6

327 47 5
                                    

Linus Point of View Started

.
.
.

Kejadian yang menimpa Mai kemarin malam sangat mengejutkan. Dan yang paling membuat gue sedih adalah reaksi Shion.

Pantas saja dia begitu protektif, pantas saja dia begitu posesif terhadap Mai. Karena jika sesuatu terjadi seperti kemarin, dia bisa semarah dan sekalap itu.

Gue bisa tahu, sepintas gue langsung tahu. Kalau Shion menyimpan banyak trauma.


"Hehe, katanya mau ngejagain tapi kok tidur nyenyak gini." Gue masuk ke kamar Mai setelah mendapat ijin.

Gue bisa lihat Shion sedang tidur pulas sambil memeluk pinggang Mai.

Gara gara kejadian itu, Mai diijinkan untuk istirahat. Pihak sekolah juga mau membantu mengejar orang orang yang menyerang Mai. Kasus ini tidak diabaikan karena Shion segera melapor.

"Huss, jangan ganggu dia. Semalam dia gak mau tidur. Jagain gue."

Gue duduk setelah mengangguk, setelahnya gue mengupas apel untuk Mai.

"Lo beruntung bisa punya kakak kayak Shion."

"Iya emang. Gue gak pernah benci dia kok."

Gue mengangguk dan menyuapi Mai buah apel ini. Dia sedikit berprotes karena gue motong apel nya kekecilan.

"Ye dasar rakus, hahaha."

"Lo motong buat ukuran bocil, hahaha."

Melihat Mai bisa tertawa nyaring begini, gue yakin dia baik baik saja. Dia kuat, gue tahu.

"Lo kaget ya ngeliat Shion yang kayak semalam?"

"Siapa yang gak akan kaget, dia kayak ngeliat hantu. Dia kayak melihat kiamat."

"Hehe, mau denger cerita?"

"Kalau lo gak keberatan, gue mau."

Gue lihat Mai mengusap pipi Shion dengan sayang, membuat anak itu mencari cari kehangatan ketika Mai menjauhkan tangannya.

"Dulu dia gak menyebalkan kok. Justru dia tipe anak manis yang mudah dibohongi."

"Kalau tentang itu sekarang juga masih deh hahah."

Gue gak bohong, meski lebih tua dari gue tapi Shion nampak lebih polos. Tatapannya ketika ingin tahu sesuatu, tingkahnya saat marah, kelakuannya kalau terluka... menurut gue tidak jauh beda dengan anak anak.

Mai tertawa kecil lalu melanjutkan ceritanya.

"Dulu pas weekend bulan desember, gue masih inget keluarga kecil kami mau pergi jalan jalan. Waktu itu Shion jadi yang paling riang, mengingat dia suka banget main ke luar. Bapak ngejanjiin kita buat main sepuasnya di area permainan, asal kita harus rukun. Waktu itu Shion meluk gue, saking maunya dia dianggap rukun sama Bapak.

Waktu itu Bapak kurang fokus, dia malah senang mengobrol sama kita. Hingga dia gak tahu kalau ada truk didepan yang jalannya aneh. Ternyata truk itu lepas kendali.

Kecelakaan gak bisa dihindari. Sadar sadar waktu itu gue masih ada di pelukan Shion yang nangis nangis manggil Bapak sama Mama. Kita udah diluar mobil yang ancur, kita dievakuasi polisi setempat."

"Lo jangan nerusin cerita kalau gak kuat." Gue menahan Mai karena gue rasa menceritakan hal seperti itu akan memunculkan luka lama.

"Enggak kok, kalau Shion yang cerita dia pasti nangis sesenggukan. Kalau gue udah bisa ikhlas. Terus gue rasa lo harus tau bagian yang ini."

"Apa emangnya?" Tak bisa dipungkiri gue juga penasaran.

"Waktu kejadian itu gue pingsan. Tapi polisi bilang Shion sadar dari awal sampai akhir... Karena sewaktu diinterogasi, dia jelas sekali menceritakan apa yang terjadi, detil. Lo bisa bayangin gak? Shion ngeliat Bapak sama Mama hancur berlinang darah didepan matanya sendiri."

"Dan itu jadi trauma nya sampai sekarang?"

"Iya. Dia sempet ke psikolog, gue yang anter. Tapi dia nolak ditengah jalan, dia bilang dia udah baik baik aja. Padahal setelah itu gue tau alasan dia berhenti karena biaya obatnya mahal. Dia milih nyekolahin gue ... karena itu dia berhenti berobat dan gak lanjut kuliah."

Gue dan Mai sama sama terdiam.

"Makannya dia takut darah. Dia bakal seperti kemarin malam kalau gue terluka. Karena dia takut gue ninggalin dia mungkin."

Ah sialan. Gue jadi merasa bersalah karena sebelum sebelumnya sudah mengomentari caranya menjadi kakak. Padahal gue gak tau cerita dibalik sikap posesif itu karena apa. Anjir gue bodoh banget.

"Gak usah ngerasa bersalah. Justru gue berterima kasih sama lo, gara gara lo Shion jadi jarang melamun sama murung."

"Dia jadi lebih sering marah marah, sorry." Gue bicara terus terang.

"Ya itu lebih baik, daripada dia diam diam nangis tengah malam? Iya kan?"

Ah gue ingat...

Sebenarnya waktu itu gue denger jelas rintihan tangisan Shion malam malam. Waktu pertama kali gue nginep.

Dia nyebut nyebut Mamanya, bilang bahwa dia takut sendirian, dia sakit, dia capek, dia takut Mai pergi. Semua kecemasannya malam itu tercurah dan gue denger semuanya.

Ah, Shion yang malang. Lo udah mendem rasa sakit terlalu lama.

"Aduh gue pegel. Lo bisa gak pindahin Shion? Gue mau tidur."

"Hahaha oke, istirahat yang baik ya."

Gue segera pangku Shion pelan pelan. Mai bilang jika tidak mau bangun sendiri, Shion benar benar seperti mati. Dia tak akan terganggu dengan suara atau pergerakan apapun. Kecuali jika Mai berteriak kencang, dia otomatis akan bangun.

Gue baringkan Shion di ranjangnya. Gue beresin kamarnya yang berantakan kemudian gue ngambil air buat disimpan diatas nakas, siapa tau ketika Shion bangun dia kehausan.

"Mai... Mai."

"Suutt,, iya iya lo gak sendirian."

Sekarang gue paham. Shion bukan terobsesi pada Mai. Dia hanya takut ditinggal sendirian.

Buktinya, meskipun tidak bersama Mai, meski pun parfum gue beda jauh dari Mai, Shion bisa kembali tidur dengan nyenyak ketika merasakan kehangatan.

Semakin gue peluk dia dengan lembut dan memastikan dia nyaman.

Lalu gue kecup kening dan bibirnya berkali kali, berharap dia semakin hangat dan tidak mendapatkan mimpi buruk.

Gue gak tau apakah tindakan gue ini udah bener atau enggak...

Yang jelas gue gak mau ninggalin Shion sendirian.









Linus Point of View End

The TrapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang