Dewa tertegun mendengar kata-kata dokter Brama. "Ya, saya tahu," jawab Dewa dengan nada berat. "Dan merasa bersalah." Dewa menghela napas, tidak seharusnya ia bersikap semana-mena kepada Hazel waktu itu."Saya nggak tau kalo dia sakit parah."
Dokter Brama mengangguk, memahami perasaan Dewa. "Rasa bersalah itu wajar, Dewa. Tapi sekarang yang terpenting adalah bagaimana kamu bisa mendukung Hazel dalam masa-masa sulit ini. Dia butuh orang-orang yang peduli dan mendukungnya."
Dewa menatap dokter dengan serius. "Terus gimana dok? Apa yang harus dilakuin?"
"Mulailah dengan berada di sampingnya. Kamu tunjukan bahwa kamu peduli dan siap mendengarkan dia. Terkadang, kehadiran kita saja sudah bisa memberikan kekuatan bagi orang yang sedang berjuang," jelas dokter Brama.
"Emang separah itu ya, dok?" ucap Dewa dengan nada penasaran, matanya tidak lepas dari dokter.
Dokter Brama mengangguk pelan, "Kalau kamu tanya separah itu, yah, menurut kamu, penyakit yang menyebabkan kelebihan sel darah putih itu bagaimana? Ini bukan hal yang sepele."
Dewa terdiam sejenak, merenungkan kata-kata dokter. "Dan Hazel sudah mengidapnya selama kurang lebih 3 tahun. Dia anak yang sangat kuat. Meskipun begitu, setiap hari pasti ada tantangan yang harus dihadapinya."
Dokter itu menatap Dewa dengan penuh pengertian. "Dia berjuang dengan sangat baik, dan itu membuatnya menjadi sosok yang luar biasa. Tentu saja, dia mungkin punya banyak cerita yang ingin dia bagi."
Dewa mengangguk, semakin penasaran. "Jadi, dia ada banyak cerita yang disampaikan ke dokter atau mungkin ke ayah saya, dok?" tanyanya, berharap bisa memahami lebih dalam tentang apa yang dialami Hazel.
"Dan bagaimana keadaannya sekarang, dok?" tanya Dewa dengan penuh harap, ingin tahu tentang kondisi Hazel saat ini.
Dokter menghela napas, "Saat ini, Hazel masih dalam perawatan. Kami terus memantau perkembangan sel darah putihnya. Dia menunjukkan kemajuan yang cukup baik, tetapi masih ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang terpenting, dia tetap kuat dan bersemangat."
Dewa merasa sedikit lega mendengar kabar tersebut. "Jadi, ada harapan untuknya, ya?" tanyanya lagi, berharap mendapatkan jawaban positif.
Dokter tersenyum, "Betul. Dengan dukungan yang tepat, kami yakin Hazel bisa melalui ini. Dukungan dari keluarga dan teman-temannya sangat berarti baginya."
Dewa seperti sibuk mencari tau di sebuh buku tentang penyakit Hazel.
"Leukimia?"
"Itu nama penyakitnya dok?"
"Iya, leukimia," jawab dokter dengan suara lembut. "Leukimia memang jenis kanker yang bisa berbahaya dan membutuhkan perjuangan yang besar untuk melawannya."
Dewa menatap dokter dengan ekspresi prihatin, "Dia kasihan, ya, dok," ucapnya pelan, merasakan kepedihan yang dirasakan oleh Hazel dalam perjuangannya melawan penyakit yang menantang itu.
"Dia gadis yang hebat, bisa bertahan sejauh ini, tidak pernah menyerah meskipun banyak sekali lika-liku yang ia jalani selama ini, terutama saat ayahnya meninggal," jelas dokter itu. Dokter Brama menjabarkan Hazel yang dikenalnya selama ini; mereka cukup dekat, karena memang selama dua tahun itu dokter inilah yang menangani Hazel.
"Ngga kuat? Maksudnya dok?" tanya Dewa dengan nada penasaran yang semakin mendalam mengenai kondisi cewek itu.
"Ngga banyak orang yang bertahan sejauh ini, Dewa, untuk penyakit leukimia. Rata-rata pasien yang dokter tangani selama ini dengan anak seusianya hanya dapat bertahan antara 1 sampai 2 tahun saja," ungkap Dokter Brama, dengan nada serius yang mencerminkan realitas pahit yang harus dihadapi.
Dewa mangut-mangut mendengar penjelasan dokter itu, meresapi setiap kata yang diucapkan.
"Kalo ditanya, dia bakalan bisa sembuh nggak?"
Dokter Brama terdiam sejenak, merenungkan kalimat yang tepat agar dapat dipahami oleh Dewa dengan jelas. "Hanya pengobatan dan pil serta kemoterapi yang dapat memberikan harapan bagi Hazel untuk saat ini dan mungkin di masa depan. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan obat-obatan tersebut jika dilakukan secara terus-menerus dapat berdampak negatif bagi tubuh Hazel, karena fungsinya hanya untuk meredakan beberapa gejala dan bibit penyakit. Kemoterapi itu sendiri sangat menyiksa bagi Hazel, sehingga tidak bisa dilakukan tanpa jeda, melainkan melalui beberapa tahap yang harus dilalui dengan penuh ketahanan dan dukungan."
Dewa merasakan beban yang berat mendengar penjelasan tersebut, rasa kasian dan iba tak tau kenapa muncul untuk Hazel. Mungkin mulai dari sekarang dia akan memperlakukan Hazel dengan cata yang berbeda?
Dewa mengangguk, "Saya mengerti, dok. Saya akan berusaha memberikan dukungan yang dia butuhkan."
Dewa merasa sedikit lebih tenang mendengar nasihat itu. Dia memutuskan untuk melangkah ke ruang ICU dan menemui Hazel. Ketika dia masuk, melihat wajahnya yang pucat namun damai.
***
Hazel sudah sadar dari pingsannya beberapa jam lalu. Pagi ini mendung, dan cewek itu merasa suasana sangat berbeda setiap kali bangun pingsan seperti saat ini. Ia pun tidak ingat lagi kejadian yang dialaminya tadi malam.
Ia pun akhirnya memakan bubur yang sudah disediakan di sana. Betapa terkejutnya Hazel ketika mendapati Dewa sudah berdiri di ambang pintu dengan pakaian rapinya.
"Loh," kaget Hazel sedikit panik. "Ngapain kak?"
Dewa berdiri di depan pintu ruangan tersebut. Ia sebenarnya hanya ingin memastikan keberadaan Hazel dan menanyakan tentang kertas yang diambilnya tanpa sepengetahuan pemiliknya. Tiba-tiba, cowok itu menunjukkan kertas itu sambil tetap berdiri di sana, untuk mengembalikannya kepada Hazel.
Saat cowok itu memberikannya, Hazel sempat membaca kertas itu dan memperhatikannya sejenak. Kemudian, dengan santai, ia melempar kertas itu ke tempat sampah dan kembali memakan buburnya yang terasa hambar.
Dewa bingung dan langsung nanya, "Itu kertas punya lo, kan?"
Hazel liat kertas yang udah hancur di tempat sampah, "Iya, tapi itu harus dibuang." Dewa ngomong pelan, makin nggak ngerti.
"Lo udah mau mati kan? Jadi buat semua permintaan itu. Iya kan?"
"Iya," jawab Hazel seadanya.
"Lagipula, kalau aku bikin gituan juga pasti ada artinya, itu malah bikin aku nggak tenang, juga tersiksa mungkin?"
"Kenapa harus bikin diri sendiri tersiksa, kan? Mungkin lebih baik cari cara yang bikin tenang." Dewa bisa jadi lebih peka dengan perasaannya.
"Semakin berharap aku semakin nggak bisa dapetin itu. Dari kecil, jadi ya untuk apa kan?" ucap Hazel tanpa melihat wajah Dewa, ia tidak suka di kasihani, di tatap bagaikan orang yang banyak sekali cobaan, ya walaupun memang seperti itu adanya.
"Untuk permintaan satu dan dua aja nggak bisa aku penuhi, apalagi yang lainnya,"
"Udah ah... Nggak penting juga itu."
Hazel berusaha untuk lebih ceria, "sini mau makan sama aku nggak?" tanya-nya untuk mencairkan suasana.
Dewa terdiam sebentar, lalu menjawab pertanyaan Hazel dengan yakin. "Jadi itu alasan lo ikut sekeksi di grup kita kemarin?"
"Eum, bisa jadi."
"Tapi biarin aja, itu aku lagi ngehayal nggak jelas."
"Itu karena lo merasa nggak pantes, atau emang lo udah tau kalo lo mau mati?" Huft, Dewa ini memang mulutnya kadang tidak bisa terkontrol. Dan dalam hati ia mengutuk dirinya kenapa berbicara seperti itu kepada Hazel.
"Ya, dua-duanya."
"Kalo misalnya gue ngebantu lo buat wujudin itu semua, apa lo masih mau?" Cowok itu kemudian mengambil kembali kertas yang sudah di buang oleh Hazel dan mengambilnya dari tong sampah itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
9 Eternity || END
Romance"Dan bodohnya gue jatuh cinta sama orang yang udah mau mati." ••• Hazel tanaya.... Gadis cantik berwajah pucat. Cerdik, namun picik. Memanfaatkan seorang demi mendapatkan kekuasaan dalam dirinya, dengan cara apapun. Tapi... Bagaimana jika dia melaku...