2 - cukup tau

4 0 0
                                    

"Jaman gue dulu mana berani masih maba makan di kantin." Ucap seorang senior laki-laki yang patut dipertanyakan kejantanannya. Saat itu memang baru sekitar seminggu semenjak ospek berakhir, namun para maba (mahasiswa baru) sudah memenuhi kantin dan sebetulnya nyaru dengan senior. Omongan itu terdengar dengan jelas bukan hanya oleh teman-teman semejaku, tapi juga yang lainnya di sekitar. Sepertinya dia memang sengaja berbicara dengan lantang agar terdengar oleh kami dan merasa tersindir karenanya.

Apa yang salah sih dengan masih jadi maba dan makan di kantin? Namanya orang lapar, tentu solusinya makan, dan tempat terdekat dari gedung perkuliahan adalah kantin fakultas ini. Lagipula kantin adalah tempat umum, siapapun boleh berada di sana tanpa terkecuali. Yang salah adalah bila berhutang atau bahkan nggak bayar ke ibu kantin. Aneh.

Kadang tidak habis pikir dengan para senior yang melanggengkan hal seperti itu. Tidak jelas tujuannya untuk apa. Melatih mental? Rak masuk cok. Dunia terus berkembang tapi mereka memilih untuk stuck dalam senioritas berlebihan yang mungkin 'wajar' di masanya. Tapi, ayolah, sudah waktunya untuk memutus rantai itu. Perbedaan satu dua tahun bukan hal yang besar, asal masih menjaga sopan dan santun, kan?

***

Seperti biasanya saat jam makan siang, kantin fakultas dipenuhi oleh mahasiswa dari berbagai jurusan yang bernaung dibawahnya. Sulit untuk menemukan kursi dan meja tanpa penghuninya sebab hampir semuanya sudah terisi. Denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring hingga suara orang-orang berbincang dan tertawa selalu memenuhi. Terlihat batang rokok terjepit di antara jari telunjuk dan tengah beberapa orang di sebagian meja. Kepulan asapnya terbawa oleh angin yang bergerak cepat pada siang yang panas ini.

"Ti, lo serius nggak makan?" Gista memastikan pilihanku untuk tidak memesan apa-apa saat mereka tengah menentukan pilihan makanan di penjual langganan kami.

Tanpa melepas pandangan dari handphone, aku mengangguk. "Beneran."

Jihan menyeruput es teh manisnya yang terlihat menyegarkan, cocok untuk membasahi kerongkongan di cuaca seperti sekarang. "Kayak gak tau aja lo, Gis. Dia mana bisa makan cepet."

Aku hanya tersenyum kecil mendengarnya. Entah kenapa, butuh waktu yang lama untukku dalam menghabiskan sepiring makanan. Kita bisa mulai makan di waktu yang sama, tapi pasti aku akan selesai 30 menit lebih lama. Aku tahu betul bahwa kebiasaan itu sedikit banyak merepotkan orang-orang yang makan bersamaku. Waktu mereka terbuang sia-sia hanya untuk menungguku selesai makan. Makanya, seringkali aku meminta maaf di tengah kegiatan mengunyah, merasa bersalah telah menahan mereka cukup lama. Tak terkecuali pada teman-teman dekatku seperti Karina, Jihan, dan Gista.

Kelas selanjutnya akan dimulai setengah jam lagi dan aku merasa waktu segitu tidak cukup untuk makan siang. Meski nanti aku akan mengeluh lapar saat di kelas dan akan dibalas "Lagian lo kenapa gak makan tadi?" dengan nyolot oleh Gista, aku harus menahan lapar sampai kelas berakhir. Setelahnya baru aku bisa makan dengan proper karena itu jadwal terakhir hari ini. Ini seperti kebiasaanku saat ada jadwal yang jaraknya terlalu berdekatan. Tidak seperti teman-teman yang lain, aku merasa tidak bisa menikmati makanan ketika otak sibuk menghitung berapa menit lagi kelas akan dimulai.

***

"Mau gak?" Karina menawarkan makanannya padaku. Sepiring nasi putih hangat dan ayam saus teriyaki miliknya menggoda imanku. Dengan senang aku mengambil sesendok dan memasukannya ke mulutku. Nyam.

"Ti, itu Ario kan ya?" Tiba-tiba Jihan bertanya sambil matanya memandang ke arah belakangku.

Aku pun memutar badan secara perlahan, agar tidak terlihat seperti kami sedang membicarakannya, walaupun memang iya.

"Oh, iya," Aku kembali menghadap Jihan yang kini menatapku. "Kayak yang baru pertama liat aja lo."

"Sebelahnya itu siapa deh?" Jihan kembali bertanya dengan masih menatapku. Terpaksa aku memutar badan lagi karena aku tidak memperhatikan siapa sosok di sebelahnya tadi. Ternyata seorang cewek berkulit putih dengan rambut sebahu yang sepertinya diwarnai dengan teknik peek-a-boo. Helaian rambutnya yang berwarna terang, mungkin ash grey, terlihat mencolok di antara lainnya yang berwarna gelap.

Aku mengedikkan bahu, "Nggak tau."

"Serius nggak tau? Lo kan bareng di HIMA." Gista memandangku heran.

"Terus gue harus tau semua tentang dia gitu?"

"Ya siapa tau kan suka ngobrol."

"Gue ngobrol sama dia paling cuma ngomongin organisasi."

"Duh, Gis, lo kan tahu dia sukanya ngobrol sama siapa." Celetuk Jihan sambil tersenyum penuh arti ke arahku.

"Ohhh, si dedek gemes ya?" Gista ikut-ikutan mengompori.

Menanggapi mereka berdua sama saja dengan memperpanjang obrolan ngawur ini. Maka dari itu, kuabaikan saja. Speaking of Ario, dia memang juga anggota HIMA sepertiku. Bahkan kami memilih program studi yang sama, namun di kelas yang berbeda. Hal-hal tersebut lantas tak menjadikanku akrab dengannya. Tentu kami saling kenal, tapi obrolan-obrolan yang terjadi di antara kami berdua hanya seputar organisasi. Mentok-mentok bahas tugas kuliah. Tidak pernah mengobrol soal personal life, jadi kiranya wajar aku tidak tahu siapa cewek di sampingnya.

"Itu Sekar. Anak jurusan Bahasa Indonesia." Suara Karina membuat kami menoleh ke arahnya yang kini sedang membuka botol air minum miliknya yang tidak pernah absen untuk dibawa ke kampus.

"Maksud lo?" Jihan mulai penasaran dengan nama yang muncul ke permukaan. Dasar biang gosip!

"Cewek yang tadi lo tanyain. Namanya Sekar."

"Lo kenal?" Kini giliranku yang penasaran.

"Sekelompok pas ospek. Sekarang udah kayak nggak kenal, sih."

"Jangan-jangan," Gista menaikkan satu tangan ke atas meja dan menampu dagunya. "Dia pacarnya Ario?" Pandangannya seperti seolah sedang menerawang kebenaran akan teorinya sendiri.

"Bisa jadi." Jihan ikut-ikutan mendukung teori konspirasi Gista. Memang mereka berdua kalau untuk urusan gosip tidak ada duanya.

Dengan sedikit rasa penasaran aku melihat kembali ke arah belakang. Sayangnya, oknum yang dibicarakan sudah tak terlihat dan hanya tersisa tumpukan piring serta gelas kosong di atas meja.

"Cakep deh anaknya." Jihan kembali berujar dengan topik yang masih sama, Sekar, dan sepertinya forum akan terus berlanjut.

"Dulu aja kating suka godain dia gitu," Karina bercerita. "Pas ospek."

"Sorry not sorry, tapi mukanya agak tuwir menurut gue," Gista dan mulut jahanam-nya mulai beraksi. "Tadi kirain dia kating."

Karina memukul pelan bahu Gista, "Parah lo." Aku dan Jihan hanya tertawa.

"Gue cuma jujur ya," Gista membela diri. "Lagian cakepan gue kemana-mana." Tisu bekas berhasil mengenai muka Gista setelahnya. "Karina! Jorok anjir!"

Aku melihat jam di handphone dan ternyata lima menit lagi kelas akan dimulai. Membayangkan harus berjalan ke gedung jurusan dan menaiki tangga ke lantai dua dalam kurun waktu sesingkat itu, aku sudah lelah duluan.

Aku segera beranjak dari duduk. "Woy lima menit lagiii. Ayo!"

Kamipun buru-buru meninggalkan kantin. Untungnya pesanan sudah dibayar jadi kamilangsung berjalan cepat menuju kelas. Obrolan tentang Ario dan Sekar tentuhilang tergantikan kepanikan. Namun tidak ada yang menyangka topik tersebutharus muncul lagi di kemudian hari.

TemporaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang