Bantu support author, ya, biar bisa menghadirkan karya-karya terbaik.
Jangan lupa follow, vote, dan juga komentarnya_-
*****
"Aku takut apakah itu akan terjadi atau tidak."
"Terjadi atau tidak, kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa aja, Rey."
"Hmm, iyah .... Yaudah, jangan lupa kasih aku kabar sesampai di sana, ya. Setelah kamu telfon orang tua kamu."
"Kalau aku ga ada kabar selama bertahun-tahun, apa kamu masih bisa berkomitmen?"
"Aku akan tetap menunggumu, Diana."
"Sampai kapan?"
"Sampai kapanpun."
"Ah, yang bener?"
"Sungguh ruginya aku sebagai laki-laki yang hanya memberikan harapan palsu kepada perempuan, terutama kamu, Diana. Semangat aja, belajarnya. Jika Dia berkehendak, kita pasti akan ketemu kembali."
"Makasih, ya," ucapku lega, diiringi rasa bahagia dan senang yang 'tak dapat kubedakan lagi di antaranya.
"Semoga betah di pesantren, ya, nantinya."
"Aamiin."
7 tahun kemudian ....
Di sepertiga malam, aku terbangun. Teringat akan bersujud kepada-Nya. Waktu do'a yang mustajab, takkan kubiarkan lewat begitu saja.
Usai shalat tahajjud, aku mengangkat tangan sembari berdoa, "Ya Allah, 7 tahun sudah aku menuntut ilmu di pesantren ini. Besok aku akan pulang. Berkahilah ilmuku, lancarkanlah urusanku dan orang tuaku, dan berikanlah kemudahan kepada kami dalam menggapai kesuksesan. Termasuk dia ... yang sedang berusaha menungguku sampai detik ini. Aamiin ya rabbal 'alamin."
Waktu pun terus berlalu, mentari mulai terbit menerangi seluruh pelosok nusantara. Mengingat akan kepulanganku hari ini, aku langsung mengabari orang tuaku. Hingga tiba saatnya aku akan meninggalkan pesantren ini.
Di jalan, aku teringat akan seseorang. Siapa lagi kalau bukan Reyhan, hingga aku meneleponnya.
[Halo, Rey.]
[Assalamu'alaikum.]
[Hehe. Wa'alaikumussalam. Gimana kabarnya?]
[Alhamdulillah baik. Kalau kamu gimana? Sehat, 'kan?]
[Alhamdulillah, aku juga sehat kok, Rey.]
[Tumben pagi-pagi dah nelfon. Ga masuk kelas?]
[Hehe. Aku dah selesai mondoknya, Rey.]
[Kamu serius?]
[Iya. Ini juga lagi nunggu taksi.]
[Padahal pengen jemput.]
[Makanya cepet dihalalin. Hehehe.]
[Hehe. Kebiasaan kamunya.]
[Iya, Rey. Lagian juga ....]
[Iya, ntar kalau sampe rumah kabarin, ya.]
Keesokan harinya ....
Saatnya aku menunggu kedatangan calon imamku. Menunggu di teras rumah. Aku menatap kian kemari, tapi Reyhan 'tak kunjung tiba. Aku membuka handphone, dan ternyata ....
[Korban mengalami kecelakaan begitu parah, hingga nyawanya 'tak dapat diselamatkan.]
"Ya Allah, Rey? Kamu kenapa bisa gini, Rey, kenapa ...? Darahnya kok beneran? Hey ... jawab, dong. Katanya mau ngelamar aku. Ibuku juga lagi nunggu kamu di rumah."
Hancur sudah harapanku. Ternyata maut harus memisahkan kami. Harapan yang awalnya akan menjadi sebuah kepastian, kini telah sirna begitu saja. Secercah harapan kini sudah mustahil kuraih.
"Jika suatu saat aku tidak ada kabar untuk selamanya, jangan sedih, ya. Do'ain aku." Pesan Reyhan sejak aku pergi ke pesantren. Tak nyangka, dulunya aku ngelarang dia untuk tidak mengulangi ucapan itu. Kini menjadi fakta yang 'tak dapat lagi untukku melarangnya.
Sabar. Hanya itu yang bisa kutanamkan pada diriku. Serta mencoba belajar ikhlas agar kepergiannya tenang dikala hatiku sudah ikhlas menerima semuanya.
Tamat.
Terima kasih banyak buat para readers yang sudah membaca cerita ini sampai akhir. Juga buat readers yang telah mendukung author.
Salam Literasi buat kalian semua_-
Sabtu, 08 Oktober 2022