BAGIAN 6

64 6 0
                                    

Setelah selesai memanen sawah, Rangga mengikuti para petani itu ke pondok mereka. Sampai menjelang sore hari, tak terlihat tanda-tanda Perguruan Tengkorak Merah mengirim utusan untuk membuat perhitungan dengannya. Rangga mulai tak betah sementara orang-orang desa mulai sibuk mengangkut hasil padi, dia meninggalkan desa sesaat untuk berjalan-jalan mengitari desa itu.
Jarak desa ini dengan Pesisir Utara tak begitu jauh hanya di batasi oleh beberapa bukit kecil membuat bentuk pantainya tak semua landai. Nun jauh di atas sebuah bukit yang agak menjulang, bertengger Perguruan Tengkorak Merah yang selama ini membuat kekacauan di mana-mana. Ada keinginan Rangga untuk langsung menyatroni ke sana, tapi tak ada alasan khusus yang menyurutkan niatnya kesana. Sambil menghela nafas, dia meneruskan langkah mendaki sebuah bukit kecil yang tak begitu jauh dari desa itu.
Tiba di ujungnya, bukit itu buntu. Jurang di bawahnya adalah batu karang dan ombak yang terus menghantam dasar bukit ini. Angin bertiup semilir melambai-lambaikan rambutnya yang panjang. Hewan malam mulai keluar satu persatu. Sementara di permukaan laut terlihat burung camar dan kelelawar beterbangan saling berkejaran.
"Hmm, sudah lama sekali aku tak bertemu dengan sobatku. Tentu dia pun rindu padaku," gumam Rangga.
Pemuda itu kemudian mendongakkan wajah ke angkasa sambil memperhatikan kesekeliling tempat itu.
"Mudah-mudahan dia bisa mendengar isyaratku..." lanjutnya kembali sambil memasukkan dua jari tangan ke mulut.
"Suiiit...!"
Terdengar suitan panjang dari mululnya. Rangga menunggu beberapa saat. Kemudian kembali meluncur dari mulutnya suitan panjang yang melengking untuk kedua kalinya. Dan kali ini mulai terlihat bintik hitam di angkasa yang sedikit demi sedikit melebar dan menunjukkan rupa seekor Rajawali raksasa.
"Krakh...!"
"Eh, siapa yang kau bawa ini?!" tanya Rangga kaget ketika melihat sesosok tubuh wanita dalam cengkeraman Rajawali raksasa itu. Buru-buru dia menangkap tubuh itu sebelum burung Rajawali tersebut menjejakkan kakinya. Diperiksanya sesaat dan melihat luka cakar dibagian dada gadis itu. Rangga merasa sedikit jengah melihat pemandangan di depan matanya itu. Tapi gadis ini harus cepat ditolong karena sekujur tubuhnya mulai menghitam.
"Gadis itu terkena racun ganas. Masih untung kau cepat menolongnya. Kalau tidak nyawanya pasti tak akan tertolong lagi," desis Rangga sambil membaringkan tubuh gadis yang sedang tak sadarkan diri itu. Rangga merapatkan kedua belah telapak tangannya beberapa saat hingga terlihat perlahan-lahan memerah sambil mengepulkan asap tipis.
"Hup!"
"Plak!"
Ditempelkannya sebelah telapak tangannya kebagian dada si gadis persis di atas luka bekas cakaran itu. Wajahnya tampak berkerut seiring dengan hela nafasnya yang semakin kencang. Butir-bulir keringat mulai keluar dari pori-porinya. Tapi usahanya tak sia-sia karena sedikit demi sedikit bagian menghitam di dada gadis itu sirna, dan....
"Yeaaa...!"
"Glaaar!"
Rangga menarik telapak tangannya sambil berteriak keras dan menghantam sebuah batu karang hingga hancur berkeping-keping. Bersamaan dengan itu si gadis sadar dan memuntahkan darah kental yang bergumpal-gumpal sebesar jempol tangan berwarna kehitam-hitaman.
"Ayo, terus muntahkan sisa-sisa racun di tubuhmu!" ujar Rangga sambil menyandar si gadis pada sebuah batu dan mengusap punggungnya dari bawah ke atas.
"Hoeeekh...!"
Gadis itu menyemburkan sisa-sisa racun terakhir yang mengendap di tubuhnya. Nafasnya tersengal-sengal. Rangga masih mengurut-urut punggungnya hingga pernafasan gadis itu perlahan-lahan membaik.
"Heh, siapa kau?!" sentak gadis itu sambil menutupi bagian dadanya yang terbuka begitu menyadari bahwa seorang pemuda yang tak dikenalnya mengusap-usap punggungnya. Wajahnya yang masih pucat tampak garang dan menunjukkan ketidaksenangannya atas perbuatan yang dilakukan pemuda itu. Tapi begitu melihat darah kental berceceran di sekitar tempat itu, sikapnya berubah lain. Lebih-lebih ketika melihat seekor burung raksasa bertengger tak jauh dari situ. Mengertilah dia apa yang telah terjadi. Dengan wajah malu-malu ditundukkannya kepala.
"Ni sanak, maaf kalau kau tak suka dengan caraku. Melihat kau terluka parah aku bermaksud menyelamatkan kau dari kematian. Syukurlah sobatku itu buru-buru membawamu kesini..." ujar Rangga pelan.
"Ng.... terima kasih atas pertolonganmu...."
"Sudahlah. Bukankah itu hal biasa sesama manusia saling tolong menolong. Kalau tak keberatan, bolehkah aku mengetahui kenapa kau bisa sampai begitu? Agaknya kau baru saja bertarung dengan tokoh yang amat kejam...."
Gadis itu tak buru-buru menyahut setelah mengangguk perlahan. Bola matanya menerawang jauh ke ujung permukaan laut yang bertaut dengan batas cakrawala. Wajahnya terlihat murung. Rangga menyadari bahwa gadis ini tentu lelah mengalami peristiwa hebat yang membuat batinnya terguncang. Maka dia tak terlalu memaksa, dan hanya diam sambil sesekali memperhatikan dan mengelus-elus bulu leher Rajawali raksasa yang merupakan teman dekatnya itu.
"Guru dan Kakak seperguruanku tewas olehnya...."
"Tewas oleh siapa...?"
"Manusia berwajah buruk dan berbau busuk yang menamakan diri sebagai Setan Alam Kubur...."
"Setan Alam Kubur? Baru kudengar nama itu. Siapa gerangan gurumu hingga bisa tewas di tangannya? Apakah kalian mempunyai urusan dendam dengannya?"
"Tidak. Bahkan tak ada urusan sama sekali. Guruku bergelar Iblis Pedang Delapan. Kami bermaksud untuk mengunjungi Ki Jala Tunda karena beliau mengundang. Guruku tadi menyangka bahwa Setan Alam Kubur adalah juga salah seorang tokoh yang diundang oleh Ki Jala Tunda. Tapi ternyata tidak. Bahkan dia mengaku telah membunuh Ki Jala Tunda..." kata gadis itu menjelaskan.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita gadis itu. Hatinya sedikit tak enak karena dia telah menolong murid salah seorang tokoh golongan hitam, bahkan sekutu Ki Jala Tunda yang sudah jelas perbuatannya sangat merugikan rakyat. Tapi hati kecilnya yang lain seolah menghibur dan mengingatkan bahwa menolong manusia tak boleh pandang siapa orangnya.
"Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?" Tanya Rangga hati-hati.
"Iblis itu harus mati di tanganku!" dengus gadis itu sambil mengepalkan tangan.
Rangga tak memberikan reaksi mendengar tekad gadis itu. Dalam hatinya cuma merasa yakin bahwa tindakan gadis itu hanya sia-sia belaka. Sebab kalau saja gurunya dapat dikalahkan bahkan tewas di tangan tokoh yang bernama Setan Alam Kubur, mana mungkin dia mampu membalaskan dendam dengan kepandaian yang dimilikinya saat ini.
Ada hal yang membuat pemuda itu tak habis pikir. Siapa sebenarnya Setan Alam Kubur itu? Apakah dia salah seorang tokoh pembela kebenaran yang muak dengan sepak terjang Ki Jala Tunda beserta murid-muridnya selama ini? Ataukah tokoh golongan hitam dan bermaksud membantai mereka satu persatu?
Seribu satu pertanyaan menggantung di benak pemuda yang dikenal dengan gelar Pendekar Rajawali Sakti itu. Dalam keadaan demikian tiba-tiba Rangga tersentak kaget melihat asap hitam mengepul ke angkasa dari arah desa yang tadi ditinggalkannya.
"Heh...? Desa itu kebakaran. Apa yang terjadi?"
Buru-buru dia naik ke punggung Rajawali itu dan bermaksud untuk meninggalkan puncak bukit itu secepatnya ketika burung Rajawali itu berteriak kecil mengingatkan.
"Astaga, hampir lupa! Nisanak, apakah kau ingin tinggal di sini atau ikut denganku?" tanyanya pada si gadis.
Gadis itu menoleh dengan pandangan lesu dan belum memberikan jawaban.
"Ayolah! Aku tak bisa berlama-lama membiarkan keadaan desa itu. Di sana pasti ada kekacauan."
"Na... naik ke punggung burung itu...?" tanyanya ragu.
"Kenapa? Takut? Bukankah tadi kau malah dicengkeramnya? Ayo, cepat naik!"
Rangga terpaksa turun dari leher Rajawali itu dan menarik lengan gadis itu yang masih ragu-ragu beranjak dari tempatnya semula. Meski dengan hati gamang, tapi akhirnya gadis itu pun menurut dengan hati-hati sekali. Ketika Rajawali itu melesat ke angkasa, rasa takutnya tak terbendung lagi. Dengan cepat di peluknya tubuh Rangga dari belakang seperti tak hendak dilepaskannya.
"Berpegang erat-erat ya? Awas! kalau lepas kau pasti akan jatuh. Dan tahu sendiri akibatnya kalau jatuh dari ketinggian saat ini. Tentu tubuhmu tak akan berbentuk lagi begitu tiba di bawah!" teriak Rangga sambil tersenyum dalam hati.
Gadis itu cuma diam tak banyak bicara. Meski wajahnya jengah dan perasaan hatinya tak karuan, tapi pelukan di punggung pemuda itu tak dilepaskannya. Meski... Rangga merasakan bukit kembar gadis itu seperti membuat detak jantungnya lebih kencang berbunyi!
Burung Rajawali raksasa itu melesat cepat dan berputar-putar sesaat di atas rumah-rumah di desa itu yang hancur berantakan di amuk api. Kemudian menukik perlahan dan turun di tanah yang agak luas. Rangga dan gadis itu cepat melompat turun dan melihat mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana.
"Astaga! Apa yang telah terjadi di sini?!" serunya kaget. Dia memeriksa satu-persatu mayat-mayat itu. Tampak di antara mereka bekas bacokan-bacokan senjata tajam di tubuh, dan luka-luka bekas cakaran. Rangga terkejut ketika melihat beberapa buah golok berhulu kepala Tengkorak tergeletak di sana.
"Hm, agaknya ketika aku ke atas sana orang-orang Tengkorak Merah datang dan mengacau di sini. Tapi... kenapa mereka pun tewas seperti tercakar hewan buas?" tanya Rangga semakin bingung.
Tiba-tiba dia teringat luka cakar yang dialami gadis yang bersamanya. Buru-buru dia menoleh, tapi gadis itu sudah tak ada di belakangnya.
"Sial! Kemana dia?"
"Kenapa kau menggerutu sendiri?"
"Heh?!"
Rangga melihat gadis itu keluar dari salah satu rumah dan berganti pakaian. Mengertilah ia apa yang tadi dikerjakan gadis itu.
"Tak ada pakaian yang bagus. Tapi yang ini tak apalah, meski terlihat sebagai gadis desa..." kata gadis itu sambil melangkah ke dekat Rangga.
"Nisanak, luka di tubuh orang-orang Tengkorak Merah ini sama dengan luka yang kau derita. Tahukah kau kira-kira kemana orang itu pergi?"
"Apakah Setan Alam Kubur yang kau maksud?"
Rangga mengangguk. Gadis ilu dilihatnya mengangkat bahu.
"Mana kutahu dia pergi ke mana!"
Rangga menghela nafas pendek sambil menatap ke sekeliling.
"Oooh...!"
"Heh!"
Rangga buru-buru melompat ke arah datangnya keluhan pelan yang sempat di dengarnya. Gadis itu pun mengikuti dari belakang. Seorang warga desa tampak terluka parah dengan nafas satu-satu. Rangga menyandarkannya ke tiang rumah, meski wajah laki-laki berusia lanjut itu terkulai layu.
"Kuatkan dirimu, Ki sanak! Katakan padaku, siapa yang melakukan semua ini?"
"Orang-orang Tengkorak Merah... tapi kemudian seorang yang mengaku bernama Setan Alam Kubur menghabisi semuanya," sahut orang tua itu lemah.
Setelah berkata demikian nafasnya terhenti untuk selamanya. Nyawa orang itu tak tertolong lagi. Rangga menghela nafas sesak sambil melepaskan pangkuannya pada orang tua itu. Dia berdiri dengan wajah garang.
"Biadab! Orang-orang itu ternyata tak kapok-kapoknya!"
"Siapa yang kau maksud? Apakah orang-orang Perguruan Tengkorak Merah?" tanya gadis di dekatnya.
Rangga cuma mendengus pelan. Kemudian katanya.
"Ya, kenapa? Kau ingin membela perbuatan-perbuatan mereka yang terkutuk?!"
Setelah berkata begitu Rangga langsung keluar dan berdiri di dekat burung Rajawali raksasa itu dan menatap ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan dengan hati geram. Gadis itu sendiri melangkah pelan mendekatinya.
"Maaf, aku tak punya maksud menyinggung perasaanmu. Apakah kau berpikir bahwa orang-orang itu merupakan teman-temanku...?" tanya gadis itu lirih.
"Kalau Gurumu berteman dengan mereka, lalu apa namanya kalau kau tak berteman dengan mereka juga?"
"Ki sanak, kita belum saling mengenal, kenapa kau menuduhku begitu?"
Rangga diam tak menjawab. Gadis itu pun membisu beberapa saat lamanya.
"Memang benar Guruku tokoh golongan hitam, tapi tak berarti bahwa aku pun sering berbuat keonaran di mana-mana. Aku bahkan tak tahu apa yang dilakukan Guruku selama ini. Beliau baru saja kali ini mengajak kami untuk turun gunung...." kata gadis itu bercerita lirih.
Rangga hanya menoleh sekilas kemudian kembali mengalihkan pandangan.
"Aku tak memaksamu untuk percaya dengan ceritaku. Sejak kecil aku dipungut Guruku dan tak pernah tahu siapa kedua orangtuaku. Beliaulah yang selama ini mengasuhku. Tapi apakah berarti bahwa dosa beliau harus di pikul olehku..." lanjut gadis itu.
"Maafkanlah, aku tak bermaksud menuduhmu begitu..." akhirnya keluar juga kata-kata penyesalan dari mulut Rangga.
"Tak apa. Aku bisa mengerti kalau kau curiga begitu mengetahui siapa Guruku. Dengan begitu aku bisa mengetahui siapa kau sebenarnya. Kalau bukan musuh Guruku tentu kau adalah seorang pendekar yang selalu membela kebenaran...."
"Aku cuma pengembara biasa...."
Gadis itu tersenyum kecil.
