(1) Tragedi

2 1 0
                                    

Aku menggaruk kepalaku yang pusing. Tugas bertumpuk-tumpuk menunggu untuk dikerjakan.

Shilla membuka buku paket yang tebalnya menjuarai buku yang lain. Berisi tentang pelajaran tumbuhan yang penjelasannya sedikit namun soal-soal yang bercabang. Jika dikoreksi pun jawabannya harus benar, jika tidak maka tertulis tidak lengkap. Dulu, saat kelas satu, awal pertemuan ada yang bertanya berapa nilai 'tidak lengkap' tersebut? Jawaban ibunya adalah 'tidak lengkap' itu tidak ada nilainya namun bukan nol. Pusing, kan?!

Shilla berdiri lalu membuka jendela yang mengarah ke lorong, tiba-tiba seseorang entah darimana lewat dan ...

BRAK!!

Mengenai seseorang tersebut.

Jendela itu memang susah dibuka, namun sekali dibuka membuat kaget setiap orang yang melalui lorong tersebut. Jendela itu pun setinggi wajah orang-orang yang lalu-lalang. Shilla membuka jendela itu karena ingin melihat lapangan apakah ia masih mempunyai waktu untuk menyalin tugas. Namun satu hal yang tidak terkira.

Laki-laki itu mengaduh. Kepalanya pasti terbentur cukup keras. Shilla terperanjat dan menutup mulutnya. Ia tidak tahu ada seseorang yang akan melalui lorong diwaktu semua orang ada di lapangan.

"Kamu tidak apa?!" Shilla bertanya sedikit panik dari balik kelasnya namun tidak digubris oleh lelaki itu.

Shilla pun bingung, tugas yang harus ia salin masih banyak namun hari ini adalah hari senin ia bertugas mengibar. Lonceng sedari tadi sudah berdenting. Namun ia mencuri waktu untuk menyalin tugas karena tugas itu adalah pelajaran biologi jam pertama. Teman pengibarnya pun pasti sedang mencarinya.

Shilla pun mengacuhkan tugas tersebut, ia masih memiliki seribu cara untuk menyalin tugas itu dengan cepat. Shilla langsung keluar dari kelas dan memasang sepatu hitam bertalinya.

"Tunggu ... " ucap Shilla sedikit nyaring agar lelaki yang menabrak jendela itu berhenti.

Laki-laki itu lari sambil memegang kepalanya.

Shilla sungguh merutuki sifat pelupanya, hari ini ia tidak memakai sepatu bertali namun sepatu pantofel. Sepatu bertali itu sepatu yang tidak ada pemiliknya, bahkan sudah bau pesing kencing kucing.

"Haduuh ... "

Ketika Shilla ingin mengejar lelaki itu, panggilan dari belakang menghentikannya.

"Shilla, mau ngibar, hayuk," teriak Tusi teman satu profesi Shilla.

Shilla pun mengurungkan niatnya untuk meminta maaf secara resmi. Ia pun mengikuti Tusi untuk ke barisan paskibra. Shilla melihat ke belakang pada lelaki itu yang terlihat terburu-buru. Kedua tangan Shilla bertemu memperlihatkan gesture minta maaf secara jauh.

"Mian," gumam Shilla.

"Mian," gumam Shilla

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

POV Liman

Pagi ini motor yang kubawa mogok lagi. Terpaksa aku memesan gojek untuk berangkat ke sekolah baruku dan meninggalkan motorku di bengkel terdekat. Salah ayah tidak mengizinkan aku membawa mobil. Hari pertama yang tidak kusuka.

Sesampainya di depan gerbang, Liman pun bergegas lari karena ia melihat lapangan telah dipenuhi siswa-siswi untuk melakukan upacara Senin. Gawat!

Liman pun berlari kencang selagi lorong sekolah kosong. Ia tidak berpikir akan ada hambatan selagi ia berlari kencang.

Namun ...

BRAAK

Kepalanya rasanya dihantam sesuatu yang keras. Kepalanya pusing dan Liman pikir bagian kepalanya berdenyut-denyut. Bahkan ia tidak sadar telah tersungkur di lantai. Benda apa itu? pikir Liman.

"Kamu tidak apa?!" satu suara memecah pikiran Liman.

Liman sempat melihat betapa paniknya perempuan di balik jendela itu.

Liman bisa menebak dari gelagatnya bahwa perempuan itulah pelakunya. Mengapa hari pertama di sekolah ini sungguh sial, huh?

Dering bel beberapa kali terdengar, Liman pun berdiri dan memperbaiki kacamatanya yang melorot. Namun lagi-lagi kesialan menimpa dirinya. Tak pernah Liman berpikir bahwa kacamatanya yang jadi tumbal hari pertama.

Liman hanya mengelus dadanya sabar. Menunggu perempuan itu untuk bertanggungjawab rasanya mustahil. Liman pun berdiri dan berjalan menjauh sedikit cepat. Tak lupa tangannya memegang gagang kacamata yang patah itu.

"Tunggu ... " suara perempuan itu dapat didengar Liman. Namun ia mengacuhkannya karena ia harus pergi. Liman tidak ingin memunculkan kesialan yang lain.

"Shilla, mau ngibar, hayuk," Sayup-sayup Liman mendengar teriakan satu perempuan lainnya.

Ooh ternyata perempuan bersalah itu bernama Shilla. Dan satu fakta lagi bahwa Shilla adalah pengibar bendera.

Kita lihat apakah perempuan bernama Shilla itu mau bertanggungjawab? Tidak tidak, bukan mengganti rugi kacamatanya namun Liman hanya ingin mendengar penyesalan dari Shilla.

Bagi Liman suatu penyesalan juga berarti bahkan melebihi ganti rugi berupa materi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jarum Di Tumpukan JeramiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang