Sejak kepulangan bundanya kemarin, Laksana selalu merecoki kehidupan Helga. Mulai dari tidur, makan, bahkan buang air. Seperti saat ini, Helga sedang tertidur dengan nyenyak. Sedangkan Laksana masih terjaga, memandangi hujan yang akhir-akhir ini mengguyur kota Bandung.
"Sayanggg." Bisik Laksana tepat di telinga Helga, anak itu sesekali meniup telinga milik Helga. Sang empu yang menjadi korban keusilan Laksana hanya mengubah posisi tubuhnya dan menutupi kepalanya dengan bantal.
Laksana terkekeh pelan, kemudian ia berbaring di sebelah Helga. Tangan kirinya mendekap tubuh Helga, jangan lupakan kakinya yang juga menimpa tubuh temannya itu. "LAKSANA BABI, GUE MAU TIDUR SIALANNNN!!" Teriak Helga kesal sembari menendang acak, sialnya tendangan itu mengenai perut Laksana. Mengakibatkan Laksana terjatuh dari tempat tidur milik Helga.
"Buset dah ganas amat kalo tidur."
Laksana mengelus bokongnya yang terasa nyeri akibat berciuman dengan lantai, sesekali ia mengeluarkan umpatan untuk Helga. Tak berlangsung lama, sebab netra Laksana menangkap siluet seseorang yang sangat dikenalnya. Itu Narendra, berjalan di tengah hujan. Membiarkan tubuhnya basah kuyup seluruhnya.
Tanpa pikir panjang Laksana langsung berlari menghampiri saudara kembarnya. "Lo ngapain hujan-hujanan? Udah tau lo itu gampang sakit, Na."
Narendra tersenyum ketika mendapati saudara kembarnya berdiri dihadapannya, "syukur lo baik-baik aja." Narendra memeluk raga Laksana dengan erat, diam-diam ia menangis di bawah guyuran hujan. "Gue khawatir, gue sayang banget sama lo, bang."
Laksana tergugu dengan penuturan Narendra, hatinya berdenyut perih. Tidak seharusnya Laksana membandingkan hidupnya dengan Narendra, mereka jelas berbeda meskipun terlahir dari rahim yang sama.
Seketika Laksana merasa bersalah karena telah pergi tanpa pamit, dibalasnya pelukan Narendra tidak kalah erat. "Jangan nangis, gue gak suka liat lo nangis." Tepat setelah Laksana berbisik pelan, pelukan Narendra melemah.
Jika saja Laksana tidak menahan tubuhnya, sudah pasti Narendra terjatuh. "Na sumpah, gak lucu anjing." Berkali-kali Laksana memanggil nama saudaranya, tapi nihil, Narendra tidak menjawab panggilannya.
Lantas dengan langkah besar-besar, anak itu membopong Narendra ke dalam kosan Helga. Masa bodo dengan air yang ikut menggenangi kosan temannya, Laksana akan membersihkannya nanti. Pikirannya hanya dipenuhi oleh sosok dalam dekapannya saat ini, Laksana benci melihat Narendra jatuh sakit.
"HELGAA, TOLONG TOLONGIN NAREN." Laksana menggoyangkan kasur milik Helga dengan kasar, membuat sang pemimpi yang sedang berkelana itu terpaksa terbangun dari tidurnya.
"APAANSIH ANJING? HAH NAREN???" Helga langsung bangkit dari ranjangnya ketika melihat Narendra terkulai lemas dalam dekapan Laksana. Helga dapat melihat betapa khawatirnya raut wajah Laksana saat itu.
"Lepasin dulu itu bajunya, bentar gue cariin baju punya gue." Helga berjalan walaupun kepalanya pusing setengah mati, efek terkejut dengan keadaan Narendra.
Laksana masih mendekap raga Narendra yang tak bergerak, hanya terdengar deru napas beraturan milik saudaranya itu. "Narendra lo dingin, maaf." Laksana merutuki keputusan bodohnya untuk pergi dari rumah. Tidak seharusnya Laksana meninggalkan Narendra di dalam penjara itu seorang diri.
Laksana mengelus surai saudara kembarnya dengan penuh sayang, tak lama kemudian Helga membawa satu set pakaian kering untuk Narendra. Dengan telaten Laksana membersihkan tubuh Narendra dan mengganti pakaiannya. Terakhir, anak itu membaringkan Narendra di ranjang milik Helga.
"Helga maaf ngerepotin lo terus, lantainya biar gue bersihin." Laksana sungguh merasa sungkan kepada temannya itu. Lain dengan Helga yang rasanya sangat ingin memukul kepala Laksana dengan buku paket sejarah. "Mending lo mandi, lo juga basah." Ujar Helga sembari meminjamkan pakainnya. Laksana ingin menolak, namun tatapan tajam dari Helga mampu membuatnya menuruti ucapan sang pemilik kos.
KAMU SEDANG MEMBACA
Under the Sea [Lee Jeno]
Roman pour AdolescentsDia di sana, 950 meter di bawah permukaan laut. Membawa harapannya yang bahkan tak sempat tersentuh, juga harapan keluarganya yang seketika hancur lebur. Laksana, tampaknya laut begitu memujamu. Memeluk ragamu begitu erat walaupun kami masih ingin m...