"Lagian lo ngapain harus bilang makasih? Ini kan rencana lo sendiri," balas cowok itu dengan nada judes. Hazel merasa sedikit bingung dengan sikapnya. Terkadang, dia sangat baik, lembut, dan perhatian, tapi tiba-tiba bisa berubah jadi judes dan galak. Hazel kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba itu."Terserah aku lah. Intinya jangan kapok ya. Betewe Baru ngewujudin yang pertama aja udah seru banget, apalagi kalau semuanya," ucap Hazel sambil tertawa, terlihat jelas betapa bahagianya dia saat ini.
"Ternyata gini ya rasanya ngedate. Pantesan orang-orang pada bucin, seru banget!" Dewa yang mendengarnya hanya bergumam pelan.
"Kak Dewa?"
"Hmm?"
Hazel meremas jari-jarinya, ingin mengucapkan sesuatu tapi rasanya sangat sulit, dia merasa sedikit malu. "Boleh..."
"Duh, nggak jadi deh," ucap Hazel menunda ucapannya. Rasanya susah sekali untuk mengatakannya, dia tidak berani melakukannya.
"Kenapa?" tanya Dewa.
"Nggak jadi."
Setelah itu, Dewa tidak menanggapi lagi, dia sibuk mengendarai motor besarnya. Sekarang mungkin sudah jam 8, bisa dihitung berapa lama mereka berada di bukit itu. Tentu saja banyak yang mereka lakukan, terutama membangun tenda. Mereka menyewa tenda di sana sambil menghidupkan api unggun setelah maghrib karena Hazel ingin melihat bintang-bintang.
Sedikit lelah, tapi saat melihat wajah bahagia Hazel, lelah itu sedikit sirna. Jalanan lumayan sepi karena mereka belum keluar dari perkebunan warga. Banyak pohon besar di sini dan sedikit menakutkan, di daerah ini tidak ada rumah warga yang tinggal. Hanya ada satu atau dua kendaraan bermotor yang melaju, itu pun milik warga yang sedang bekerja untuk mengambil hasil teh mereka. Namun terlepas dari itu, semuanya indah. Di sebelah kiri hanya ada gundukan tanah dan pohon-pohonan, memang agak berbahaya, dan Dewa hampir setiap minggu datang ke daerah sini.
"Jangan lihat ke kiri kanan," kata Dewa, melihat Hazel yang terpesona oleh pemandangan di sebelah kiri mereka. Dia bisa merasakan ketegangan di udara, membuat bulu kuduknya berdiri. Untungnya, Hazel tidak bisa melihat hal-hal aneh di tempat itu.
"Kenapa? Liat wajah kamu kali ya," balas Hazel, sedikit menggoda, membuat Dewa merasa tertekan.
"Gue pernah lihat mbak kunti di sini, mukanya pucet kayak lo," ucap Dewa sambil melirik Hazel.
"Jahat." Cemberut Hazel. Dewa bisa merasakan tatapan tajam Hazel yang penuh kesal.
"Matanya berdarah, dan tinggi banget. Gue males kalau lo sampai pingsan lihat gituan, berat lo tau nggak." Dia merasa suasana romantis yang diharapkan Hazel kini terancam.
"Kamu bisa nggak jadi cowok yang romantis sedikit?" tanya Hazel dengan nada kesal, sementara Dewa mempercepat laju motornya.
Dewa menoleh, "Romantis? Di tempat kayak gini? Lo serius?" Dia mengerem sedikit.
Hazel menepuk pundak Dewa. "Kenapa berhenti si? Aku merinding loh kak."
Tanpa menunggu aba-aba, Dewa langsung mengatur gigi motornya dan melaju begitu cepat.
"YA ALLAH, JAT-"
"Sttttt, diem, jangan ngomong. Mending lo banyak-banyak istigfar. Yang gue omongin barusan ngikutin kita," Dewa berbisik, wajahnya serius. Mendengar itu, Hazel seketika menegang, wajahnya langsung pucat pasi. Jujur, untuk hal yang sakral seperti itu, dia sangat takut. Di tengah hutan seperti ini, sepi dan gelap, kata-kata Dewa membuatnya merinding.
Hazel menutup mulutnya, tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Tangan mungilnya mencengkeram jaket Dewa dengan kencang, takut jika ia memeluk cowok itu, malah membuatnya marah.

KAMU SEDANG MEMBACA
9 Eternity || END
Romance"Dan bodohnya gue jatuh cinta sama orang yang udah mau mati." ••• Hazel tanaya.... Gadis cantik berwajah pucat. Cerdik, namun picik. Memanfaatkan seorang demi mendapatkan kekuasaan dalam dirinya, dengan cara apapun. Tapi... Bagaimana jika dia melaku...