“Takut”
“Abang disini” —— pertengkaran.- sudah seperti rutinitas yang selalu terjadi nyaris di setiap malam diiringi teriakan dan suara pecahan-pecahan kaca, terkadang hujan turun ikut meramaikan jeritan histeris dari sang ibu di luar kamar sana bersahutan dengan bentakan kasar sang ayah, melupakan presensi dua bocah lelaki yang kini menggigil ketakutan, terbaring di atas kasur dengan saling berpelukan. Salah satunya sudah menangis dan terisak kecil, yang lebih besar justru berusaha mati-matian menenangkan dengan suaranya yang gemetar, jika diperhatikan lebih jauh lagi ia juga tengah menangis meskipun tanpa suara sebab sama merasa takutnya.
“Abang, ibu…”
“sstt, adik, adik tidak boleh berisik, nanti ayah dengar” Pelukan di pererat, yang lebih muda buru-buru membungkam bibirnya karena mengerti maksud sang abang jika sampai ayah tahu kalau mereka belum tertidur, matanya tertutup rapat tidak berani melihat sekitar kamar yang gelap. Suara di luar kamar masih terdengar sangat jelas ditelinga keduanya, hampir di setiap malam mereka selalu tertidur ketika malam semakin larut atau bahkan ketika pagi menjelang, dengan jejak-jejak air mata yang membekas di pipi masing-masing. Keesokan harinya, beruntungnya Ayah tidak pernah bertanya, ibu juga tidak bisa melakukan apa-apa selain berujar maaf. Lalu, semua akan berlalu begitu saja dan terulang terus-menerus seolah hal-hal seperti ini merupakan sesuatu yang lazim dan memang sudah seharusya terjadi.
Hanya saja, selama lebih dari setahun ini merenung, ada bagian yang tidak dimengerti oleh anak lelaki yang berusia sebelas tahun itu; kenapa mereka memilih terikat dalam sebuah hubungan jika sebenarnya tidak pernah berkeinginan untuk bersama-sama?.- Ibu hanya pernah bercerita sekilas bahwa mereka sebenarnya tidak saling mencintai, pernikahan yang terjadi hanyalah sebuah janji untuk sesuatu yang dinamakan bisnis; ayah membutuhkan ibu untuk dijadikan istri agar kedua orang tuanya menjadikannya sebagai ahli waris, sedangkan ibu membutuhkan uang, selepas itu, ikatan suci yang mengikat mereka hanyalah sebuah sampah. Lalu? Apa artinya ada Kalandra dan Kanala disini. Sejauh ia tahu cerita itu, Kalandra tidak pernah berani bertanya arti dari kehadirannya dengan sang adik. Ia terlalu takut, takut akan jawaban yang nantinya akan menyakitinya dan sang adik lebih dalam lagi.
Baru saja mata hendak terpejam setelah teriakan-teriakan diluar sana berhenti, suara pintu yang dibuka membuat keduanya refleks menoleh, sosok ibu muncul dengan penampilannya yang berantakan. Kanala langsung mendudukkan tubuhnya, kembali menangis dan terisak, terlebih ketika ibu membawanya ke dalam sebuah pelukan hangat dan ikut bergabung duduk di atas kasur, menarik Kalandra untuk ikut masuk ke dalam pelukannya juga—— setidaknya, setidaknya ibu masih sering menyediakan tempat untuk mereka bersandar meski tidak selalu memberikan banyak perhatian, namun jika harus dibandingkan dengan ayah yang bahkan tidak pernah memberikan senyum ke pada mereka, ibu jelas terlihat lebih baik.
“Maaf ya, kalian jadi tidak bisa tidur”
“Ibu, tidak papa?” diusapnya lembut pipi putra bungsunya, ia beralih menatap si sulung yang hanya mengerjap-ngerjapkan matanya, ada kernyitan kebingungan di dahinya yang ia balas senyuman hangat, “ini sakit?” beralih kembali menatap Kanala yang mengusap luka di area dagunya, ibu terkekeh kecil kemudian menggenggam lengan mungilnya, ia membalas dengan suaranya yang lembut setengah berbisik, “Sakit sedikit” ujarnya jujur, lalu secara tiba-tiba Kanala menciumnya seolah itu akan menyembuhkan serupa mantra sihir. Ibu terkekeh kecil atas aksi menggemaskannya.
“Kala” digenggamnya lembut tangan Kalandra yang sedari tadi hanya sibuk merenung seraya memperhatikan. “Terima kasih sudah jaga Kana selama ini, Kala sudah besar, ya? Sudah bisa jaga diri, kan?” Ada yang aneh, dari tatapan yang ibu berikan dan dari kalimat yang ibu ucapkan, entah mengapa, tapi Kalandra merasa kalimatnya terasa sendu dan seperti sebuah perpisahan secara tidak langsung. “Kalo Kana masih kecil, masih belum mengerti apa-apa” sebelah tangan Kalandra yang bebas meraih tangan si adik yang sedari tadi sudah menguap karena mengantuk. Ia menggenggamnya kelewat erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ours; Brother
Teen FictionKalandra pikir; membiarkan Kanala dibawa pergi oleh ibu akan membuat sang adik baik-baik saja. Nyatanya, ibu tidak jauh lebih baik dari ayah. Sebab setelah perceraian yang membawa keduanya pada perpisahan tanpa suara, luka Kanala justru bertambah se...