9 ETERNITY • 8

179 57 2
                                        


"Dan cuman aku yang boleh suka sama Kak Dewa!! Kamu sendiri nggak boleh suka sama aku," ujar Hazel dengan nada serius, menatap Dewa dengan penuh keyakinan.

Dewa mengerutkan kening, sedikit kesal mendengar pernyataan Hazel. "Lagian siapa juga yang suka sama lo? Nggak bakal mungkin juga, kali," jawabnya, berusaha menyembunyikan rasa jengkel.

Hazel mengangkat alis, menantang."Dih sok ganteng banget eloh!"

"Emang, ada cowok yang suka sama cewek kayak lo?" tanya Dewa, nada suaranya sedikit menusuk hati, seolah sengaja membuat Hazel merasa jengkek.

Namun, Hazel tidak gentar. Ia menatap Dewa dengan serius, sorot matanya tajam dan penuh perasaan. "Aku pengen nanya, boleh?" katanya, suaranya lembut namun tegas, seolah ingin membuka sebuah percakapan yang lebih dalam.

Dewa yang agak bingung pun hanya mengangguk pelan.

"Kalau misalnya Kak Dewa nggak mau atau terpaksa, lebih baik nggak usah," Ucap Hazel berusaha tenang, karena Dewa saat ini sedang menatapnya serius.

"Mungkin Ini adalah tawaran terakhir yang aku kasih. Kak Dewa bisa batalin keputusan itu. Kamu bisa pergi sekarang dari hadapan aku, atau kalau memang yakin, kamu harus janji bakal mewujudkan semua keinginan yang ada di kertas itu tanpa ada yang tertinggal!" Mampus.

Mendengar itu, Dewa merasakan getaran aneh di dalam dirinya, seolah-olah ia sedang berdiri di tepi jurang. Ia merasa seperti orang yang akan dihukum mati jika tidak menepati ucapannya. "Kan tadi udah gue bilang. Iya. Sekalinya gue bilang iya, yaudah, nggak usah banyak tanya lagi."

"Hmm. Kamu si bilangnya iya. Tapi tolong jangan pikir ini hal yang sepele, atau buat mainan kamu kayak sebelumnya. Jangan cuma bilang iya karena ngerasa tertekan. Kalau ada yang bikin kamu ragu, ya bilang aja."

"Iya gue ngerti. Tapi ini gue cuman buat jadi pacar lo aja kan? Bukan mau nikahin lo apalagi jadi pengikut sekte lo."

"Apaan? Loe kira gue pakek ilmu hitam, sekte? Hah?"

"Tapi kalo kak Dewa mau nikahin aku juga ga apa-apa si, hahaha." Hazel terbahak dengan ucapannya sendiri, sedangkan Dewa hanya menatap malas.

"Mimpi lo ketinggian. Nggak usah ngadi-ngadi," tajam Dewa.

"Yaudah si, gitu amat," mulut Hazel maju beberapa senti setelahnya, sedikit sebal dengan tuturan Dewa, padahal ia hanya bercanda.

"Beneran nggak berubah pikiran?" tanya Hazel memastikan.

"Serah lo deh, nyinyir banget jadi manusia." Seolah sudah kehabisan kesabaran.

"Eh, bentar deh, aku pengen nanya. Kamu nggak ada pacar, kan?" tanya Hazel tiba-tiba, menyadari betapa bodohnya dia karena baru kepikiran hal itu. Dia merasa sedikit canggung.

"Gue nggak sebrengsek itu kali," balas Dewa, nada suaranya menunjukkan sedikit ketidakpuasan. Mendengar itu, Hazel mengangkat sudut bibirnya, senang dengan jawaban Dewa.

"Kalo cewek yang disukai, ada?" tanya Hazel, rasa penasarannya semakin menggebu.

"Gue normal. Masa iya nggak ada cewek yang gue suka." Dewa menjawab dengan heran, merasa tak mengerti kenapa Hazel begitu penasaran.

"Siapa?" tanya Hazel, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.

"Apa urusan lo?" jawab Dewa, berusaha menjaga jarak dari pertanyaan itu.

"Tugas gue cuman wujudin itu wishlist. Lo nggak berhak tau urusan gue!"

"Itu yang aku maksud, kalo Kak Dewa nggak mau atau mungkin cuman terpaksa, mending nggak usah deh. Nanti di tengah-tengah bisa berubah pikiran," ujar Hazel sambil mengenakan switternya, matanya melirik jalanan sore yang mulai gelap. Kenangan tentang kertas bodoh itu kembali menghantuinya, membuatnya merasa sedikit frustasi.

9 Eternity || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang