"A... Sakit..." Haikal akhirnya merintih, mengadu kepada sang Aa atas rasa sakit yang tak mampu lagi ia tahan.
Hanya kisah pendek tentang rangkaian Kehidup yang selalu terasa berat untuk Haikal, bahkan sejak hari pertama ia dilahirkan ke dunia. Dan...
Sepanjang perjalanan pulang mereka berdua hanya diam. Setiap kali Kiming melempar candaan Haikal tak pernah mau menanggapi. Alhasil Kiming jadi ikut diam seribu bahasa.
Sesampainya dirumah Haikal langsung menuju kamarnya tanpa memerdulikan Kiming yang masih terdiam.
Kiming membuka pintu kamar Haikal kemudian masuk kesana. "Kenapa, sih, Kal? Aa ada salah sama kamu?"
"Haikal lagi nggak marah sama Aa. Haikal cuma lagi marah sama diri Haikal sendiri. Haikal itu cuma beban buat Aa, kan? Iya kan, A?!" Haikal yang duduk tertunduk di pinggiran kasur mengangkat kepalanya menatap sendu ke arah Kiming.
"Enggak! Siapa yang bilang gitu?! Sini biar Aa tonjok orangnya."
"Ikal yang bilang! Jadi tonjok Ikal, A! Tonjok!!" Haikal berdiri, menarik tangan Kiming supaya menonjok wajahnya.
BAM!
Alih-alih menonjik wajah Haikal, Kiming menojok tembok yang ada di dekatnya. "Nggak! Mana bisa Aa tonjok adik Aa sendiri!"
Haikal menunduk, menangis hingga tubuhnya ikut bergetar. Kiming segera menghampirinya lalu memeluknya. "Kenapa, sih, Kal? Kenapa tiba-tiba gini? Nggak biasanya kamu kayak gini. Ada apa? Cerita sama Aa."
Haikal hanya menggeleng di pelukan Kiming. "Yaudah kalau belum mau cerita ke Aa, nanti kalau kamu udah mau cerita, Aa siap kapan aja dengerin kamu."
"Maaf, A. Maafin Ikal."
"Iya." Kiming mengusap kepala sang adik yang masih ada di pelukannya. "Istirahat, ya. Kamu baru keluar dari rumah sakit. Aa nggak mau nanti kamu sakit lagi."
Haikal menganggk patuh. Ia lelah, bukan hanya lelah menangis, tapi juga lelah dengan semuanya. "Aa..." Panggil Haikal saat ia sudah berbaring di atas kasurnya.
"Em?"
"Ikal pengen ketemu mama. Ikal kangen sama mama, A. Ikal pengen lihat wajah mama secara langsung bukan hanya lewat foto." Rancaunya dengan mata sayu.
"Istirahat, dek. Kamu kecapean." Kiming terus mengusap pelan kepala sang adik-- menenagkannya.
Haikal memejam sambil mengangguk samar. Ia akan segera tidur, agar ia bisa segera bertemu mama di alam mimpi.
••••
Sudah enam bulan setelah hari itu, semuanya tak pernah lagi sama. Sikap Haikal kepada Kiming berubah. Tak sehangat biasanya. Haikal menjadi lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah. Ia tak lagi mau diberi uang jajan ataupun uang kuliah dengan dalih Haikal sudah bisa mencari uang sendiri dengan bekerja part time.
Kiming dibuat kalang kabut dengan perubahan sikap adik kesayangannya itu. Ia tak tau harus berbuat apa. Yang bisa ia lakukan hanyalah selalu berada di sisi adiknya itu apapun keadaannya. Memasak sarapan untuk Haikal, juga makan siang, atau bahkan makan malam yang kadang tidak disentuh samasekali oleh Haikal sama sekali.
"Ikal... Aa selalu ada disini lho kalau kamu mau cerita." Hanya kata-kata itu yang selalu ia ucapkan kepada Haikal. Agar adiknya itu tau bahwa A Kiming selalu ada bersamanya.
Keseharian Haikal kini semakin sibuk. Bukan hanya tugas kuliah melainkan perkerjaan paruh waktunya yang cukup banyak ia kerjakan. Sebisa mungkin Haikal mulai membiayai hidupnya sendiri. Haikal tak ingin lagi menjadi beban bagi A Kiming. Haikal ingin A Kiming pulang kerumah papa Samudra-- menjalani hidup yang lebih baik.
Kelelahan, pening sampai pengelihatannya berkunang-kunang, bahkan sampai nyeri dada belakangan ini sering Haikal alami semenjak ia memforsir dirinya dengan berbagai kegiatan yang membuat istirahatnya berkurang. Bahkan sudah dua kali Haikal pingsan di tempat ia bekerja. Tapi apapun yang terjadi pada dirinya, selama enam bulan terakhir ini ia tak pernah mengeluhkan itu kepada A Kiming.
Enam bulan sudah hubungan Haikal dan Kiming belum juga kembali seperti dulu. Kiming masih tetap menekuni balap liarnya sedang Haikal sibuk dengan dunianya sendiri.
"A, Aa nggak perlu balapan-balapan lagi. Bahaya A. Sekarang Ikal udah bisa cari uang sendiri. Aa nggak perlu bapan lagi."
"Kal... kenapa sih? Kenapa jadi gini?"
"Gini gimana A?"
"Kamu jauh. Aa ngerasa kamu jauh dari Aa."
"A..."
"Emm?"
"Aa nggak kangen sama si papa? Pulang A. Ikal udah dewasa, Ikal bisa urus hidup Ikal sendiri."
"Kal! Kamu ngomong apa kayak gitu, Aa nggak suka!"
"Ikal minta Aa pulang ke rumah. Udah cukup Aa disini, Ikal udah bisa lakuin semuanya sendiri. Ikal nggak butuh Aa lagi."
"IKAL!"
"A... Ikal serius."
Kiming mengusap wajahnya frustasi. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Haikal-- adiknya itu.
"Kal, hati Aa sakit lho kamu ngomong gitu. Dari kecil Aa yang ngurus kamu, Kal. Kamu tega ngomong kayak gitu ke Aa..."
"Ikal berangkat kuliah dulu, A." Haikal mengalihkan pembicaraan mereka.
"Sarapan dulu, Kal. Aa masak nasi goreng telor kesukaan kamu."
"Ikal lagi nggak laper, A." Dengan begitu saja Haikal pergi meninggalkan rumah di pagi yang mendung.
Yang ditinggalkan dirumah Hancur lebur. Hatinya terasa perih atas sikap adik kesayangannya itu.
Papa
Pa, ini Haikal. Haikal sudah suruh Aa pulang kerumah papa. Sekarang keputusan ada di tangan Aa, dia mau pulang atau enggak. Haikal sudah berusaha semampu Haikal.
Sebuah pesan telah ia kirim kepada papa Samudra. Haikal menyerah atas segala-galanya. Aa dan dunianya.
••••
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Haikal lagi nggak marah sama Aa. Haikal cuma lagi marah sama diri Haikal sendiri. Haikal itu cuma beban buat Aa, kan? Iya kan, A?!" -- Haikal
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ikal... Aa selalu ada disini lho kalau kamu mau cerita." -- A Kiming