Bab 1

6 1 1
                                    

Cinta tahu bahwa memenangkan pertandingan adalah hal paling mustahil untuk ia lakukan. Tiga tahun lamanya ia menyandang predikat sebagai atlit silat tanpa prestasi, tak membuatnya mundur dari ekstrakulikuler tersebut. Bukan karena ia mencintai olahraga itu, tetapi karena ia menyukai debuk yang ia dapatkan saat berhadapan dengan lawan.

Hari ini adalah pertandingan terakhirnya. Tidak akan ada pertandingan lainnya lagi setelah ini. Tidak ada lagi rasa sakit yang akan ia terima, dan tak ada lagi olok-olokan atlit kalah telak yang akan ia dengar.

Aroma matras mulai menyeruak di hidung Cinta. Aroma yang seratus kali lipat lebih ia sukai dibanding bau parfume sang Ibu atau bau alkohol bercampur rokok yang keluar dari mulut ayahnya. Sungguh, ia mencintai gelanggang dari apa pun. Tempat yang ia namakan sebagai 'sabung manusia'. Tenang saja, yang satu ini legal, dan tak akan ada satuan pamong praja yang akan merazia.

Anak matanya mulai mencari-cari sekumpulan manusia dengan baju hitam berlis putih di bagian lengan. Beberapa temannya yang lain juga mengikuti pertandingan hari ini, tentunya dengan seragam yang sama dengan yang ia kenakan saat ini. Seperti biasa, Cinta tak punya semangat untuk menang seperti yang lainnya. Baginya, kekalahan adalah hal yang wajar.

Gedung olahraga ini mendadak warna-warni, meski pun hitam tetap mendominasi. Berbagai perguruan silat dari sekolah yang berbeda turut hadir untuk bertanding. Ingat, ini pertandingan, bukan 'sabung manusia' seperti yang Cinta pikirkan.

Cinta pun bergabung dengan timnya. Ia tahu tak akan dipedulikan seperti atlit yang lain karena ia pasti akan kalah. Namun, mata seseorang terlihat berbinar menatapnya. Itu Bimo, manusia yang dua belas jam lalu masih berceloteh ingin mati.

"Lo pasti menang, Cin. Gue yakin." ungkapnya antusias. Mata orang lain kini tertuju pada mereka berdua. Seperti menertawakan. Tidak. Lebih tepatnya sedang mendengarkan pernyataan bodoh yang dikeluarkan oleh seorang pecundang pada pecundang lainnya.

"Kenapa sih, lo? Pengen banget gue mati, ya?" Cinta meletakkan ranselnya pada tempat duduk yang tersedia. Dan memerhatikan kertas yang sedaritadi disodorkan oleh Bimo.

"E. Atika, Cindy, dan Renata di kelas E. Lawan lo di kelas D, atlit baru, Cin!" Pernyataan Bimo membuat Cinta menyipitkan mata. Mengapa mendadak lawan beratnya naik berat badan? Bukankah tiga bulan yang lalu mereka masih di kelas yang sama. Cinta melihat kertas yang dibawa Bimo. Benar, lawannya naik kelas kecuali ... kecuali Raisa.

Gadis itu menunjuk nama Raisa. "Lo buta, ya?"

"Kalau lo menang dalam satu atau dua pertandingan, lo nggak bakal ketemu Raisa. Mentok-mentok di final!" jelas Bimo.

Cinta tergelak melihat Bimo yang antusias. Entah apa yang membuatnya sesemangat itu. Atau, ia tahu bahwa Cinta akan mati di gelanggang? Terserah. Apa pun, gadis itu hanya ingin melanjutkan pertandingan dan mati.

Waktu berlalu begitu cepat. Cinta sudah siap di sudut biru dengan body protector berwarna sama. Ia melakukan stretching ringan untuk menghilangkan tegang. Pelatih officialnya sedari tadi melantunkan kata-kata yang membosankan. "Tenang saja, Cinta. Anggap saja ini latihan."

Gadis itu memilih untuk diam saja. Persetan dengan apa pun, ini pertandignan terakhirnya. Pertandingan mereka selesai yang ditutup oleh kemenangan Raisa, atlit nasional yang sudah membawa nama kota ke kancah nasional.

"Sudut merah, silakan memasuki gelanggang." Panitia berkopiah hitam mempersilakan lawan Cinta untuk masuk ke gelanggang terlebih dahulu. Ia memperagakan beberapa gerakan pembuka dari perguruannya setelah wasit berbaju putih mempersilakan. Gerakannya patah-patah, terlihat ini adalah silat Betawi.

"Sudut biru, silakan memasuki gelanggang," ucap pria yang sama. Suaranya terdengar berat dan serak, menandakan umurnya yang tidak muda lagi.

Cinta melangkahkan kakin memijak matras yang biasa ia pijak. Merasakan aura lapangan yang mendadak menyatu pada tubuhnya. Sembari melangkahkan kaki memperagakan gerakan silat pembuka yang ia kuasai, sayup-sayup sorak-sorai manusia menyemangati peserta membuat Cinta gugup. Ia menutup gerakannya dengan mengatupkan ke dua tangan di depan dada sembari menundukkan kepala kepada panitia.

Wasit dengan kepala plontos memberi arahan kepada mereka berdua untuk mendekat. Cinta memperhatikan wajah lawannya dengan seksama. Benar ini adalah pertandingan pertamanya, terlihat dari caranya menatap Cinta yang takut-takut. Meski selalu kalah, bisa dibilang Cinta sudah menguasai gelanggang.

"Dilarang menyerang kepala dan kemaluan. Empat kali serangan mundur, main berpola, enam detik, fight. Paham?" jelas wasit menyebutkan peraturan secara singkat. Kedua belah pihak mengangguk mengerti. Mereka mundur memberi jarak antara masing-masing.

"Bersedia," ucap sang wasit sembari memberi kode dengan tangan. Cinta segera memasang kuda-kuda terbaiknya dan melangkah dengan pola melingkar. "Siap, mulai!" Ke dua gadis yang memperebutkan kemenangan itu tengah memikirkan strategi yang pas untuk menyerang satu sama lain.

Pukulan telak mendarat di dada Cinta yang tak terlindungi oleh ke dua tangannya. Gadis itu lengah, meski baru, lawannya cukup gesit menangkap celah kosong. Cinta berusaha menutup dadanya dengan tangan kanan. Bunyi debuk Kembali menimbulkan kenikmatan bagi Cinta. Ia memiringkan kepalanya kiri dan kanan dengan hentakan dan menghsilkan bunyi 'krek'.

Sepersekian detik kemudian, Cinta menyerangnya dengan tendangan sabit. Meski tak mengenai body protector, punggung kakinya berhasil menabrak tangan kanan si lawan. Ia tahu itu pasti sangat sakit. Bayangkan saja, tangan yang tak siap melawan kaki yang sudah penuh dengan power.

Air muka lawannya berubah seketika. Kesalahan terbesar bagi atlit baru ialah, mentalnya yang tak siap ketika diserang. Dan Cinta unggul di bagian itu.

TENG!

Bel pertanda babak pertama berakhir bunyi. Wasit ke tengah dan merentangkan tangannya untuk memisahkan jarak antara mereka berdua dan Kembali ke sudut masing-masing.

Tanpa aba-aba, kepala Cinta langsung dihujani oleh handuk yang sudah dibasahi air dingin. Ia sangat tak suka handuk ini, baunya aneh seperti keringat yang dicampur aroma melati! Ia segera menepis tangan pelatihnya yang terus menggosok-gosok rambut Cinta dengan handuk itu. "Bau, Kak,"ujarnya sopan.

Pelatihnya tersenyum kecil, ini kali pertamanya Kak Agung menunjukkan senyumnya pada Cinta. "Untuk babak pertama ini cukup baik, Cin. Mentalnya sudah habis itu!"

Aku tau. Gumamnya dalam hati. Seharusnya kau mengatakan itu saat aku selalu kalah, lanjutnya bergumam tak jelas.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 03, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat Cinta untuk Mas NinjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang