01;

381 65 17
                                    

Kaki dibawa melangkah tanpa tujuan, berbelok pada gang-gang sempit yang sepi hunian, helaan napas berat sesekali terdengar dihembuskan sebagai pemecah sunyi, silih bersahutan dengan suara angin malam yang berhasil menerpa permukaan kulit, menghantarkan dingin yang rasanya mampu menusuk sampai ke tulang, ketika tubuh hanya dibalut kaus berwarna abu-abu lusuh dengan jaket berbahan kain tipis sebagai pelengkap. Tetapi, seolah itu bukanlah apa-apa, ia tidak sejenakpun menghentikan langkah, atau setidaknya mampir ke sebuah toko untuk sekedar menghangatkan diri. Sebab, faktanya, dingin yang datang menghampiri tidak sebanding dengan sesak yang memenuhi dadanya. Hari ini berjalan sulit, atau sejujurnya sedari dulu hidupnya memang tidak pernah mudah untuk dilewati. Dan barangkali ini bukan yang pertama kali terjadi, sudah berulang kali, tetapi rasa sakitnya masih saja selalu menumbuhkan luka-luka baru.

"Dasar tidak becus kerja. Kamu saya pecat" -- adalah menjadi kalimat terakhir di penghujung hari ini, diperparah dengan berbagai makian yang sejujurnya begitu menyinggung hati, hanya karena ia tidak sengaja membuat rusuh keadaan kafe dengan menyulut api kemarahan dari salah seorang pengunjung yang bajunya basah sebab tertumpahi minuman yang hendak ia taruh di atas meja, sungguhan tidak disengaja lagi pula seharusnya tidak sepenuhnya menjadi kesalahannya sebab tangannya yang ditepis lebih dulu secara tiba-tiba, tetapi ia dilaporkan, dinyatakan bersalah, kemudian di pecat tanpa diberi kesempatan untuk memberikan pembelaan atau sekedar meminta maaf disertai untaian penjelasan.

Hari itu, dunia bertindak jahat kepadanya, hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya tidak membuat kerugian besar. Tetapi, toh semesta memang sering bercanda dengan memainkan jalan takdirnya sesuka hati, kendati katanya; roda kehidupan itu berputar, sebab Tuhan sudah menggariskan takdir dengan se-adil-adilnya. Hanya saja lantas, mengapa masih ada banyak orang yang tidak merasa demikian? Kehidupan terasa jauh lebih sulit dengan berbagai kondisi yang rumit apalagi dengan strata sosial yang ada. Yang memiliki harta dan tahta berada pada bagian paling atas, menjadi nomor satu, selalu dihormati dan dihargai. Lalu, orang yang tidak memiliki apa-apa hanya dianggap sampah masyarakat dan dipandang sebelah mata. Pada kenyataannya, ekonomi menjadi salah satu bagian paling penting bagi setiap orang, dan tidak menutup fakta bahwa yang terjadi padanya hari ini adalah buah dari perbedaan strata yang tersebar.

Menutup mata sekilas ketika rasa nyeri menyebar di sepanjang garis punggungnya akibat terbentur keras dengan dinding di belakangnya, ia meringis pelan, mendonggakkan kepalanya untuk memperjelas penglihatannya, mendapati dua orang asing di depannya, salah seorang sudah mencengkram rahangnya dengan kasar. Ia baru sadar, kalau sempat ditarik paksa setelah bertabrakan bahu secara tidak sengaja, sakitnya baru terasa apalagi diperburuk oleh beberapa pukulan yang kini mengenai pipi dan dahinya secara berulang kali. Ia diteriaki. "BANGSAT, JALAN PAKE MATA SIALAN" matanya terpejam, belum sempat membelas, pukulan kembali terasa mengenai perutnya sebanyak dua kali hingga ia nyaris saja tersungkur dan terbatuk-batuk, darah segar keluar lewat sudut bibirnya, bau besi langsung memenuhi penghindunya, tetapi seolah tidak puas, seseorang yang lainnya ikut menambahi dengan berbagai pukulan lainnya pada beberapa titik di tubuhnya. Ia kelimpungan, kehabisan energi, dibiarkan terjatuh menyentuh dinginnya aspal, seketika tulangnya terasa remuk, namun baru saja akan mengambil napas, tendangan-tendangan kini yang didapatkannya. "BRENGSEK, MAKANNYA JALAN YANG BENER" ia kesulitan menghindar, berakhir hanya pasrah dengan meringkuk di jalanan seraya menjerit kesakitan dengan tangan yang refleks melindungi kepalanya,

Lagi, lagi, dunia bertindak jahat kepadanya, hanya karena sebuah kesalahan yang sebenarnya tidak membuat kerugian besar. Atau mungkin tidak sepenuhnya begitu, karena disaat-saat kesadarannya yang semakin menipis dan ia mulai berpikir bahwa mati sekarang mungkin terdengar lebih baik, Tuhan justru mengirimkan bantuan lewat teriakan seseorang. Pukulan-pukulan yang ia terima tiba-tiba hilang, disertai suara langkah kaki yang terdengar ribut menjauh dari tempatnya secara terburu-buru, disusul langkah kaki lain yang terdengar mendekat ke arahnya. Lalu seseorang bejongkok di sebelahnya, ia tidak dapat melihat dengan jelas karena pandangannya yang mulai memburam, entah oleh air mata atau akibat rasa sakit yang menyebar menyeluruh di sekujur tubuhnya. Namun, telinganya masih mampu berfungsi dengan baik, ketika sebuah pertanyaan dilontarkan dengan nada khawatir yang kentara terdengar, "Lo masih sadar kan?" ia mengangguk beberapa kali sebagai jawaban seraya mengerang lirih ketika luka dipipinya tidak sengaja tersentuh, "masih sanggup berdiri? Gue bantu, ayo ke rumah sakit" tangannya ditarik pelan, dibawa melingkari bahu lelaki yang datang sebagai penolongnya itu, tetapi ia buru-buru menggeleng guna memberi penolakan.

"Jangan"

"Luka lo parah, harus di obati"

Ia tahu. Dengan jelas, sebab ia yang merasakannya, tetapi, di tengah kesadarannya yang perlahan-lahan mulai lenyap, ia masih berusaha mempertahankan kewarasannya. Pergi ke rumah sakit sama dengan membutuhkan uang banyak dan ia jelas tidak memilikinya, jangankan untuk mengobati luka, untuk makan besok saja ia masih harus berpikir berulang kali. "Gue mau pulang" ujarnya seraya mendudukkan diri disisi jalanan dibantu oleh si penolong, punggungnya dibawa bersandar pada dinding sebuah bangunan kecil dibelakangnya, ia menunduk sekilas, menggigit pelan lidahnya menahan nyeri yang mendera seluruh tubuh.

"Gue antar nanti setelah luka lo di obati"

"Nggak perlu" katanya masih bersikukuh sembari memijat perlahan dahinya yang memar, ia buru-buru melanjutkan sebelum kalimatnya dibalas sebuah sanggahan, "Rumah gue dekat dari sini, gue pulang aja" katanya menimbulkan jeda yang cukup panjang, hening melingkupi, keduanya hanya saling berbalas tatap sekilas sebelum ia mengalihkan pandangannya lebih dulu.

Sampai akhirnya sepi dipecah oleh sebuah pertanyaan acak, "Lo punya obat?"

"Buat?"

Si penolong terlihat terdiam sejenak sebelum berdiri lebih dulu, "Tunggu di sini sebentar" katanya kemudian melangkah setengah berlari menjauh bahkan sebelum persetujuan diberikan sebagai jawaban, ia hanya membalas dengan helaan napas berat, sejujurnya tidak berniat menuruti kalimat si penolong, tetapi tubuhnya yang lemas dan terasa remuk belum mampu dibawa berdiri tanpa bantuan, jadi alhasil, disana, ia memilih beristirahat sejenak sembari penunggu si penolong kembali sekitar lima belas menit kemudian," Minum dulu" diserahkannya sebotol air mineral baru yang sepertinya dibeli dari warung terdekat, ia menerimanya tanpa banyak bersuara lalu meneguknya beberapa kali.

"Makasih" sahutnya kemudian dibalas anggukan disertai senyuman yang mengembang cukup lebar hingga mata si penolong nyaris hilang tidak terlihat.

"Obat buat lo" Ujarnya kali ini sekresek putih berisi obat-obatan di serahkan kepadanya, ia mengangkat sebelah alisnya sebagai gesture bertanya tanpa berucap, "lo nggak mau di antar ke rumah sakit, setidaknya obati dulu luka lo malam ini, tapi gue saranin besok lo harus tetep ke rumah sakit, biar tahu apakah ada luka se--"

"Makasih lagi" potongnya cepat, buru-buru disambarnya kresek putih ditangan si penolong sebelum obrolan bertambah panjang, ia hanya ingin cepat pulang, menyudahi perkenalan tidak langsung dengan orang asing di hadapannya ini. Setelahnya ia berusaha berdiri sendiri kendati berakhir tetap dibantu si penolong, lalu bergegas hendak pergi sesaat sebelum lengannya ditahan membuatnya berakhir menghentikan langkah dan kembali menoleh pada sosok di sebelahnya, "Apa?'

"Gue antar"

"Nggak perlu"

"Lo serius nggak papa?"

Menghela napas panjang, ia menyahut singkat, "Gue baik" ujarnya dengan nada setengah kesal, "berkat minuman yang lo kasih tadi" lanjutnya seraya kembali berbalik badan dan mulai melangkahkan kaki sebelum lengannya kembali ditahan.

"Gue Aksara, ini kartu nama gue, hubungi gue kalo lo butuh apa-apa" ia hanya melirik ke arah selembar kartu yang diberikan kepadanya, sebenarnya cukup malas untuk menerimanya, tetapi sebagai orang yang tahu terima kasih, ia akhirnya tetap menerimanya, bagaimanapun sosok bernama Aksara ini adalah penyelamatnya. "Lo? nama lo siapa?"

Melepaskan paksa genggaman pada lengannya, ia mulai melangkah dengan menyeret sebelah kakinya sedikit menjauh sebelum kembali ditahan, lalu menjawab setengah berteriak karena jarak keduanya yang mulai melebar, "Kanala" katanya tanpa menolehkan kepalanya ke belakang dan terus berjalan meski sedikit kesusahan.


Bombland 🌵

Ours; Brother Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang