Cold Night

3 0 0
                                    

Nampak dua gadis termenung di suatu atap rumah. Otaknya sibuk berkecamuk dengan pikiran masing-masing. Sedangkan hati mereka sibuk menata rasa yang porak poranda.

"Beneran Mama kamu nggak papa?"

"Iya, udah mendingan 1 bulan terakhir ini, udah mulai stabil kok."

Keduanya lalu terdiam. Hingga pembahasan kembali pada tujuan awal Adiba menghampiri rumah kawannya ini.

"Jadi mending sekarang kamu temuin Bavo! Sebelum makin malem, dan cepet-cepet deh kamu jujur sama Bavo soal perasaan kamu!"

Ayyara berhasil membuat Diba merona dengan ucapannya. Meski dengan wajah semerah tomat, Diba pun mengangguk penuh semangat. Bersamaan dengan hujan yang tiba-tiba terjun begitu deras. Adiba pun menghiraukan teguran Ayyara untuk tetap tinggal beberapa saat lagi hingga hujan reda. Sudah pasti alasannya adalah ingin segera menemui Bavo. Payung ditangannya benar-benar ditolak oleh Adiba.

Ayyara menghela nafas dan tersenyum kecut melihat kepergian sahabatnya. Ia sakit saat mengetahui sahabatnya juga jatuh hati pada orang yang ia dambakan selama ini. Namun apa daya, persahabatan mereka jauh lebih penting. Terlebih, tembok Ayyara dan Bavo memisahkan mereka terlampau tinggi. Amin dan iman mereka jauh berbeda. Sudah jelas mereka memang tak berjodoh sejak awal. Ayyara pun tak bisa membayangkan bahkan untuk siapa hati Bavo berlabuh.

Di luar sana hujan masih turun begitu derasnya. Tepat setelah Adiba menutup gerbang dan membalikkan badan, sosok Bavo lah yang pertama kali berhasil ditangkap oleh matanya. Mereka basah kuyup karena guyuran air hujan. Kemudian berlari kecil saling menghampiri dengan senyum yang merekah.

“I love you!"

Mata Adiba membulat sempurna, senyumnya pun semakin lebar dibuatnya. Lalu, mengangguk penuh semangat kemudian menjawab ucapan Bavo hanya dalam hitungan detik.

“I love you too!"

Bavo tersenyum puas sembari mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Ara bakalan jawab gini kan ya pas aku ngomong ke dia nanti?", tanya Bavo.

Seakan mengerti isi hati Diba, guntur pun menggelegar mewakili sesaknya. Tentu saja pedih mendengar pernyataan Bavo. Sosok yang dicintaimya ternyata jatuh hati pada sahabatnya. Beruntunglah kini air hujan mampu meyamarkan tangisnya. Hingga tawa kecil berhasil keluar dari mulut Adiba.

"Iya dong! Pasti!"

“Hah! Aku ngga tau Ayyara bakal jawab apa. Tapi yang jelas seneng aja gitu rasanya mau jujur ke dia. Doain ya Dib! Kamu satu-satunya yang paham aku sama Ayyara! Kamu pasti dukung aku kan?"

Meskipun tetes air matanya mengalir deras seiring hujan malam itu, Adiba masih dapat memalsukan senyumnya di hadapan Bavo. Keduanya kemudian saling tertawa dan menatap satu sama lain, meski apa yang dirasa jelas saling bertolak.

"Pembunuh! Kamu pembunuh! Tolong!"

Teriakan dari dalam rumah Ayyara terdengar hingga telinga Bavo dan Adiba. Keduanya paham, Mama Ayyara pasti kambuh lagi. Tak dapat dipungkiri, kehilangan suami dan putra sulungnya secara bersamaan sudah pasti mengguncang mentalnya. Sayangnya, Ayyara lah yang selalu menjadi pelampiasan.

Keduanya memutuskan untuk memasuki rumah Ayyara setelah bertukar pandang beberapa detik lamanya. Begitu memasuki gerbang, mereka dikejutkan oleh pemandangan dari atas sana. Nampak Mama Ayyara yang sedang mencekal leher Ayyara dan mengguncang-guncangkan tubuhnya begitu kencang sembari terus mengulang kalimat yang sama. Naas, itu terjadi di balkon atas. Yang mana kapanpun Ayyara bisa saja terdorong dan jatuh.

Semakin panik, Bavo dan Adiba langsung berlari untuk memasuki rumah Ayyara. Pintu yang sudah dikunci semakin mempersulit Bavo dan Diba untuk masuk. Bavo tak ingin menyerah begitu saja, ia berusaha mendobrak pintu dibantu dengan Adiba. Tak lama kemudian, pintu itu berhasil mereka taklukkan. Namun sayang,

"Bruk!"

Adiba lemas melihat Ayyara yang telah tergeletak di tanah. Sementara langkah Bavo mantap menghampiri Ayyara yang tengah meregang nyawa. Darah dan tangis Ayyara kini telah menyatu dengan hujan. Membuka mulut untuk berucap pun sudah tak sanggup ia lakukan.

"Ayyara!", tangis Diba kemudian mulai menghampiri dan menyentuh tubuh Ayyara.

"Ay bangun Ay! Kamu harus kuat! Kita ke dokter ya! Kamu jangan tidur!"

Bavo berusaha membuat Ayyara tetap sadar di dekapannya. Tapi takdir berkata lain. Terakhir, hanya senyum kecil yang Ayyara tujukan untuk kedua sahabat terkasihnya. Meski senyum itu berselimut lara yang teramat sangat tebal.

Ayyara menghembuskan nafas terakhirnya di dekapan Bavo. Tepat di malam yang dingin ini. Ayyara pergi mengenaskan dengan menggores luka di hati Bavo maupun Adiba.

-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cold NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang