Tatapan Martha kosong. Air matanya mengalir, namun wajahnya tanpa ekspresi. Ia bersandar di sofa kulit yang ukurannya terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Ia sendiri tidak tau mengapa ia membutuhkan sofa sebesar ini. Apartemen seluas ini. Isi lemari es sebanyak ini. Sebuah TV tipis dan lebar membentang di sebrang sofa, memutar film favorit Martha sejake kecil, Peter Pan.
"Martha?" panggil sebuah suara dari iphone yang tergeletak di lantai.
"Halo?" panggilnya lagi.
Tak lama suara itu tak lagi memanggil, digantikkan gedoran pintu.
"Buka pintunya!" teriak pria dari luar.
Martha memandang kosong ke sebrang ruang tamu, dimana pintu masuk apartemennya berada.
"Buka pintunya atau kami terpaksa mendobrak!" teriak pria itu lagi.
"Aku baik-baik saja!" teriak Martha.
Pria diluar berusaha membuka pintu namun tak lama terdengar suara kunci yang dimasukkan. Security apartemen datang membawa kunci cadangan. Segerombolan pria berjas hitam masuk dan menggeledah seisi apartemen Martha. Salah satu dari mereka langsung mendekati Martha saat pintu berhasil dibuka. Ia melihat kekacauan disekelilingnya dan menggelengkan kepala. Apartemennya gelap, tak ada satu lampupun yang dinyalakan. Sumber cahaya hanya dari kulkas yang tidak tertutup rapat dan TV yang menerangi sofa di hadapannya, membentuk sebuah figur kecil yang sedang meringkuk disana.
"Apa yang harus kukatakan kepada ayahmu nak?" gumam pria berbadan tinggi dan besar tersebut sambil menggendong Martha.
Berbotol-botol minuman sudah habis ia tenggak sendiri. Entah sudah berapa hari Martha tidak keluar dari apartemennya. Ayahnya tidak dapat menghubunginya selama 3 hari. Teman-temannya mengatakan bahwa Martha di apartemennya. Begitu juga security, yang mengatakan bahwa ia belum melihat Martha keluar atau masuk dari gedung apartemen selama 3 hari. Khawatir, di hari ketiga ayahnya mengirimkan asisten-asistennya untuk mengecek. Ia berusaha menghubungi Martha namun setiap diangkat, ia tidak mengucap sepatah katapun.
Sejak kecil, sebagai anak perempuan satu-satunya, Martha sangat dimanja terutama oleh ayahnya. Ia juga dekat dengan kakak laki-lakinya, Alfie, yang hanya berbeda 3 tahun darinya. Ayahnya sibuk, namun di waktu-waktu langka dimana ia senggang, segala sesuatu yang anak-anaknya inginkan akan dikabulkan. Play Station untuk Alfie, koleksi barbie untuk Martha, sepeda untuk Alfie, rumah boneka untuk Martha. Mereka tumbuh diselimuti oleh kebahagiaan, keseruan, pengalihan. Mereka tidak sadar ayah semakin jarang pulang. Ayah dan ibu bertengkar selagi Alfie dan Martha sibuk berebut giliran bermain Play Station. Ayah dan ibu sedang memproses perceraian mereka, di saat bersamaan Alfie dan Martha tertawa riang bersepeda. Tanpa mereka sadari, perlahan dunia yang selama ini mereka kenal hancur. Sampai suatu hari mereka keluar dari dunia fantasi mereka, dan bingung mengapa ayah tidak lagi tinggal dengan ibu. Pesta ulang tahun tidak lagi sama. Pesta tahun baru tidak lagi sama. Lebaran tidak lagi sama. Mereka sekarang sudah terbiasa. Di sekolahpun sebagian besar teman mereka adalah anak broken home. Ibu menikah lagi dengan duda beranak satu. Ayah belum, namun beberapa kali ia memperkenalkan pacarnya. Alfie kuliah di Sydney lalu lanjut kerja disana. Martha kuliah di kampus seni, perfilman. Di umur 13 tahun Martha mulai jatuh cinta dengan film. Dimana untuk 2 sampai 3 jam ia tidak lagi berada di dunianya, melainkan masuk ke dalam dunia film tersebut. Sebuah pengalihan.
Pria besar tersebut menggendong Martha masuk kedalam mobil.
"Jalan." perintahnya ke supir.
"Lucy." gumam Martha.
Pria tersebut hanya menatap Martha sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Movie Night
Teen FictionMartha, adalah anak perempuan satu-satunya dari seorang business man kaya raya. Mengidap depresi, Martha percaya bahwa uang tidak dapat membeli kebahagiaan. Pertemuannya dengan Lucy akan mengubah hidup kedua gadis tersebut. Kecintaan mereka dengan...