Bab 1
Taman di pinggir kota tak pernah sepi pengunjung, hari ini senja merajuk dan tak menampakkan pancaran indahnya. Langit tak mengizinkan senja untuk hadir di tengah-tengah manusia yang selalu menantinya. Namun bagi Abercio, senja adalah sang adik. Indah memukau dan juga cantik, tak ada kata buruk yang terucap dari bibir ranumnya untuk sang adik.
Tangannya mengepal kuat saat melihat pemandangan yang tak ingin ia lihat, di depan matanya Abercio melihat sang adik menangis.
Kakinya terus berayun melangkah menuju sang adik, mesti tak pernah seimbang dalam melangkahkan kaki. Abercio terus berusaha agar ia bisa seperti manusia lainnya. Bukan keinginan nya jika memiliki kaki yang tak seimbang, bukan keinginan nya jika diri nya mengidap Albinisme. Jika ia bisa memilih, Abercio tak ingin lahir jika diri selalu di hinakan.
"Cukup ayah! Cia kesakitan," kata Abercio.
"Lo gak usah ikut campur!" pekik Semesta membuat tangis Lucia semakin mengencang.
"Ayah! kita sedang berada di taman," terang Abercio dengan penuh penekanan.Semesta bukan figur ayah yang baik, Semesta hanya orang asing yang telah lama hadir di hari-hari sulit Abercio. Karena Semesta, mereka kehilangan kedua orang tuanya. Berkat Semesta, Abercio dan Lucia tak kenal kasih sayang. Lagi-lagi karena Semesta, mereka tahu arti kerasnya hidup.
"Malam ini gue mau kalian setor hasil ngamen!" cetus Semesta lalu meninggalkan mereka.
Ringisan kecil membuyarkan lamunan Abercio, gitar kecil di tangannya ia simpan lalu memeluk tubuh ringkih sang adik. Teramat sayang pada sang adik, Abercio mengelus rambut kusut Lucia penuh cinta. Menangis dan berbisik, "Jika dunia akan adil untuk mereka. Hanya Semesta yang tak adil Dunia tidak seperti itu." Abercio mengecup pelan pucuk sang adik, tubuhnya terus bergetar. Dadanya kian menyesakkan, matanya memerah dan tangannya terus mengepal.
Setiap detiknya ia menikmati, setiap menitnya ia berjanji untuk Lucia yang akan ia bahagiakan. Demi Lucia, hanya Lucia dan untuk Lucia.
"Cia jangan nangis lagi ya, minggu depan Cia ulangtahun. Mau hadiah apa dari kakak?" tanya Abercio dengan lembut.
Lucia menggeleng pelan dalam dekapan sang kakak, tangan mungil nya meraba sesuatu yang ada di bawah kakinya. Terlihat wajah kesakitan dari sang adik, Abercio menunduk dan melihat ada sesuatu yang mengganjal di dalam benaknya.
"Kenapa Cia?" tanya Abercio
"Sakit," lirih Lucia.
Gegas Abercio mendudukkan sang adik dalam pangkuannya. Gadis yang akan menginjakan umur 11 tahun itu meringis lalu menangis. Satu bongkahan beling tertancap di tengah telapak kakinya. Dengan telaten dan amat hati-hati, Abercio mengeluarkan beling secara perlahan agar Lucia tak terlalu merasakan nyeri."Kakak sakit, huhuhu...."
"Sabar ya Cia," ucap Abercio
"Aaaaaa sakit kakak." Lucia kian meracau sakit, bibirnya ia bekap agar tak mengganggu pengguna taman yang lain. Manusia terus berlalu lalang, namun tak ada satupun yang melirik perduli kepadanya."Nah kan, belingnya udah ilang." Abercio membalut kaki Cia dengan kaos hitam yang di kenakan.
"Sakit kakak," rengek Lucia
"Sini kakak gendong, Cia mau kan kakak gendong?" tanya Abercio
"Emang kakak bisa gendong Cia? Jalan aja susah apa lagi gendong Cia," cetus Cia membuat Abercio terdiam.Sekali lagi Lucia menyedarkan Abercio jika diri nya tak sempurna. Dengan teganya Lucia pergi begitu saja meninggalkan Abercio dengan kata yang tak pantas terucap. Bagai duri mawar yang tertancap di kulit, Abercio merasakan sakit yang teramat dalam.
Tak terasa waktu semakin berputar cepat, purnama semakin meninggi. Malam yang kian melalut namun mata tak kunjung mengantuk. Lucia terus mengeluh sakit membuat Abercio harus terjaga dari tidurnya. Tinggal di panti asuhan bukanlah keinginan Abercio ataupun Lucia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Terakhir Untuk Lucia
Short StoryDi balik semangatnya Abercio Alaric ada Lucia yang selalu menantinya. Abercio Alaric yang di gambarkan sebagai kakak penyayang harus bertaruh harapan pada semesta yang tak menginginkan nya. Jika ia bisa berlari, Abercio ingin berlari mengejar sang...