"Guruku pernah bercerita tentang tokoh-tokoh rimba persilatan. Baik mereka yang termasuk golongan hitam mau pun putih. Juga tentang seorang tokoh persilatan yang belakangan ini namanya amat menggemparkan dunia persilatan. Orang itu memiliki burung Rajawali raksasa dan mempunyai ciri-ciri khusus yang kau miliki saat ini. Hanya saja tadi aku belum sempat memperhatikan. Ki sanak, apakah kau yang memiliki gelar Pendekar Rajawali Sakti?" tanya gadis itu sambil menatap Rangga dalam-dalam.
Rangga cuma tersenyum kecil.
"Tak salah. Matamu sungguh jeli. Tapi kalau dikatakan aku menggemparkan rimba persilatan, pastilah itu karena kebodohanku yang tak becus apa-apa..." sahut Rangga merendah.
"Satu hal pula yang ku dengar memang tak salah dengan kenyataan yang saat ini kulihat."
"Apa?"
"Pendekar Rajawali Sakti memang suka merendahkan diri...."
"Sudahlah, Nisanak. Kau terlalu banyak memuji orang. Tapi itu tak adil. Kau tahu aku sedangkan aku tak tahu siapa kau."
"Kenapa tak adil? Kau justru lebih tahu siapa kau, dan kau yang belakangan tahu siapa kau."
Rangga kembali tersenyum kecil.
"Namaku Rangga..." katanya pelan.
"Panggil saja aku Dewi, atau Dewi Komalasari."
"Nah, Dewi. Kurasa cukuplah pertemuan kita sampai disini. Kau bisa melanjutkan perjalananmu," lanjut Rangga bersiap naik ke leher Rajawali raksasa itu.
Dewi Komalasari tampak diam tak berusaha beranjak. Pandangannya lirih menatap langit senja yang mulai tampak.
"Aku tak tahu harus kemana membawa langkah kakiku ini. Kalau ada satu urusan yang harus kukerjakan adalah membalaskan sakit hati Guru dan Saudara seperguruanku..." sahut Dewi perlahan dengan nada lirih.
Rangga jadi bingung mendengar kata-kata Dewi Komalasari. Tak mungkin rasanya dia terus-terusan membawanya kemana-mana.
"Kau sendiri akan ke mana?" tanya Dewi sambil menatap Rangga.
"Aku akan mencari orang yang menamakan dirinya Setan Alam Kubur."
Wajah Dewi Komalasari tampak berseri. Buru-buru dia bangkit dan mendekati Rangga.
"Rangga, tak keberatankah bila aku ikut menyertaimu? Paling tidak kau bersedia mengantarkanku pada orang itu."
"Siapa? Setan Alam Kubur?"
Dewi Komalasari mengangguk. Rangga menghela nafas. Gadis itu seperti mengerti melihat reaksi Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku tahu kau pasti meremehkanku. Tapi apa artinya aku hidup bila tak bisa membalas budi pada orang yang selama ini telah mengasuhku sedari kecil. Walaupun kau tak sudi mengajakku, aku akan tetap mencari orang itu dan membuat perhitungan dengannya meskipun nyawaku menjadi taruhannya...."
Mendengar tekad gadis itu yang tak bisa dihalangi lagi, Rangga tak punya pilihan selain mengajaknya. Begitu mendengar pemuda itu menganggukkan kepala, gadis itu cepat melompat ke leher burung Rajawali raksasa sambil berseru girang.
"Terima kasih, Rangga. Paling tidak aku bisa merasakan kembali enaknya melayang di angkasa di atas leher sobatmu ini. Tapi ingat! Jangan lagi kau gunakan akal bulusmu untuk mencuri kesempatan di saat aku dalam kesempitan!"
Rangga terkekeh dan melompat di depan gadis itu, Sesaat saja Rajawali raksasa itu telah membumbung tinggi di angkasa yang semakin lama menjadi sebuah tilik di angkasa nan luas.

***

212. Pendekar Rajawali Sakti : Setan Alam KuburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang