mundur kursi di depanku. Mengontrol ekspresi, aku meletakkan kembali hp ku di meja, menatap gerak gerik Lazu dengan wajah 'sok tenang'.
"Dari pada leher Lo sakit gara-gara ngeliatin gue yang ada di meja seberang, mending gue duduk di depan Lo, supaya Lo gampang ngeliatin guenya," ucap Lazu setelah mendaratkan bokongnya, masih dengan wajah dinginnya.
MATI. Alasan apa yang harus aku lontarkan supaya aku tidak pulang dengan menanggung rasa malu ini.
"Bayangin kalo Lo yang ada di posisi gue. Lo pasti bakal teriak kesal, selama lima belas menit gerak gerik Lo ga bebas gara-gara diperhatiin sama orang asing."
Dengan penuh penekanan serta guratan wajahnya yang tegas, Lazu menatap malas ke arahku. Lazu, ini bukan awal yang baik untuk pertemuan kita kedepannya.
"Sorry, gue cuma ngerasa ga asing ngeliat Lo, gue berusa buat mengingat siapa Lo," aku memberanikan diri untuk bersuara, daripada nantinya pria ini semakin naik pitam karena lawan bicaranya yang tak bersuara.
"Lima belas menit? Gue yakin Lo gak sepelupa itu."
Bagus Disha, alasan yang tidak masuk akal.
"Gue cuma ngeliatin Lo, dan itu nggak merugikan buat Lo," entahlah alasan bodoh apa lagi ini.
"Gue merasa terintimidasi selama lima belas menit itu. Lima belas menit yang terasa seperti lima belas tahun."
Pelajaran pertama, Lazu tidak suka ditatap dengan cara seperti mengintimidasi. Aku akan merasakan hal yang sama jika berada diposisi Lazu, lima belas menit yang terasa seperti lima belas tahun.
Semesta memang membawa Lazu ke tempat ini untukku. Lebih tepatnya untuk membuat first impression yang buruk bagiku dimata Lazu.
Maafkan aku, Lazu.
KAMU SEDANG MEMBACA
biru
Teen Fictionjika kamu pikir cerita ini mengisahkan percintaaan masa remaja yang begitu indah, maka alangkah baiknya kamu buang jauh-jauh pikiran itu. sengaja kubuat cerita ini singkat, karena ini mungkin akan sangat membosankan. Cover by @bukanleminerale