Bagian 2: Hukum Semesta

709 93 0
                                    

"Lo tau kan kita masih bisa pergi dari sini?" 

Langkahnya terhenti lantas tubuh tegapnya berbalik menghadap kavindra yang berdiri tak jauh darinya. "Maksud lo?" 

Alih-alih menjawab pertanyaan yang terlontar, sepasang jelaga itu malah terfokus pada megahnya bangunan yang didominasi oleh warna hitam dengan sebuah gemerlap tanda besar bertuliskan 'Devil Bar' hingga membuat turut serta Arutala juga mengalihkan fokusnya pada objek yang sama. "Do not worry, Kav. It is just a bar," katanya berusaha meyakinkan sahabatnya itu. "Lagian, bukannya hal yang bagus kalau lo ketemu sama gebetan lo di sana? Apa yang perlu lo khawatirin lagi—" 

"Lo." 

"Gue?" Arutala mengernyit, tak begitu paham kenapa sahabatnya itu sangat plin-plan sekali. "Lo tadi bilang kalau lo gak khawatir sama gue, tapi lebih khawatir kalau lo bakal ketemu gebetan lo di sana. Jadi, kenapa sekarang—" 

"I am talking about your second gender, Arutala." 

"My second gender?" 

"Yes. As I said before, your second gender migh be reveal here. That thing. I am pretty worried about it since Devil Bar is dominated with alpha. It might be dangerous, so I think it will be better  if we leave—"

"Kavindra!" Arutala memotong cepat, tak ingin lagi mendengar kalimat yang terdengar sebagai sebuah ejekan baginya. Kedua tungkai jenjang tergerak, mengambil langkah untuk memangkas jarak yang ada dengan diiringi tatapan mengintimidasi seolah mengatakan bahwa ia sangat tak menyukai topik yang sedang dibicarakan. "Do you still remember what i just talked to you before we decided to go here?" tanyanya dengan nada tak bersahabat. 

"Gue inget dan paham kalau lo gak suka dikhawatirin sama orang lain, tapi serius! Gue beneran—" 

"Sejak kapan lo boleh khawatir soal gue, Kav?" potongnya sekali lagi, tak memberi kesempatan sama sekali kepada Kavindra untuk menyelesaikan alasan logisnya. Arutala kembali mendekat. Ia beri usapan kecil pada salah satu bahu kekar milik Kavindra sebelum akhirnya memberi rematan yang begitu keras hingga membuang si empu meringis kesakitan. "Gue gak suka dikhawatirin sama orang lain. Note this shit on your mind if you do not want to ruin our friendship, Kavindra," peringatnya dengan penuh penekanan. 

"S-sorry."

"Jangan rusak mood gue, Kav. Lo tau sendiri konsekuensinya, 'kan?" 

Puas melihat wajah Kavindra yang menahan rasa sakit, Arutala lepas rematannya pada bahu sahabatnya itu lantas beranjak pergi meninggalkan Kavindra di belakang sana. 

***

Papa: 'Seem having fun, kid?" 

Papa: 'Do you already forget what I asked to you the past hours ago?' 

Shit! 

Arutala dibuat terlena dengan tempat yang ia sambangi sampai terlupa bahwa ia masih mempunyai urusan dengan ayahnya. Keputusannya untuk tidak mengikuti jadwal checkup hari ini bersama Dokter John nyatanya berakhir bak buah simalakama. Sial. Lagi dan lagi Arutala harus rela dihukum oleh semesta. 

Menghisap putung nikotin terakhir yang berada pada belah kedua jarinya, Arutala balas pesan yang dikirimkan oleh ayahnya kepadanya. 

Papa: 'Kalau sudah dewasa harusnya kamu bisa berpikir, which one is good and which one is not for you.' 

Terdengar jelas kekehan sarkastik setelah rentetan pesan itu terbaca olehnya. Which one is good and which is not? 

"Leaving Gautama is the only good thing for me." 

Benar. Ia berani bertaruh bahwa kesimpulan yang ia ambil kali ini tidak akan membawanya kembali pada sebuah mimpi buruk karena Gautama sendiri lah penyebab dari sekian banyaknya mimpi buruk yang selalu terjadi dalam hidupnya. 

Arutala ingin... 

...ingin sekali menjadi seekor burung pipit yang mampu terbang bebas dengan sayapnya sendiri tanpa takut akan kematian yang siap menjemputnya kapan saja. 

Namun, apakah seekor burung pipit mampu melawan semesta?

Jawaban akan pertanyaan yang selalu terngiang dalam benaknya akan selalu berakhir dengan sebuah tidak. 

Ketakutan ayahnya akan identitas gender keduanya yang belum juga muncul, ditambah dengan adanya kemungkinan bahwa ia akan berakhir menjadi bagian dari kaum omega, membuat Arutala tertekan. Ia bahkan diharuskan untuk mengikuti semua proses pemeriksaan yang telah dijadwalkan untuk menekan kemungkinan-kemungkinan yang ada. 

'Do not you remember that my mom was a dominant omega? I do not know the idea of me being an omega comes from. There is no possibility I will be an omega since you are an alpha and mama was a dominant omega.' 

Silly. Pretty silly!

Konyol rasanya jika ayahnya mempertanyakan dan terlalu mengkhawatirkan identitas gender keduanya jikalau ia terlahir dari rahim seorang omega dominan. 

"Fuck!" 

Arutala mengumpat, menyumpah serapahi tindakan impulsif yang baru saja ia lakukan setelah membaca pesan yang ia kirimkan kepada ayahnya. Oh, c'mon! Mengungkapkan pendapat pribadimu di keluarga Gautama adalah kesalahan fatal dan Arutala baru saja melakukannya! 

"Goddamn it! What is now?!" 

Gebrakan meja yang berhasil mengejutkan beberapa pelanggan di sana terdengar ketika sebuah pop-up pesan bertuliskan 'punishment' tertera pada layar gawainya. Arutala menggeram, menekan semua emosi yang ada agar dirinya tidak lepas kendali. Sungguh, ia akan benar-benar mati apabila melakukan kesalahan untuk kedua kalinya. 

Kelopak matanya memejam, berusaha kuat untuk menetralisir pikirannya yang sedang kacau balau. Ingatan malam itu. Ia tidak boleh mengingat kembali mimpi terburuk yang ia alami waktu itu. 

'Lari...' 

'Lari, Arutala!' 

Fuck! 

Pada akhirnya, Arutala kembali memberikan jiwanya untuk dihukum oleh semesta. Burung pipit kecil itu kalah menghadapi nestapa. 





Bound | Hyuckren Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang