Alam mimpi yang semula sudah mendayu-dayu memanggilku untuk menghampirinya, mendadak lenyap saat aku teringat sesuatu. Tepukan di kening oleh tangan sendiri berhasil membuat mataku terbuka lebar.
“Kenapa?” Sunny menampilkan ekspresi ingin tahu.
Aku bergegas mengambil ponsel di tas ransel tanpa memedulikan Sunny yang turun dari lemari dan membuntutiku.
“Oooh, mau telepon Ibu.” Wajah Sunny yang semula ceria perlahan berubah datar setelah mengintip ponsel yang sedang kugenggam.
Aku yang semula melirik Sunny dengan ekor mata segera mengalihkan pandangan pada ponsel yang sedang menampilkan panggilan kepada Ibu, lalu mengangguk-angguk. Ada rasa iba yang tiba-tiba muncul dan aku tidak ingin memiliki perasaan itu kepada makhluk tak kasatmata.
“Aku ke depan dulu.” Hantu cantik itu bejalan ke arah jendela.
“Katanya mau istirahat.”
Satu kaki Sunny yang sudah menembus jendela berhenti bergerak. Hantu cantik itu berbalik dan menyunggingkan senyum yang tampak dipaksakan. “Aku juga biasa istirahat di bangku depan, kok.”
Aku mengangguk kecil, lalu membiarkannya pergi karena Ibu juga sudah mengangkat panggilanku.
“Ibuuu!”
Sejak kecil caraku memanggil Ibu tak pernah berubah. Panjang dan mendayu-dayu, kalau kata Nenek; seperti anak kecil yang sedang merayu ibunya.
“Iya, Ray.” Ibu pun tak pernah berubah. Dia selalu menjawab panggilanku dengan suaranya yang lembut dan penuh kasih. Apa pun keadaannya. Bahkan ketika dulu aku terbangun dari koma, padahal dia tengah berduka karena ditinggal pergi selamanya oleh sang cinta sejati, Ayah.
“Kangen.” Aku merengek sembari membayangkan hari-hari ke depan akan makan makanan yang bukan masakan beliau.
Terdengar tawa renyah dari seberang sana. “Baru juga pergi tadi pagi. Apa mau terima kerjaan yang di sini aja?”
Aku menggeleng cepat, meski Ibu tak melihatnya. “Nggak. Bagusan yang di sini.”
Ibu tertawa lagi. “Makanya, ditahan kangennya.”
Aku cengengesan sembari mengiakan. Ini sudah menjadi pilihanku dan aku harus menjalaninya dengan semua konsekuensi yang ada.
“Gimana tempat baru?”
“Aman. Cuma baru sampe udah ketahuan aja sama penghuni kamarku.”
“Setannya resek?” Ibu yang biasanya lemah lembut dalam bertutur kata akan sedikit berubah saat membahas ‘mereka’. Beliau lebih sering menyebut setan dengan penuh penekanan, ketimbang hantu yang terdengar lebih halus.
“Nggak resek, sih, Bu. Cuma penampakannya beda sama kebanyakan. Mirip banget sama manusia.”
“Kok, bisa?”
Aku pun mulai bercerita bagaimana pertama kali bertemu dengan Sunny dan berlanjut dibantu sampai sekarang bisa istirahat di kamar.
“Tumben.” Ibu saja yang mendengar ceritaku terkesan heran, apalagi aku.
Aku menyibak korden jendela untuk melihat Sunny yang duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya di bangku halaman. Bila dilihat lagi, gerak-geriknya seperti orang yang sedang menunggu.
“Itulah, Bu.”
“Terus, oleh-olehnya udah dibagi?”
“Belum. Masih pada di luar semua. Ada satu juga lagi sakit.”
Obrolan kami pun berlanjut membahas tentang tempat baru yang akan aku tinggali. Indekos khusus putri ini berupa rumah biasa yang memiliki enam kamar. Ada tiga kamar yang memiliki kamar mandi di dalam, termasuk kamarku. Ada ruang tamu, ruang TV, dan ruang makan yang menyatu dengan dapur. Serta dua kamar mandi umum yang ada di sebelah ruang khusus benatu. Sedetail itu aku menceritakan kepada Ibu.
Setelah mengobrol lebih dari tiga puluh menit, Ibu mengajak mengakhiri panggilan. Beliau kedatangan tamu yang ingin menjahit baju.
Aku pun mengiakan, berpamitan, dan segera mengakhiri panggilan. Sembari memasukkan ponsel ke saku celana, mataku tak lepas dari Sunny yang posisinya masih sama sejak awal.
“Lagi nunggu siapa?” Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan untuk menghampiri Sunny.
Sunny menoleh cepat dan seperti biasa, dia langsung menyunggingkan senyuman. “Emang aku seperti hantu yang sedang menunggu?”
Aku mengangguk. Setidaknya, seperti itulah yang aku lihat dari gerak-geriknya yang selalu menunduk sembari menggoyang-goyangkan kaki, lalu sesekali melihat ke arah jalan masuk gang.
“Nggak tau. Aku benar-benar nggak ingat apa-apa.” Sunny tersenyum sekilas, lalu kembali menunduk memperhatikan kakinya yang terus berayun-ayun.
“Terus gimana bisa ingat nama kamu?”
“Sunny?”
Aku tersenyum gemas. “Emang kamu ada sebut nama lain, selain Sunny?”
Sunny cengengesan sembari menggeleng-geleng. “Ini nama pemberian Mbak Key.”
“Siapa Mbak Key? Anak kos?”
“Bukan. Mbak Key itu Mbak K yang rumahnya di perempatan jalan depan sana, tapi biasa main ke depan gang situ.” Sunny menunjuk depan gang menggunakan bibirnya. Dari awal dia tidak pernah menunjuk menggunakan jari tangan, heran. “Katanya aku hantu paling bersinar di sini, jadi cocok dengan nama Sunny.”
Aku mengangguk-angguk setuju. Sunny memang paling bersinar di antara hantu-hantu lain di sekitar sini. Jika yang lain tampak lebih transparan di saat siang hari, dia justru terlihat jelas, dan nyaris seperti manusia.
“Mereka pasti sudah tau aku bisa melihat mereka.” Aku berbicara tanpa ditujukan pada siapa pun. Bayangan mungkin saja mereka akan mengerubungiku seperti saat SMP dulu terputar begitu saja.
“Pastinya. Tapi, tenang ... mereka nggak akan ganggu, kok.”
“Oiya?”
Sunny mengangguk dengan bibir yang dimajukan lucu. “Apa aku ganggu kamu?”
Aku mengerjap beberapa kali. Bingung mau menjawab apa. Baru kali ini aku berkomunikasi dengan hantu dan merasa tidak terganggu. Malah merasa seperti memiliki teman baru. Aneh.
***”daeshe”***
Malamnya aku duduk di ruang TV dengan aneka oleh-oleh khas Bandung yang Ibu bawakan. Ibu menyarankan untuk membaginya pada teman-teman kos agar aku bisa mudah akrab dengan mereka sejak awal pertemuan.
Aku sudah berkenalan dengan tiga orang saat duduk di bangku halaman tadi dan mereka setuju untuk berkumpul di ruangan yang letaknya pas di tengah-tengah rumah ini. Mbak Mela juga sudah membaik dan akan ikut bergabung.
“Aku mau keripik singkongnya yang level sepuluh.” Sunny berusaha memegang jajanan khas Bandung berbungkus merah yang kuletakkan di meja dengan beberapa brownies itu.
“Hantu nggak dapat bagian.” Aku memelankan suara karena mendengar salah satu pintu kamar terbuka.
“Pelit!” Sunny melompat ke punggung sofa di belakangku, lalu duduk di sana dengan melipat tangan dan bibir yang cemberut.
Hantu bisa mengambek juga, ternyata. Aku berusaha menahan bibir yang ingin tersenyum.
“Udah dari tadi?” Dania, seorang karyawan mal yang datang lebih dulu. Dia mengambil tempat duduk di sebelahku.
Aku hanya menggeleng, sedikit kaget karena penampilannya yang begitu kontras dengan saat pulang kerja. Setelan khas SPG berganti dengan kaos over size dan celana pendek yang terdapat robekan di beberapa bagian.
Tak lama Maya ikut bergabung. Mata panda khas mahasiswa tingkat akhir tampak begitu jelas di wajahnya yang putih. Disusul Dila, gadis yang kata Sunny paling muda dan paling cengeng di sini.
Mbak Mela datang beberapa saat kemudian, ketika kami sudah mulai menyantap jajanan yang kubawa sembari mengobrol dan menonton TV. Mereka semua terkesan welcome padaku. Aku yang biasanya sulit bersosialisasi, jadi tak canggung.
“Katanya ada lima, ini baru empat.” Aku berbisik pada Sunny di saat yang lain tengah asyik menertawakan adegan lucu di TV.
“Satunya itu kayak aku.”
“A?!” Alisku nyaris bertaut.
Teman-teman yang tengah menonton TV pun serempak menoleh padaku.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Icy Ghost
Teen Fiction"Aku ingin hidup normal."-Raya "Apa selama ini kamu berjalan pakai tangan dan makan pakai kaki? Kehidupan orang itu beda-beda, begitu pun dengan versi normalnya."-Igo. Raya hanya ingin melihat dan mendengar apa yang orang-orang di sekitarnya lihat d...