"Heh! Ini sa pu tempat! Pergi kau!" Roti rasa coklat yang ada di tanganku dirampas dan dibuang ke lantai. (Sa pu tempat : tempat milik saya. Orang NTT biasa menggunakan kata "saya punya" dibanding "milikku". Selain itu, tempo bicara yang cepat membuat kata-kata tersebut menjadi terdengar disingkat).
Sudah biasa, namun rasanya akan tetap sakit dan sesak. "Tra usah pasang kau pu muka sedih, tu! Kita trada mau bully kau. Kau juga kan biasanya makan di dekat tong sampah." (Tra : tidak | Trada : tidak ada).
Aku berdiri memungut roti yang walau sudah dilempar masih bisa dimakan. Aku berjalan menjauh sambil memakannya. Aku juga mendengar suara-suara bising yang mengutukku dan mengataiku.
"Kau su keterlaluan, heh. Tra baik buang-buang makanan! Kalau buang orangnya itu baru tra papa. 'Kan dia mirip sampah!" Tawa menggelegar memenuhi kantin di atas perihnya hatiku.
"Jangan baper, ya. Kita cuma bercanda." Iya, mereka cuma bercanda. Buktinya yang lain tertawa.
"Tapi, aku gak tertawa."
Dadaku rasanya sesak. Mereka hanya bercanda. Iya mereka hanya bercanda.
Tetapi rasanya tidak lucu. Apa itu bisa disebut bercanda?
Langkahku kupercepat begitu air di mataku mulai menggenang. Aku masuk ke dalam kamar mandi dan menyalakan keran airnya.
"Hiks." Rasanya sakit. Aku tidak mau diperlakukan seperti ini. Mereka bercanda sesama mereka. Membuatku menjadi bahan olokan, bukan mengajakku tertawa bersama mereka.
Mereka yang awalnya aku kira sebagai tempat nyaman karena ini merupakan sekolah terakhir sebelum menginjak ke dunia dewasa justru tempat inilah yang membuat aku merasa rendah dan tak diinginkan.
"Hahaha. Sa memang tra suka dengan itu anak. Dia kah, terlalu cari muka depan guru. Dia pikir guru hanya urus dia saja kah?" Aku mendengar orang-orang yang berisik memasuki kamar mandi. Tak ingin tangisanku terdengar oleh mereka, aku menyumpal mulutku dengan roti. (Sa : saya. Kadang bisa dipakai sebagai "saja" juga).
"Iya weh. Itu anak seperti kurang kasih sayang. Cari muka sana-sini, pasang tampang sedih ju siapa yang peduli? Sa ilfeel sekali waktu dia cari muka depan anak cowok. Dia kira dia ratu, kah?" Siapa yang mereka bicarakan, sih? (Ju : juga)
"Dia pu orang tua pasti sedih tau mereka pu anak nih, kaya kurang kasih sayang."
"Itu anak kah, su trada siapa-siapa. Di pu bapak su meninggal, dia pu mama ge', kabur karena hutang. Jadilah dia tinggal dengan dia pu nenek dari pihak bapak."
Hatiku mencelos ketika tawa mereka kembali terdengar di telingaku. Cerita itu tidak asing di telingaku. "Kasian eh, sa jadi tra tega dengan Melan, eh."
"Ish, kita ju sebenarnya tra tega. Tapi dia kah, sok sekali jadi orang. Cai dia suka sekali cari muka dengan orang." (Cai : apalagi, bahasa Manggarai).
Air mataku mengalir lebih deras. Jelas-jelas mereka menyebut namaku. Apa salah jika aku melaporkan hal-hal buruk yang menimpaku pada guru? Apa salah, aku meminta bantuan orang lain ketika aku terdesak? Mengapa semuanya jadi rumit? Aku hanya minta bantuan karena terdesak.
Mendengar mereka yang berbicara omong kosong, aku marah. Aku ingin menemui mereka dan meneriakkan fakta yang ada.
Tetapi ….
Jika aku melawan, aku hanya sendiri. Jika aku melawan, aku baru selesai menangis. Jika aku melawan, aku sedang lemah.
Kupeluk lututku sambil berjongkok. Dengan mulut yang masih tersumpal roti, air mataku kembali mengalir.
"Tuhan, kenapa masa remajaku sekejam ini?"
***
"Melan, kau mau apa? Minggu depan mama pulang." Itulah ucapan mamaku yang kudengar kini. Senyum di wajahku tak dapat disembunyikan lagi. Di tengah masalah yang melanda, di tengah ucapan tak baik mengenai ibuku, akhirnya aku bisa mengatakan bahwa mama tidak seperti yang mereka bicarakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIVIA
RandomTumpukan cerpen yang aku kumpulkan sedikit-sedikit Hinga menjadi bukti. Hope you enjoyed it!