(1) Duka

21 4 0
                                    

Seorang gadis kecil duduk di tepi kuburan, gadis kecil itu menatap sendu kuburan basah yang menandakan kuburan baru. Matanya memerah, menangis terisak meratapi kuburan yang ada di depannya. Iabtidak mampu mengeluarkan sepatah katapun, yang terdengar hanyalah suara isakkan yang kian tiada henti. Selang beberapa menit berlalu, gadis itu mulai memanggil satu nama. 

"Ayah ...." panggil si gadis kecil. "Ayah, Nia butuh ayah, Nia nggak bisa hidup tanpa Ayah, Ayah ...." Berkali-kali kkalimat yang sama keluar dari mulut sang gadis. Dunianya terasa sangat hancur, pelitanya telah pergi, sesosok yang merupakan cinta pertama kini telah meninggalakannya untuk selamanya.

Mala Andriana. Ibu dari Sania menatap sang anak dengan senduh, hatinya ikut terasa sakit ketika melihat sang anak yang terus memanggil nama Ayahnya. Langit semakin mendung seperti halnya dengan suasana hati Sania dan Ibunya, rintihan hujan mulai berjatuhan membasahi pipi kedua insan yang masih tenggelam dalam suasana duka. 

"Nak, kita pulang, yah. Hujannya semakin lebat, nanti kamu bisa sakit dan Ayah nggak suka liat Nia sakit. Jadi, sekarang kita pulang, yah,"  ucap Mala mencoba membujuk Sania. Tanpa sepatah katapun, Sania menuruti perkataan Mala. Namun, sebelum itu ia mencium nisan sang Ayah. Ibu dan anak itupun pergi meninggalkan kuburan dan menuju rumah mereka.

***

Sepi, tidak ada lagi suara canda, tawa yang biasa mereka rasakan dalam rumah, biasanya selalu terdengar suara ribut antar keluarga kecil itu, akan tetapi kepergian Satya Arkana atau suami dari Mala  sangat memberikan efek.

Waktu berlalu dengan cepat, terdengar suara nyanyian jangkrik meramaikan sepinya malam itu, Sania duduk di teras rumah, ingatannya bernostalgia akan kenangan manis bersama Saty. Jarang terlihat gadis berusia 10 tahun sudah ahli dalam menutupi rasa sedih, air matanya mengalir tanpa ada suara isakkan sedikitpun.

Tentu ini sangat tidak mudah baginya, rumah tanpa lampu saja terasa gelap, apalagi tanpa sesosok ayah? bagaimana kehidupannya selanjutnya? akankah kebahagiaan masih menghampiri mereka? bagaimana kehidupan perekonomian mereka? akankah ia mampu bersabar dengan segala kekurangan yang akan ia hadapi?

"Sania, kamu ngapain di luar malam-malam begini, Nak?" tanya sang Ibu.

Sania mendongakkan kepalanya. "Sania lagi liatin ayah dari sini, Bu. Biasanya, Nia duduk di sini sama Ayah sambil ngitung bintang-bintang di llangi dan sekarang Nia sendirian menatap langit dan mencari keberadaan Ayah." Pandangannya teralihkan kepada sang Ibu. "Bu, apa kita bisa bahagia tanpa, Ayah?".

Rasa sakit Sania bisa di rasakan oleh Mala, tetapi inilah takdir. Sejauh apapun kita melangkah dan mencoba menghindarnya, percuma saja sebab kematian adalah takdir yang tidak bisa lagi di ubah. Bagaimana ia memahami pada anak gadis di usia seperti Sania?

Mala duduk di samping Sania, ia meraih tangan kecil anaknya. "Nak, jika kehidupan hanya mengejar kebahagiaan kita akan capek, karena kodratnya manusia itu tidak pernah puas. Misalnya, nih Sania Ibu beliin mainan baru, nah Sania lihat ada temen Sania yang punya permainan yang lagi trending di masa sekarang, akhirnya Sania minder dan pengen punya mainan kayak begitu, padahal di luar sana banyak anak seusia Sania yang juga pengen punya mainan tapi nggak mampu buat beli, Nah itulah maksudnya manusia tidak pernah merasa puas."

"Ohiyah, Sania faham, Bu. Tapi, bagaimana kita hidup tanpa Ayah? Apa Sania bisa saja senasib seperti teman-teman yang nggak bisa beli mainan?"

"Kepergian Ayah memang duka terbesar untuk kita, tetapi jangan lupa dunia terus berputar, tidak berhenti hanya pada satu titik. Jadi, Sania nggak boleh putus asa. Kan ada Ibu, Ibu bisa kerja untuk Sania. Sania hanya perlu sabar dan bersyukur dan nggak boleh pesimis." Mala memeluk erat sang anak, tentu nasehat ini belum bisa dicerna oleh gadis sekecil Sania, tetapi suatu saat nanti ia akan menyadari itu.

"sekarang, kita masuk, yah!" ajak sang ibu sambil menghapus air mata yang membasahi pipi anaknya. "Sedih boleh, tapi jangan berlarut-larut. Ingat! masih ada hari esok yang harus di lewati. Jadi, lebih baik kita istirahat sekarang, yah."

Sania menganggukkan kepalanya."Baik, bu." Gadis itu mencoba tersenyum meski hatinya terasa begitu sangat hancur.

Tuhan, berikanlah aku kesempatan untuk membahagiakan Ibu, karena aku sudah gagal bersaing dengan umur  ayah, tolong biarkan aku menang dalam persaingan kali ini.

_Sania Alesya_

*****

NO!!!!! kalau kalian mikir ini tentang ayah, enggak. kira-kira ceritanya tentang apa, yah?

But, gimana teman-teman untuk part pertamanya? humm, meskipun kurang menarik nih, yah tetap lanjutin bacanya. Karena pasti bakal ada kejutan yang tidak terduga dan maybe di  luar nalar kalian.

tetap jadi reader's  setia Author, yaaa :v

MelancholyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang