"Bang" Revan menoleh menatap abangnya yang tengah memejamkan mata dengan satu tangan yang berada di atas jidat nya.
"Hmm"
"U-udah satu tahun sampai besok" Ucap Revan yang terdengar lirih sembari menatap langit-langit kamar bernuansa abu-abu milik Reza.
"Tau, gue enggak akan pernah lupa" Balas nya yang masih setia memejamkan mata.
Revan ikut memejamkan mata, bayang-bayang seorang bundanya mulai muncul. Revan amat-teramat rindu dengan bundanya itu.
Dia bisa mengingat bagaimana bundanya terbujur kaku diatas bankar rumah sakit, dia masih mengingat jelas wajah pucat pasi bundanya yang sudah tidak bernyawa.
Semua tentang kejadian hari itu berkecamuk dikepala nya, telinganya bahkan sempat berdengung.
"Sshh!"
"Buka mata lo pan" Peringat Reza sembari menepuk pelan pipi sang adik. Dia khawatir, seperti inilah Revan ketika sedang teringat bunda nya.
Revan duduk dan menatap netra tenang Reza. Manik teduh milih saudaranya itu selalu membuat Revan tidak kuasa untuk menahan tangis nya.
"Bang"
"Gue juga sama kayak lo, pan. Gue juga kangen bunda" Ujarnya yang seakan langsung mengerti walaupun Revan belum mengatakan apapun.
"Kenapa abang enggak nangis?"
"Enggak ada yang perlu di tangisin"
"Lo enggak sedih karna kepergian bunda?!" Ujar Revan sedikit kecewa karna mendapati raut wajah sang kakak masih terlihat biasa saja.
"Ck! Bocah"
"Bang!"
"Lo udah gede pan, coba dewasa sedikit setelah kejadian itu. Lo enggak selamanya harus nangisin bunda, karena mau lo nangis sekenceng apapun bunda enggak bakalan balik" Hardik Reza yang mulai kesal karna adiknya masih kekanak-kanakan
"Hidup bukan cuman soal sedih pan, tapi pikirin juga kedepannya lo bakal gimana. Kalau lo hidup tiap hari cuman ngeratapin bunda, hidup lo sama aja enggak ada gunanya"
Revan menunduk, lebih memilih mendengarkan perkataan sang kakak yang memang ada benarnya.Namun,
"Enggak berguna ya?, lo mau gue mati bang?"Sorot mata teduh Reza berubah menjadi tatapan nyalang,pertanda jika lelaki itu tidak suka dengan perkataan adiknya itu,
"M-maaf" Revan sadar jika dia sudah salah dalam berucap seperti itu.
"Kasihan bunda kalau lo terus-terusan gini" Ujar reza dengan nada bicara yang semakin merendah.
"Gimana bunda bisa bahagia disana, sedangkan lo disini nangisin bunda mulu" Usapan pada pucuk kepala untuk adiknya Reza sertakan.
"Gue enggak setegar lo, bang." Ucap Revan dengan suara bergetar. Dadanya naik turun, sesak sekali rasanya.
"Besok abis pulang sekolah, kita ke makam. Lo kangen bunda kan?" Revan mengangguk cepat.
"Tidur"
Tanpa ingin membantah lagi, Revan menghempaskn tubuhnya dan mulai memejamkan mata. Dia meringkuk membelakangi Reza, sambil memeluk guling milik abangnya.
"Kabar ayah gimana ya bang? "
Hening, Revan masih menunggu jawaban dari Reza, namun lelaki itu tak kunjung menjawab nya. Revan lantas menolehkan kepalanya, ternyata Reza juga tengah membelakangi nya.
Revan yakin jika pria itu sudah terlelap, karna nampak dari punggung nya, nafasnya terlihat sangat tenang dan beraturan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu
Humor"Rintik hujan bikin gue inget semua tentang lo, dan nggak bisa gue pungkiri kalau manik mata gue jadi sendu sampai akhirnya butiran bening itu merosot lagi tanpa seizin gue"