Ting!
Bunyi dentingan dari sebuah pintu yang terbuat dari kaca tebal di sampingnya membuat Sarah sedikit tersentak kaget. Lantas ia menghadapkan diri pada presensi yang muncul dari balik pintu tersebut untuk menyapa. Gadis berambut pendek sebahu menatap sesuatu yang berada di tangan Sarah dengan manik yang berbinar.
"Wahhh, kamu beneran dateng? Padahal lagi hujan begini," tukas gadis itu pada Sarah. Akan tetapi sorot matanya tidak lepas dari dua kotak berisikan makanan yang ia tunggu-tunggu.
"Sebenernya kedai kita udah tutup, Kak. Pegawai saya lupa nggak nutup situs penjualan online kami. Jadi saya baru bisa nganterin sekarang. Maaf, ya, Kak." Sarah mencoba menjelaskan.
Gadis berpakaian pesta itu lantas menaikkan pandangan yang semula fokus pada pesanan miliknya, "Ah, nggak usah khawatir. Terimakasi— hei, tunggu bentar! Kamu nggak punya keluarga lain apa? Bisa-bisanya kamu bawa adikmu nganterin pesanan di pas lagi hujan gini?"
Sarah tersenyum gugup. Berusaha untuk menutupi wajah mungil seorang anak laki-laki yang terlelap nyaman dalam gendongan kangguru depan dada yang menggantung di kedua pundak dengan topi kecil berwarna hitam.
"Ah, maaf. Itu ... dia maksa buat ikut, padahal saya udah ngelarang."
"Kalau gitu ikut aku ke dalam dulu, Kak. Minimal kamu harus nungguin hujan reda dulu, deh, sebelum pulang. Nanti kalau adikmu kena demam, gimana?" tawar si gadis berambut pendek.
"Enggak perlu. Makasih banyak atas tawarannya, Kak. Beneran, ini saya harus cepet-cepet," tolak Sarah dengan lembut.
Ting!
Baik Sarah maupun si gadis berambut pendek itu menolehkan kepala mereka secara bersamaan. Lantas, keduanya mendapati eksistensi seorang pria berusia sekitar 30 tahun yang mengenakan tuksedo abu muda dipadu dasi merah hati yang melingkar apik di kerah kemejanya. Pria itu tampak mahal dan elegan. Sarah mengernyit heran sebab potongan rambut pria itu dari belakang tampak familiar.
Lantas tubuh Sarah membeku sepersekon setelah tubuh tegap pria itu berbalik hadap ke arahnya."Amora, lagi ngapain di lu ... ar?"
Obsidian Sarah dan pria itu bertemu. Saling menatap dalam. Sangat lama sebelum akhirnya sosok Amora membuka suara untuk memecah hening yang menyelimuti.
"Mas Arkan, ngapain ke sini?" tanya Amora pada sang kakak.
"Ha—hah? Apa i—itu ... anu, lagi nyariin kamulah. Maksudku ..., mama, iya mama lagi nyariin kamu," jawab pria itu gugup.
"Ngomongin apa, sih, Kak?"
Sarah berdehem untuk menghilangkan rasa canggung yang ada. Lantas ia membungkuk lagi pada Runa dan berujar pelan, "Kak, aku pamit pulang. Makasih atas pesanannya, ya."
"Kamu ... yakin? Enggak mau mampir di sini dulu? Kamu mau bawa adikmu hujan-hujanan lagi?" tanya Amora khawatir.
"Hujan udah mulai reda. Lagian Kakak kayaknya lagi ada acara penting, aku enggak mau ngeganggu," jawab Sarah lirih.
"Tunggu di sini sebentar!" perintah Amora tegas. "Aku mau ambilin sesuatu buatmu sama adikmu."
Gadis berambut pendek itu melenggang masuk. Seketika Sarah merasa atmosfer di sekelilingnya berubah mencekam. Ia lekas mengeratkan ganggamannya pada pada kaki mungil milik anak laki-laki kecil yang terlelap nyaman dalam dekapan. Lantas dengan sekali gerakan, Sarah membalikkan tubuh guna memunggungi kakak dari Amora tersebut untuk mengahadap ke arah jalan raya yang sedang senggang.
"Permisi! Maaf, apa bener nama kamu Hanindhiya Sarah?"
"I—iya. Saya Hanindhiya Sarah."
"Lalu, apa dia ...,"
"Enggak! Saya sudah menikah."
Shofiabakrie-nim
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan yang (tidak)terlupakan
RomancePernikahan itu tidak sakral. Cinta yang membangun pernikahan itulah yang sakral. Bagaimana kalian mudah mengatakan bahwa hubungan kalian sakral jika tidak ada cinta di dalamnya?