Maybe in another universe(?)

204 17 0
                                    

Jika mereka berkata bahwa memandangi jalanan kota di malam hari adalah hal yang paling mereka suka, maka tidak ada kebohongan di dalamnya. Seperti sekarang ini, keduanya tengah berdiam diri di balkon kamar Biru ditemani dengan sebungkus rokok dan sedikit camilan.

Sebenarnya keduanya baru saja pulang dari tempat membuat tattoo. Iya, mereka baru saja membuat tattoo dengan design yang match satu sama lain. Membuat tattoo adalah hal yang sudah mereka inginkan sejak dulu, namun baru kesampaian hari ini karena mereka sudah lulus sekolah.

Biru menghela napas panjang menikmati udara segar yang jarang-jarang dapat ia rasakan. Malam ini terasa begitu sejuk dan damai. Angin berhembus kencang menerpa rambut kedua manusia yang tengah sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Bible, kita udah temenan berapa lama ya?"

"18 tahun?"

"Hah? Ngaco!" Biru tertawa mendengar jawaban bible. Jari-jari lentiknya menekan ujung rokok yang terbakar guna mematikan rokok yang sudah hampir habis itu.

"Dari kelas 2 SMP ya? Berarti... 4 tahunan ga sih?"

"Iya, bisa jadi." Bible menghisap kembali rokoknya. Kedua matanya terpejam kala merasakan tenggorokannya terasa sedikit dingin karena rasa mint dari rokok itu sendiri.

Mendengar jawaban Bible yang terdengar seakan tidak peduli, Biru memukul pelan lengan Bible. "gitu banget sih lo jawabnya? Males ah!" Lengannya ia silangkan di depan dada. Gesture khas seorang Biru ketika sedang merajuk.

Terdengar cekikikan dari manusia di sebelah Biru. Lengannya ia alihkan ke pucuk kepala Biru, mengelusnya hati-hati. "Iya, Biru, my dear little cat. 4 tahunan mungkin. Gue ga pernah hitungin hari-hari gue sama lo soalnya ya.... Banyak banget? Kita bareng-bareng terus kan? Capek gue ngitunginnya."

Biru memeluk kedua tungkai kakinya dan menenggelamkan wajahnya di situ. Bible selalu seperti itu. Selalu memanggilnya dengan panggilan sayang. Gerakannya yang tiba-tiba mengelus pucuk kepala Biru pun tidak pernah gagal membuat Biru salah tingkah. Oh, ditambah dengan degup jantungnya yang kian bertambah kencang. Disaat-saat seperti ini, ingin rasanya Biru menenggelamkan dirinya sendiri. Ingin menghilang sekejap dari Bible dan mulut manisnya.

"Bible, I wanna talk something important."

"Sure, go ahead, pretty."

"Ummmm... thanks for always be my one and only best friend. Thanks for always cheer me up when im not feeling well. Thanks for always treat me well. Thanks for always make me happy so that i can forget all the pain i always felt. Thanks for everything." Bible tersenyum mendengar ucapan Biru. Ini bukan kali pertama Biru berterima kasih atas segala hal yang sudah Bible lakukan untuknya.

"Not a big deal, pretty."

"Bible, Gue... Honestly gue ga tau mau mulai darimana."

"Tumben? Ngomong aja apa yang mau lo omongin."

Biru mengambil sebatang rokok lagi dan menyalakannya. Menghisapnya dalam-dalam hingga dadanya terasa sesak lalu menghembuskannya. Masih berpikir apakah harus ia bicarakan atau tidak. Biru hanya takut akan kehilangan Bible-nya jika ia berkata jujur. Tapi, apa boleh buat? Biru hanya ingin semuanya menjadi jelas.

"Gue pikir kita bisa temenan kayak orang temenan biasa aja. No heavy feelings, tapi ternyata ngga. Im so sorry, Bible. Gue minta maaf. I can't control my feelings. That's all my fault to be in love with you, with my best friend. I think i can hold my feelings towards you untuk waktu yang cukup lama, tapi ternyata gue ga sanggup. Gue mau semuanya jadi jelas antara lo dan gue." Biru menghentikan ucapannya dan menghela napas sejenak. Dadanya terasa sesak tiap kali membicarakan hal ini. Ia tidak pernah menyangka dirinya akan jatuh cinta kepada Bible, temannya sendiri. Kedua matanya terlihat berair. Memandang kosong ke arah depan.

"Gue... I don't want anything, but please, don't leave me alone setelah ini. I don't wanna lose you, Bible."

Bible memandang keramik yang ia duduki. Sebenarnya untuk Bible sendiri, ia sudah menyadari kalau Biru menaruh perasaan kepadanya, namun sampai saat ini ada satu hal yang masih membuatnya bingung dan bimbang.

"Biru, that's not your fault for being in love with me. Your feelings are valid, Biru. Perasaan apapun yang lo rasain terhadap gue itu sah-sah aja. Ga ada yang salah dengan itu semua." Biru tersenyum sehingga air mata yang semula menggumpal di kantung matanya jatuh ketika matanya menyipit karena tersenyum.

"Biru, You have to know, you're the prettiest person i've ever met. You're gorgeous, you're loved, dan lo baik banget. Saking sempurnanya lo, gue bahkan ga yakin ada manusia yang bisa ga suka sama lo."

"Biru, gue sayang sama lo. Gue ga bisa jelasin rasa sayang gue ini kayak gimana, intinya gue sayang lo. I wanna claim you as mine, but it's not that easy. Dunia ini terlalu keras untuk manusia kayak kita, Biru. I don't wanna hurt you someday and i don't wanna waste your time." Bible mamandang Biru. Matanya tajam namun lembut menatap mata Biru yang berair.

"Biru, kita temenan aja ya?"

Kalimat terakhir yang cukup membuat dada Biru berdenyut sakit. Jawaban yang sebenarnya sudah ia prediksikan namun akhirnya tetap menyakiti hatinya. 

Ia tersenyum getir. Semua yang Bible ucapkan adalah benar. Bukan hal yang mudah untuk mengakui sebagai pasangan dari satu sama lain di dunia yang keras ini. Alih-alih mendapat apa yang mereka inginkan, mungkin dunia malah akan menghakimi mereka atas apa yang mereka rasakan.

Bible merentangkan kedua lengannya, menyambut Biru masuk ke dalam pelukannya. 

Biru menangis di dalam pelukan Bible. Menangisi seberapa berat hal yang sedang mereka alami.

"Biru, the prettiest person in the world, maybe in another life, ya?" Biru mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Bible.

"I love you in every universe, Bible."

"But i lost you in this universe." Biru melanjutkan ucapannya di dalam hati.

Fin.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Biblebuild Oneshoot!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang