Sehari di Pondok Pesantren

3 1 0
                                    

Laa Yustatho'ul Ilmu bi Roohatil Jasad
(Ilmu Tidaklah Dapat Diraih Dengan Jiwa yang Santai-Santai)
[Siyar A'lamin Nubala', 13/266]

***

Aktivitas yang padat sering menjadi gambaran utama hidup di lingkungan pondok pesantren. Mulai dari bangun pukul dua pagi untuk mengantri mandi, hingga tidur di atas jam sembilan malam usai kegiatan belajar malam.

Namaku Mal, seorang santriwati di sebuah pesantren yang berada di Yogyakarta lima tahun lalu. Semua kegiatan pesantren yang padat dan itu-itu saja terkadang membuat pikiran jenuh. Apalagi dengan tidak adanya fasilitas gadget seperti yang sedang tren dua tahun belakangan ini karena dampak pandemi yang memaksa setiap anak harus punya gawai sendiri-sendiri. Tapi semua itu akan terasa menyenangkan ketika kita mempunyai teman. Khususnya teman dekat, dan aku punya itu. Fida si Mungil Cerewet dari Yogyakarta, Diani si rajin asal Malang, dan Azka si periang dan baik hati asal Depok. Walaupun rumah kami tidak bisa dibilang dekat, tapi sekarang hati kami sedang terpaut dalam satu piring makan. "Konco Mangan", Begitu aku menyebut mereka.

Dulunya, kami teman satu asrama. Sejak kelas 12 ini, aku dan Fida berada dalam satu asrama yang sama. Sedang Azka dan Diani berada di asrama yang berbeda. Walau begitu, aku dan Diani masih belajar di kelas yang sama. Kelas khusus jurusan keagamaan, sedang Azka dan Fida mengambil jurusan IPA.

Pagi itu, tanggal 28 Januari 2017, tepatnya jam enam pagi. Lapangan depan area kelas dipenuhi santriwati yang baru bubaran halaqoh Qur'an pagi. Berjalan berhamburan menuju asrama masing-masing untuk melakukan kegiatan berikutnya. Aku yang belum sampai asrama sudah disuguhi pemandangan antrian para santriwati yang mengular panjang hingga keluar dari ruang makan menunggu piring-piring mereka terisi oleh menu sarapan pagi ini.

Dalam versiku, ada dua opsi. Sarapan atau mandi. Jika kamu memilih sarapan, maka kamu tidak akan sempat mandi. Sebaliknya, jika kamu memilih mandi, maka kamu tidak akan sempat sarapan. Bersama konco manganku, aku bisa mengakali agar bisa mendapatkan keduanya sekaligus.

Biasanya, aku dan Fida mengandalkan Azka dan Diani--para pejuang mandi sebelum subuh--untuk mengambil jatah sarapan kami berempat. Sementara mereka mengantri, aku dan Fida mencari kamar mandi.

Berbeda dengan di rumah, di pesantren kamar mandi kosong adalah "harta karun”. Jangankan kosong, tidak ada antrian di depan pintunya saja sudah termasuk kesempatan emas yang sayang untuk disia-siakan. Ini masih belum perkara air yang kadangkala mati.

Setelah sampai di asrama dan membawa peralatan mandi, aku dan Fida bergegas kembali menuju ke area kelas yang terpisah oleh gerbang tinggi dengan area asrama untuk mencari kamar mandi kosong. Tampaklah gedung tiga lantai berbentuk L dengan 10 kamar mandi di setiap lantainya.

"Yaaah ... penuh, Mal!" keluh Fida setelah melihat teras kamar mandi di lantai satu dipenuhi banyak orang. Mulai dari santri kelas 1 Salafiyah Wushto (setingkat SMP) sampai teman seangkatan kamipun juga ikut meramaikan.

Akhirnya kami berlari ke lantai dua. Syukurlah ada satu kamar mandi kosong.
Usai mandi, kami pun langsung berlari ke area asrama. Berpapasan dengan beberapa santri rajin yang sepagi ini sudah berangkat sekolah.

"Ya Allah, ih, malu banget, Male (dibaca Mal-e)!" bisik Fida sembari beringsut bersembunyi di belakangku, dan hal seperti ini akan kembali terulang di hari-hari berikutnya.

Setelah memakai seragam dan alat tempur sekolah lainnya, aku dan Fida segera berlari menuju ruang makan pesantren yang cukup besar. Berkapasitas kira-kira 700 santriwati.

MASTERPIECESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang