Malam itu, ketika hujan turun membasahi bumi seorang anak laki-laki tengah berlari di pinggir jalan. Padahal jam sudah menunjukan pukul sembilan, sebut saja anak lelaki itu bernama Naraka Putra Sanggala. Anak bungsu dari anak terkaya nomor kedua itu baru saja mendapat panggilan dari sang Ayah, tanpa menunggu waktu ia memaksakan dirinya untuk berlari menuju mansion megah milik keluarganya.
"Ayah ada apa?!" Nafasnya masih terasa sesak setelah berlari cukup jauh dari sekolah ke tempat tinggalnya.
Johar, selaku Kakak pertama Naraka langsung membalikan tubuhnya ke arah pintu utama dan betapa terkejutnya ia ketika melihat keadaan adiknya yang cukup berantakan. Wajah yang pucat, serta jangan lupakan tubuhnya yang basah karena terguyur hujan.
Naraka terduduk ketika melihat keadaan rumahnya yang baik-baik saja, hanya saja dirinya melihat Juna yang terbaring di sofa dengan sebuah oksigen yang menutupi sebagian wajahnya. Ternyata setelah mendengar suara Ayahnya yang sangat panik membuat dirinya seakan lupa, jika keluarganya akan beranggapan berlebihan jika saudaranya kembali terbaring dengan lemah. Naraka tersenyum miris. "Bodoh.." Ucapnya lirih.
Johar melangkahkan kedua kakinya menuju ke adik kecilnya, setelah sebelumnya dirinya memerintahkan salah seorang maid untuk membawakan handuk untuk adiknya. "Kau baik-baik saja?"
Tanpa mengucapkan kata apapun, dirinya menerima pemberian handuk yang diberikan oleh Kakak pertamanya. "Terima kasih.."
Setelah itu Naraka bangkit dari duduknya dan melangkahkan kedua kakinya menuju kamarnya berada, selama menuju kamarnya dirinya terus merutuki dirinya sendiri dengan merelakan dirinya kehujanan hanya untuk melihat keadaan kembaran nya. sejak dulu dirinya tidak suka melihat saudara kembarnya yang selalu di penuhi afeksi kasih sayang oleh semua anggota keluarganya. Karena sejak kecil dirinya selalu dilupakan, hati kecilnya terlalu lelah menerima jika dirinya selalu dilupakan oleh keluarganya. Mereka dengan tega nya membiarkan Naraka kecil tertinggal di belakang tanpa seseorang yang datang untuk menuntunnya agar kembali bersama mereka. Memiliki dua orang kakak bukanlah hal yang menyenangkan, karena pada dasarnya kedua Kakaknya hanya memiliki perhatian kepada saudara kembarnya bukan kepadanya.
Sesampainya dirinya di dalam kamar, bukannya langsung untuk membersihkan dirinya, Naraka hanya terduduk sambil menatap kosong pandangan di hadapannya. Bahkan Naraka tidak berniat untuk menyalakan lampu kamarnya, kamarnya dibiarkan gelap serta sunyi hanya suara dari arah luar yang terdengar, suara dimana semua anggotanya tengah berkumpul di ruang keluarga sambil menemani Juna. Dirinya kembali terkekeh, menertawakan kembali hidupnya. Namun kedua matanya meneteskan air mata berbeda dengan bibirnya yang tersenyum. "Bodoh. Kau bodoh Naraka. Seharusnya kau sadar jika kau sendiri di dunia ini.."
Setelah merenungi nasibnya, Naraka bangkit untuk membersihkan tubuhnya setelah selesai dirinya duduk di pinggiran kasur sambil menatap kosong halaman belakang rumahnya yang hanya diterangi oleh lampu taman. Menatap bintang yang bertaburan di atas langit yang berwarna hitam sambil membayangkan bagaimana jika dirinya menjadi salah satu dari bagian bintang tersebut, apakah ia akan kesepian seperti sekarang atau membuat dirinya bahagia karena sudah tidak merasa kesepian lagi? entahlah, hanya itu yang dipikiran Naraka saat ini. Ia ingin bergabung bersama taburan bintang di atas langit sana.
Keesokan paginya Naraka sudah siap dengan seragam sekolahnya, terlihat wajahnya sedikit pucat dan juga lingkar hitam di bawah matanya. Ia duduk di kursi meja makan, ruang makan masih sepi karena belum ada satu pun anggota keluarganya yang bersiap.
"Tuan muda?"
Naraka hanya tersenyum setelah itu dirinya mengambil selembar roti dengan selai coklat yang berada di meja makan.
"Anda ingin sarapan dengan yang lain Tuan? Karena makanan belum siap, ini masih terlalu pagi."
"Tidak usah Bi, Aku makan ini aja. Terima kasih."