Bab 1: Pemuda Biru dan Gadis Merah Jambu

388 37 11
                                    

Disclaimer:

BoBoiBoy (c) Monsta

Balada Tjinta di Tanah Djawa (c) Roux Marlet

Penulis tidak mendapatkan keuntungan material apa pun dari cerita ini.

Parodi dari L'elisir d'amore (The Elixir of Love) yang adalah opera komedi dua babak karya komposer Italia, Gaetano Donizetti, ditambah beberapa referensi lagu lokal bertema humor.

Warning: Alternate Universe, latar waktu Indonesia di zaman penjajahan Belanda, tokoh berusia dewasa.

.

.

.

.

.

Bab 1: Pemuda Biru dan Gadis Merah Jambu

.

Pemuda itu menyeruput kopinya perlahan, seberkas koran yang terbuka dipegang sebelah tangan. Bacaan maupun kopinya tertumpu di atas kaki yang dilipat di balik sarung.

Nikmatnya rumah tangga di pagi hari, ditemani cericip burung dan udara segar pedesaan.

Terdengar sang istri tengah sibuk menawar harga sayur di depan rumah. Si pemuda bersenandung kecil sambil melirik ke pintu depan. Tampak di matanya, si gadis yang sedang berargumen itu begitu menawan. Sangat menawan bahkan meski hanya dasteran. Lalu, gadis yang hanya berbaju daster itu menoleh ke arahnya.

"Mas ...."

Ah, panggilan itu! Panggilan manis yang menggetarkan seluruh rongga dada si pemuda! Senyuman terbit seketika tatkala si gadis berjalan mendekatinya.

"Ya?" gumam si pemuda, hati berbunga-bunga. Korannya digeletakkan di atas meja.

"Mas Taufan ...," panggil istrinya dengan nada lembut sekali lagi.

"Iya, Dek Yaya?" Bibir pemuda yang bernama Taufan itu merekah cerah. Betapa senangnya ketika ia pun melantunkan panggilan sayang itu.

"Bangun, dong ...."

"Eh?" Taufan kebingungan.

"Bangun, Taufan ...."

"Yaya ...?"

"TAUFAAAAN! APA PERLU AKU BUNYIKAN BEDUG BIAR KAMU BANGUN, TAUFAAAAN?!"

Taufan tersentak, kembang tidurnya buyar. Matanya mengerjap kaget seiring timbulnya rasa sakit di bagian pinggangnya. Lebih kaget lagi karena pelakunya adalah objek dalam mimpinya. Mengabaikan nyeri di pinggang dan di hati karena disodok dengan payung, Taufan buru-buru bangkit dan membungkuk di depan gadis itu.

"Ampun, ampun, Yaya."

"Ini sudah hampir Magrib!" bentak Yaya dengan ujung payung teracung ke hidung Taufan yang tidak mancung. Langit biru mulai menggelap, semburat merah tersisa di ufuk barat. "Kalau terlambat, tak ada jatah makan!"

Taufan baru mau memelas, tapi Yaya sudah berderap kembali ke arah rumah bersama payung merah jambunya yang terlipat. Sepatu pantofelnya membuat gema keras di tanah. Taufan kemudian meregangkan tubuh di tengah pematang sawah yang jadi tempatnya beristirahat sedari tadi, membetulkan letak topi pet birunya di kepala, lalu membereskan cangkulnya dengan senyum yang merekah kembali.

"Oh, Yaya ... betapa cantiknya dirimu! Marah-marah pun tetap cantik! Apalah diriku yang hanya remahan rengginang ini ...."

Setelah menyimpan cangkulnya, Taufan buru-buru berjalan ke tempat wudu dan menjalankan salatnya tepat waktu bersama para lelaki lainnya. Makan malam menyusul setelahnya. Puluhan orang duduk bersila dalam sebuah pendapa, memegang daun pisang yang dipincuk dan makan nasi ayam menggunakan tangan. Suara berkeriuk familiar dari anak-anak yang makan disuapi ibu mereka sambil tertawa membuat Taufan mencari-cari dari mana sumbernya dan menemukannya dalam wadah kaleng. Astaga, menu camilan malam ini betulan pakai rengginang, penganan dari beras ketan itu, rupanya. Taufan ingin menangis sambil mengunyah.

Balada Tjinta di Tanah DjawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang