Happy Reading
.
Seorang gadis yang sedang duduk termangu di tengah sunyi nya pemakaman itu terlihat begitu murung. Bahkan, disaat gerimis mulai berjatuhan dan semakin bertambah lebat, tidak mengurungkan niatnya untuk tetap berada disalah satu nisan di antara ribuan nisan di sana.
"Kak, Haisya lelah." Gadis bernama Haisya Nadifa itu menyembunyikan kedua lengannya yang terasa menggigil.
"Haisya tidak tau," Gadis itu menggelengkan kepala dengan kening yang berkerut, "mengapa akhir-akhir ini dunia seolah-olah mempermainkan ku?"
Air mata yang terbendung kini luruh membanjiri kedua pipi. Namun, Haisya segera mengusapnya dengan kasar. Dirinya tidak ingin terlihat lemah dengan cara menangis.
Sebelum kembali bertanya, gadis itu terlihat memejamkan matanya sejenak. "Apa kelahiran Haisya membawa malapetaka bagi keluarga kita?"
Lagi dan lagi, Haisya tertawa atas pertanyaannya sendiri. Sementara tangan kurus itu tampak membenarkan rangkaian bunga tulip putih yang terjatuh akibat terkena derasnya hujan.
"Bagaimana tidak? Semua masalah yang terjadi bermula semenjak kau dilahirkan, bodoh!" Monolog Haisya sembari memukul kepala bagian samping cukup keras hingga membuat pandangannya terasa sedikit berputar.
Selang beberapa lama, gadis itu beringsut mendekat ke arah nisan, lantas menyenderkan kepalanya tanpa berniat mengucapkan sepatah kata pun. Namun, keterdiaman Haisya justru membuat ingatan beberapa tahun lalu ketika dirinya tengah mengalami masa kritis, tiba-tiba memenuhi memori episodiknya.
"Apa Kakak masih ingat dengan kejadian tujuh tahun lalu ketika seorang Ayah rela mendonorkan darah untuk anak bungsunya?"
Haisya menghentikan kalimatnya beberapa saat. Sorot matanya kini terlihat begitu sayu. Sembari menahan rasa dingin yang perlahan mulai menggerogoti tubuhnya, Haisya mengalihkan atensi pada dua kata yang dicetak lebih tebal.
Adhitama Elvano. Nama yang selalu dia gumamkan ketika dunianya terasa hancur. Haisya sangat merindukan pria itu. Pria yang selama ini selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya. Bahkan, ketika sosoknya tak lagi ada seperti saat ini, Haisya masih saja terus bercerita meski dia tahu, bahwa Elvano tidak akan pernah bisa meresponsnya.
"Bagaimana mungkin Ayah mendonorkan darahnya disaat beliau sendiri memiliki pasokan darah yang begitu rendah hanya karena tidak menemukan pendonor darah yang sesuai dengan darah Haisya?" ujarnya dengan suara yang terdengar bergetar.
Setelahnya, gadis itu tampak menundukkan kepala seraya meremat dadanya yang semakin terasa sesak. Bahkan, air mata yang telah mengering kembali tergenang hingga membuat pandangannya kian memburam.
"Dan yang lebih menyakitkan lagi ...," Helaan kasar membuat kalimatnya terputus sejenak, "beberapa puluh menit setelah mendonorkan darah, Ayah jatuh pingsan sampai dua jam lebih."
Perlahan, jari-jemari itu mulai tergenggam membentuk sebuah kepalan. "Haisya benci Ayah, Kak!" Lengkingan suara yang memekakkan telinga berpacu dengan deru nafas itu berbaur menjadi satu dengan kilatan petir yang tak henti-hentinya bergemuruh.
"Haisya benci Ayah yang lebih mementingkan anaknya daripada dirinya sendiri ... Haisya benci itu," lirihnya diiringi denyutan hebat yang mendera kepala.
Tanpa menghiraukan rasa sesak yang kian menjalar ke seluruh tubuh, Haisya segera bangkit dari duduknya lantas sedikit menjauhkan diri dari makam Elvano dengan kedua tangan yang masih terkepal. Hampir satu menit lebih, gadis itu hanya terdiam dengan bibir yang terus bergetar kedinginan.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARAPAN?
Roman pour Adolescents"Tidak banyak, untuk saat ini ... aku hanya berharap dapat berkumpul kembali dengan mereka." -Haisya Nadifa-