Langit semakin mendung, rintik hujan mulai membasahi penduduk bumi, beberapa pengendara motor mencari tempat berteduh di halte bus. Akan tetapi, berbeda dengan seorang gadis remaja yang tengah duduk di kursi taman, bukannnya berteduh tetapi ia justru membiarkan tubuhnya di basahi derasnya hujan. Ingatannya kembali teringat kejadian kala itu, ketka ia menangis di kuburan Sang Ayah.
tidak perduli sudah berapa tahun kepergian sang Ayah, rasa rindu ini masih sama. Iyah! Sania Alesya, gadis yang berumur 10 tahun kini menginjak umur 19 tahun. 9 tahun tanpa sesosok Ayah bukanlah satu hal yang sangat muda, begitu banyak kejadian memilukan yang Sania hadapi. Jika tuhan mengijinkan ayahnya kembali sebentar saja Sania ingin memeluk erat dan mengeluhkan segala beban hidupnya. Tetapi, itu hanyalah sebuah fatamorgana yang selalu ia imajinasikan dalam setiap halusinasinya.
"Setidaknya, hujan mampu menyembunyikan air mata ini," gumam Sania menatap setiap tetesan air hujan yang membasahi permukaan tubuhnya.
Gadis itu mendongakkan kepala sembari mengembangkan senyumannya, cairan bening keluar dari pelupuk matanya, yah, gadis yang memiliki sejuta mimpi namun terhalang oleh keadaan.
Setelah merasa puas bermain hujan, gadis itupun beranjak pergi meninggalkan taman, tidak lupa ia mengambil ransel yang terletak di kursi taman. Hujan semakin reda, para pengendara motor kembali melanjutkan perjalanan mereka. Sania sendiri duduk di halte menunggu seseorang yang akan menjemputnya, pakaian yang basah membuat tubuhnya mengigil, hawa dingin menusuk sampai ke tulang tubuhnya.
"dasar aku, udah tahu nggak boleh gini masih aja ngotot," gerutunya pada diri sendiri.
Sania memegang kepalanya yang terasa berat, entah sejak kapan penyakit ini datang sehingga banyak hal yang biasa Sania lakukan sejak kecil harus ia hindari, salah satunya bermain hujan. Tubuh gadis remaja itu semakin melemah, kepalanya semakin berat, penglihatannya mulai mengunang.
Sania mencium bau aneh, ini seperti ... darah, Iyah cairan merah menetes begitu saja dari hidung Sania. Bukannya merasa panik Sania justru tersenyum. "Sudah ku duga pasti kamu bakal datang lagi, bisa nggak sih biarin aku menikmati hidup seperti orang pada umumnya? Kamu itu sangat menganggu."
Sania mendongakkan kepala, mencoba menghentikan darah yang terus keluar dari hidungnya. Kepalanya semakin berat. Aish, situasi yang sangat ia benci, di mana tubuhnya mulai tidak seimbang. "Tolong, bertahan sebentar!"
Sekarang nafasnya yang terasa sesak. Oh, tidak! sesak nafasnya kambuh. Ia memegang erat dadanya, bagaimana ini? keadaan sangat sepi, tidak ada satupun orang di sana, hujan kembali deras. Derasnya suara hujan dan petir di susul dengan suara guruh membuat Sania ketakutan.
Sania berusaha menenangkan dirinya, tetapi keadaan membuat ia merasa semakin takut, nafasnya semakin tidak beraturan dengan darah yang terus mengalir, wajahnya sangat pucat, benar-benar pucat. Sania semakin gelisah, ia sudah tidak mampu mengatur nafasnya lagi. Apakah sekarang saatnya Tuhan memanggilnya?
beberapa menit berlalu nafasnya justru semakin sesak, sedetik ... dua detik .... tiga detik ... yap! nafasnya tersendat, denyut jantungnya melemah. Tidak ada tarikan nafas lagi, Sania gagal mengatur nafasnya, seluruh tubuhnya kaku, matanya terbuka lebar sedikit demi sedikit pandangannya mulai mengunang sehingga saat itu juga tubuhnya jatuh terbaring di jalan. Sania tidak sadarkan diri dan keadaan saat itu masih sangat sepi, tidak ada satupun orang yang bisa memberikan pertolongan untuk gadis malang itu.
Beberapa menit berlalu, tubuh Sania terbiar begitu saja di jalanan dengan curah hujan yang masih sangat deras membasahi tubuhnya. Seorang pria datang dari seberang jalan. Siapa itu? Pertanyaan itu terlintas dalam gumamnya.
"SANIA!" Pria itu memakirkan motornya dan berlari ke arah Sania, ia sudah menduga hal ini akan terjadi, Sania sangat ceroboh terhadap dirinya sendiri.
Ia meraih tubuh dan mengelap darah yang mengotori sekitar wajah Sania. Pria itu memegang pergelangan tangan gadis itu memastikan keadaannya dan syukurlah masih ada denyut nadi, tetapi sangat lemah.
Dengan cepat ia mencoba melakukan pertolongan pertama, Pria tadi meletakkan kedua tangannya di atas dada Sania, beberapa kali ia memompa, berharap ada reaksi dari usahanya, ttetap gagal. Tidak, dia sudah sangat panik matanya berkaca, pria itu menangis mengkhawatirkan gadis yang ada di hadapannya ini. Tidak ada pilihan lain selain CPR, ini situasi yang mendesak mungkin cara ini bisa berhasil.
"Maaf, Sania" Pria itu mendekatkan wajahnya dan langsung memberikan nafas buatan, sekali, dua kali, tiga kali ...
Tidak ada, keadaan masih saja sama. Kini pria itu di buat semakin cemas, bagaimana ini? Sania sama sekali tidak ada perubahan. beberapa kali ia mencoba memanggil nama gadis yang ada di hadapannya , namun tidak ada jawaban dari arah sana. Pria berjaket jens itu menggendong Sania dan membaringkan tubuh gadis itu di kursi panjang halte. "Ni, ini aku, sayang! bangun! Ayok, kamu bisa, Ni. Sania jangan gini. Sania aku butuh kamu, SANIA ...."
****
HAIIIIII!!!
GIMANA-GIMANA? PART KALI INI?
Koment yah gimana perasaan kalian setelah membaca part kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholy
Teen Fictiongadis cantik yang memiliki banyak mimpi namun terhalang oleh takdir, kenyataan yang menguuburkan segala impiannya, tetapi dalam fase perjuangannya melawan takdir ia selalu di temani oleh sosok yang merupakan rumah kedua baginya. lantas apakah Sania...