[1]

56 2 0
                                    

iii

Dua bulan lalu, tidak ada yang lebih ditunggu Jimi selain tanggal 25. Dia yang baru saja diterima kerja, mendapat gaji di tanggal itu! Satu bulan setelahnya, tanggal 25 menjadi bencana. Bulan berikutnya, tanggal 25 menjadi awal mimpi aneh yang sering kali tidak mau diakhiri—meski akhirnya tetap berakhir ketika Jimi bangun.

***

ii

"Kenapa kamu datang menjemputku? Kamu udah nggak sayang aku lagi, Juna! Stop ngasih harapan ke aku!" rengek Jimi dengan suara frustrasi—dan sesungguhnya terdengar terlalu percaya diri. Meski bar bercahaya samar, tetap terlihat kalau wajahnya sangat merah.

"Karena kamu beberapa saat lalu meneleponku. Alasan itu yang membuat pemilik bar menghubungiku, Jimi. Ayo kita pulang," jawab Juna sambil menarik lengan Jimi untuk disampirkan ke bahunya.

Jimi menurut. Otaknya sibuk mengingat hal-hal ajaib yang mungkin saja dia lakukan beberapa saat lalu. Usaha itu sia-sia karena pening segera menghantam kepala. Atau, sebenarnya kejadian ini pun menjadi bagian dari kata ajaib yang dimaksud tadi?

"Sejak kapan kamu punya mobil?" tanya Jimi dengan nada heran, beberapa saat setelah dia dan Juna keluar dari pintu bar. Juna masih memapah langkah Jimi dan bersiap menyeberang jalan karena di sana sudah terparkir mobil hitam cukup mewah. Mereknya tidak diketahui secara pasti, meski sekuat tenaga Jimi sudah menyipitkan mata untuk fokus.

Seseorang keluar dari sana—yang akhirnya menjadi fokus Jimi berikutnya. Dia berjalan menghampiri Jimi dan Juna.

"Astaga! Anak ini benar-benar mabuk parah, Juna. Ayo buruan bawa ke mobilku."

Hah? Anak? Hei, aku sudah 25!

Protes itu hanya ada di dalam pikiran Jimi, tidak dilisankan.

Malam itu adalah peristiwa tanggal 25 bulan kedua Jimi gajian, sekaligus yang dia anggap sebagai bencana. Bukan hanya tentang malu yang harus ditanggung karena mabuk parah sehingga dijemput Juna—cinta sepihak Jimi. Lebih dari itu. Jimi muntah di mobil mewah milik laki-laki tampan yang tak lain dan tak bukan adalah pacar baru Juna!

Tolong tunjukkan Jimi jalan lain menuju rimba raya dan tidak usah balik lagi saking malunya.

"Kamu sudah bangun, Jimi?"

Suara itu yang didengar pagi berikutnya. Jimi yang beberapa waktu lalu sudah tersadar, refleks memejamkan mata kembali: pura-pura masih tidur. Ingatannya bersusah payah dikerahkan untuk meniti kejadian apa saja yang terjadi semalam. Lalu, dia langsung membelalakkan mata dan bangun dari tempat tidur yang sudah disadari bukan miliknya.

"Apakah aku harus membersihkan mobilmu? Aku ingat semalam muntah di sana! Astaga. Maafkan aku!"

Panik itu malah ditanggapi senyum sangat menawan. Ya Tuhan, Jimi rasanya ingin menjadi kentang saja.

"Selamat pagi! Kepalamu pasti masih pusing. Minum ini biar pengar kamu reda. Aku tunggu di luar. Ayo sarapan, sebelum aku antar kamu pulang."

Hari itu Jimi tahu, meski tidak boleh membandingkan satu sama lain, dirinya kalah banyak dengan Jean.

***

iii

Jimi menggulir ponsel, melihat foto-foto lamanya dengan Juna. Bukannya tidak move on, hanya saja mulai hari ini dia seperti napak tilas: mengunjungi tempat yang dulu pernah disinggahi bersama Juna. Beberapa hari lalu, Jimi juga sudah memastikan menghapus nomor cinta bertepuk sebelah tangannya itu sebagai nomor darurat. Jadi misal ada kejadian seperti di bar beberapa waktu lalu, setidaknya insiden memalukan kuadrat tidak akan terulang lagi.

Teman Khayalan [YOONMIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang