Burung-burung saling bersahutan. Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan yang rindang. Matahari pagi yang cerah mulai menghangatkan desa. Suasana lebaran yang paling nikmat untuk semua orang. Semua anggota keluarga berkumpul pada rumahnya masing-masing. Saling bercengkrama tersenyum hangat dan penuh kasih sayang. Saling meminta maaf dan juga memaafkan. Momen lebaran yang khas ini selalu terulang tiap tahunnya. Momen yang paling dinanti dan hanya setahun sekali.
Keluarga besar Wijaya juga merayakan hari besar ini. Tiga keluarga berkumpul bersama di rumah masa kecil mereka. Meski kini hanya tinggal Ibu Wijaya saja -mediang suaminya sudah lama berpulang. Tiga keluarga lengkap suami-istri dan anaknya. Tidak banyak, namun cukup ramai.
Ibu Wijaya tidak menyiakan kesempatan berkumpul dengan anak dan cucunya. Kali ini ia membuat ketupat dan opor ayam dengan jumlah besar. "Ibu ini terlalu banyak," komentar salah satu anaknya. Tidak hanya makanan berat saja, bahkan Ibu Wijaya sempat memenuhi toples-toples dengan nastar dan kastangel. Tiap tahun begitu. Makanya rumah keluarga besar ini tidak pernah kehilangan kebahagiaan lebaran.
Salah satu perempuan muda duduk disana. Memangku keponakan kecilnya yang baru belajar berjalan. Perempuan muda itu Erika. Parasnya cantik meski kulitnya tidak seputih susu. Bentuk tubuhnya pun sempurna untuk usia 18 tahun. Tinggi proporsional. Semua menyukainya, bukan hanya parasnya saja. Bahkan tutur katanya lembut dan perilakunya yang teladan. Erika bagai kembang desa yang paling dinanti seluruh pria penjuru negeri.
"Erika, kamu diterima di kampus Garuda ya? Jurusan apa, sayang?" Tanya seorang wanita paruh baya, Budhe Hayu. Kakak perempuan satu-satunya dari Ayah Erika -Topik.
"Jurusan Sastra Indonesia, Budhe." Erika menjawab dengan senyum. Tentu saja ini pertanyaan yang menyenangkan. Menjadi sastrawan sudah menjadi impian Erika sejak kelas 4 SD.
Ayahnya tiba-tiba ikut dalam pembicaraan, "Katanya ga sabar tuh, Budhe. Mintanya minggu depan udah berangkat keluar kota aja." Ayahnya sengaja menggoda Erika. Tau anaknya tidak sabar mengejar mimpinya.
"Kasih doa yang terbaik buat Erika ya, Budhe. Erika bentar lagi mau ospek di kampus sana"
"Anak pinter kayak kamu pasti jadi orang besar nantinya. Budhe, Pakdhe dan semua disini pasti selalu kirim doa buat Erika," Kali ini Pakdhe Agus yang menjawab. Suami dari Budhe Hayu.
"Mba Ika perginya jangan lama-lama loh! Nanti Esa kangen sama Mba Ika," Adik kandung satu-satunya Erika mulai merengek. Ika adalah panggilan khusus darinya.
"Mba Ika pulangnya lebaran tahun depan wlek!" Erika menggoda adiknya yang baru masuk kelas 2 SD. Esa cemberut mendengar jawaban sang kakak. Tiba tiba menjerit, kemudian menangis dengan kencang.
Semua orang tertawa melihat tingkah Esa. Erika yang merasa bersalah segera meninggalkan keponakan kecilnya, segera memeluk Esa dan mulai menenangkannya. Erika mengusap air mata adiknya, mengelus kepala juga punggungnya.
Keluarga ini harmonis dan sempurna. Mereka bukan keluarga yang kaya raya. Sederhana dan cukup saja sudah bisa bersyukur dengan hidupnya. Tidak ada pertengkaran, rasa iri, apalagi dendam dan amarah. Sungguh membuat iri keluarga lainnya.
Erika mulai menghitung hari sejak itu. 10 hari berikutnya ia akan berangkat ke luar kota. Perjalanannya 6 jam menggunakan kereta. Semua persiapannya sudah matang. Sudah melunasi kost selama 1 tahun kedepan. Sudah membuat rekening baru. Sudah belajar memasak. Bahkan sudah membuat jadwal harian yang akan ia tempel di dinding kamarnya nanti. Erika benar-benar menantikan kehidupan barunya sebagai mahasiswa.
Tapi Erika tidak tahu, kehidupan di luar kota tanpa satupun orang yang ia kenal tidak akan mudah. Erika belum belajar tentang arti kehidupan yang keras, karena keluarganya hanya dipenuhi kebahagiaan yang sempurna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka yang Hilang
Teen FictionSebagai seorang mahasiswi perantauan, Erika tinggal di sebuah kost-kostan biasa dengan fasilitas secukupnya. Setidaknya layak dan pantas untuk hidup setahun-dua tahun. Erika belajar di Universitas Garuda Muda, sebuah universitas swasta terbaik di ne...