Bab 4

64 11 2
                                    

Di fizzo sudah bab 22 tayang tiap hari

.
Ezra masih berdiri di tempatnya, ia berjalan ke depan gerbang kos yang terbuka sedikit sambil menunggu dua sohibnya pulang. Ia duduk tepat di bawah pohon mangga, ada batu besar di sana, lalu mengambil rokok dan korek dari saku celananya.

Udara dingin malam itu berembus lumayan menusuk kulit, sesekali melirik sekilas ke jam di pergelangan tangannya. Ezra menghisap rokoknya pelan, pikirannya benar-benar kalut saat ini.

Ibu Ummayah alias ibunya Jihan ingin dirinya menikahi sang putri dengan tuduhan kalau dia yang tengah menghamili putrinya. Jujur hatinya memang menginginkan pernikahan itu terjadi padanya dan Jihan. Namun, bagaimana nanti rumah tangganya akan terbangun kalau pernikahan tersebut tanpa dasar cinta?

Suara klakson motor pun mengejutkan lamunan Ezra yang seketika melihat dua sohibnya itu sudah berada di hadapannya.

Pria di atas motor itu membuka kaca helm, “Zra, ngapain lu malem-malem di sini sendirian? Bukain gerbang dah.” Teo, sohib sekamarnya itu meminta Ezra membukakan pintu gerbang kosan yang hanya terbuka sedikit itu.

Ezra beranjak dari duduknya dan mendorong gerbang hitam itu, dua motor itu pun masuk halaman kost. Ezra kembali menutup pagarnya dan dia menghampiri kedua sohibnya. “Kalian dari mana aja sih? Jihan nyariin lu, Win.”

“Iya, gue tau,” sahut Winda malas sambil membuka helm dan melangkah menuju pintu kamarnya.

“Winda kenapa si?” tanya Ezra pada Teo yang masih duduk di atas motornya tapi helm sudah dilepas dan dipegangnya.

“Ceritanya panjang, Zra.”

“Masalah Jihan sama Damar?”

“Iya, huft, rumit banget sih masalah orang dewasa. Makin tua malah makin ribet urusan.”

“Dih, emang lu nggak tua?”

“hehehe, yaah minimal gue nggak punya masalah percintaan kaya kalian.”

“Gue juga nggak punya kali.”

“Ya tapi lu mendem rasa cinta lu itu, lebih sakit.”

“Tau ah.” Ezra membalikkan badan, membuang puntung rokoknya ke tempat sampah dan menaiki anak tangga, sementara Teo mengekor.

Keduanya memasuki kamar yang di dalamnya tanpa dipan atau tempat tidur, hanya kasur busa berukuran besar untuk tidur keduanya, dua lemari plastik dan satu kipas angin yang terpasang di dinding.

Teo meletakkan tas di lantai, lalu melepas jaket dan menggantungkannya di belakang pintu. Sebelum dia membersihkan diri ke kamar mandi, ia tak lupa melepas celana jinsnya dan kaos. Kini ia hanya memakai celana boxer juga bertelanjang dada.

“Jangan langsung mandi, masuk angin lu,” ujar Ezra menasihati sohibnya.

Teo menurut, dia duduk dan mengambil minum. “Zra, lu serius mau nikahin Jihan?” tanyanya memastikan.

“Ya mau gimana, gue kasihan aja sama Jihan, sama anak di kandungannya. Anak itu nggak salah, kalau sampai Jihan gugurin kandungannya kan lebih bahaya lagi. Orang tua Jihan udah gue anggao kaya orang tua gue sendiri.”

“Bukan gitu, gue khawatir aja nanti Damar bakalan gerecokin rumah tangga kalian dengan alasan anak itu.”

“Ya nggak masalah sih, karena gue sadar diri aja, laki-laki yang dicintai Jihan kan Cuma Damar, bukan gue.”

“Mau sampai kapan lu kaya gini, Zra. Nggak baik buat hati lu. Lu juga berhak bahagia, Zra. Damar yang harus bertanggung jawab, bukan lu. Gue nggak mau lihat lu nanti malah tersiksa sama pernikahan itu.”

“Gue laki, Teo. Tenang aja, gue bahagia dengan melihat orang yang gue sayang bahagia.”

“Gimana Jihan bisa bahagia kalau nikah sama lu, dia aja nggak cinta sama lu.”

Mungkin saat ini Jihan memang tidak mencintainya, tapi Ezra akan berusaha sekeras mungkin untuk menajdi suami dan ayah yang baik untuk istri dan anaknya kelak. Ia juga akan berusaha menjadi menantu yang bertanggung jawab kelak. Apalagi restu sudah didapat dari ibunya Jihan.

.

Pagi-pagi sekali Winda sudah bersiap hendak berangkat kerja, tapi tidak dengan Jihan. Ia sudah menghubungi atasannya untuk izin beberapa hari karena ada acara keluarga.

Winda dan Jihan bekerja di tempat yang berbeda, Winda di pabrik yang berlokasi di kawasan industri Cikarang. Sementara Jihan di salah satu perusahaan yang mana pemiliknya adalah ayahnya Damar. Jihan sebagai staff administrasi di tempat itu, dan pertemuan juga perkenalannya dengan Damar bermula di kantor tersebut.

Winda, Jihan, Ezra dan Teo dulu satu SMA di kampung, mereka berempat merantau bersama. Namun, hanya Jihan dan Ezra saja yang mampu melanjutkan kuliah sampai jenjang sarjana, sehingga keduanya bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih.

Akan tetapi pekerjaan dan pendidikan tinggi keduanya tidak membuat persahabatan mereka renggang. Justru semakin erat, dan meski Winda tidak bekerja di kantoran, tapi gaji dan lemburnya hampir sama dengan pekerja kantoran.

“Nak Winda, nanti Ibu sama Jihan pamit ya, kamu jaga diri baik-baik di sini.” Ummayah yang sedang menyiapkan sarapan keduanya itu pun berpamitan.

“Kenapa buru-buru sih, Bude?”

“Sebenarnya mau lama, tapi Bude sudah kecewa sama Jihan nih loh, kalau nggak buru-buru dinikahin keburu gede wetenge.”

Winda dan Jihan saling pandang, lalu Jihan menunduk menikmati nasi uduk yang dibeli oleh ibunya tadi di depan jalan.

“Maafin Jihan, Bu.” Jihan menunduk dan berbicara tanpa berani menatap ibunya.

“Nanti Ibu mau kamu jujur sama Bapak, bilang mau nikah, berdua sama si Ezra.” Ummayah sudah memperingati sang putri dari awal.

Jihan hanya diam, dia tak mungkin lagi mengelak apalagi melawan, semua sudah terlanjur. Mau tidak mau dirinya harus menerima perjodohan itu. Entah bagaimana nantinya rumah tangga yang akan ia jalani, paling tidak sang anak dalam kandungannya kelak akan lahir ada ayahnya.

“Assalamualaikum,” sapa sebuah suara dari luar pintu.

Jihan menoleh dan melihat Ezra yang baru saja datang itu masuk ke kamar menyalami ibunya.

“Kamu sudah sarapan, Zra?” tanya Ummayah.

“Sudah, Bu. Nanti jam berapa kira-kira berangkat dari sini?”

“Bisnya kan jam dua, ya abis zuhuran nanti langsung jalan.”

“Oh iya, Bu. Nanti saya siap-siap jam segituan.”

“Temanmu satu lagi mana?”

“Masih tidur, Bu. Masuk sift malam dia.”

“Oh.”

“Kemarin lu ke mana, Win?” tanya Jihan tiba-tiba.

“Bude, aku berangkat dulu, takut ketinggalan bis jemputan.” Winda mengalihkan pembicaraan dan malah berpamitan pada ibunya Jihan lalu bergegas keluar kamar.

Winda bernapas lega ketika berhasil melarikan diri dari pertanyaan sohibnya itu, kalau sampai Jihan tahu dirinya mendatangi Damar. Bisa kacau, apalagi di sana ada Ezra, ditambah dia pun sudah bilang kalau mereka mau pulang kampung nanti siang.

Winda pun melajukan motornya keluar halaman, motor itu nantinya dititipkan di penitipan motor, dan dirinya naik bis jemputan yang mengantarnya ke pabrik.

Di dalam kamar hanya ada Jihan, Ezra dan Ummayah.

Jihan dan Ezra hanya saling pandang sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. Jihan menjadi canggung dengan pria di depannya itu. Tak bisa dan tak pernah membayangkan kalau akhirnya akan menjadi seperti ini.

“Nak Ezra, Ibu mau nanya dulu nih. Pernikahan kalian nanti, sederhana saja ya, karena ini dadakan sekali, dan ibu nggak ada persiapan,” ujar Ummayah.

Ezra menjadi gugup ketika ditanya seperti itu, jangankan ibunya Jihan, dia pun sama sekali nggak ada persiapan, apalagi orang tuanya nanti yang pasti juga akan terkejut.

“Ezra banyak duit kok, Bu. Tenang saja, kita rayain pernikahan aku sama dia secara meriah kaya orang-orang.” Jihan berkata dengan wajah penuh pura-pura.

“Jihan, ka-kamu ngomong apa si?” tanya Ezra gugup.

“Udah nggak usah bohong sama Ibu, masa lu mau bohongin calon mertua lu sih, Zra.”

“Nduk, jangan ngomong lu gue, yang sopan sama calon suamimu. Panggil Mas gitu loh.” Ummayah merasa tidak enak mendengar putrinya memanggil calon suaminya dengan bahagsa gaul khas anak Jakarta.

“Gue duit dari mana, Jihan?” tanya Ezra bingung.

Jihan mendekatkan kepalanya dan berbisisk pada pria yang duduk di sebelahnya itu. “Lu lupa duit dari Damar? Gue kan ada duid 500 juta, anggap aja bayaran dari Damar buat lu yang jadi suami gue nanti. Gue nggak mau tahu, pernikahan kita harus mewah, biar Damar tahu kalau gue bisa move on dan hidup bahagia tanpa dia,” ujar Jihan dengan hati yang begitu sakit karena sang kekasih sama sekali tak membelanya kemarin.

Ezra menelan ludah, mungkinkan Jihan akan balas dendam nantinya pada Damar?

Suami Bayaran 500 JutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang