Perginya Cio

2 2 0
                                    

Bab 6

Kini waktunya Abercio mengamen dari angkot ke angkot lain, dari lampu merah ke lampu merah lain dan dari tepi jalan hingga ke ujung jalan. Abercio tau tak ada ujung jalan, hanya saja ia akan terus mencari ujung jalan itu untuk pulang. Semesta selalu menekan mereka ataupun memaksa agar tak ada yang tahu jika ia memaksa mereka bekerja. Seharusnya malam adalah situasi ternyaman untuk tidur, namun sayangnya bagi mereka malam adalah situasi yang pas untuk mengamen.

"Cio, kamu udah dapet berapa?" tanya teman sebayanya.
"Baru 50.000 ribu," jawabnya. Tentu saja ia berbohong, hasilnya tak akan sekecil itu. Semesta selalu mematok harga, jika sudah 100,000ribu maka mereka boleh pulang. Tak perduli selarut apapun itu, mereka tak boleh mendapatkan hasil ngamen yang kecil.
"Nanti kamu gak bisa pulang loh," ucap teman sebayanya.
"Cio belum dapet banyak kayak kalian, padahal Cio ngamennya dari sore." Abercio menunduk, lalu menatap wajah kawan lainnya.
"Cio mau ngamen lagi, Lucia pasti sepi di sana. Dahh Abid," pamit Abercio.
"Eh Cio," panggil Abid.
"Uang kamu mending buat kita, sekalian kamu gak usah balik ke panti. Hahaha," tawa mereka.

Benar seperti dugaan Abercio, mereka tak sepenuhnya empati. Andai jika Cio memberitahu hasil yang ia dapatkan malam ini mungkin bisa saja mereka ingin merampas nya.

"Gak boleh, kalian cari lagi aja sendiri!" tegas Abercio. lalu meninggalkan mereka tanpa kata yang terucap kembali.

Setibanya dari mengamen, Abercio menyempatkan diri untuk mengunjungi toko buku dan perlengkapan di samping halte. Tangannya sudah menenteng 2 jinjingan paperbag.  Dengan bahagia Abercio menyusuri dinding berlumut yang sudah menebal karena tak terurus, begitu bahagianya Abercio yang terus melangkah dengan kaki pincangnya. Meski langkahnya tak seimbang, Abercio mengharapkan ia bisa sejajar dengan sang adik Lucia. Mengucap nama adiknya, Abercio jadi teringat dengan permintaan sang adik yang kini dirinya sudah memenuhi keinginan Lucia, gegas ia berjalan melewati mobil-mobil yang sedang terdiam karena rambu lalu lintas sedang merah.

"Cia pasti suka," gumamnya.
Namun sayang Abercio terserempet mobil hingga dirinya terpental jauh bersama jinjingan dan boneka panda kesukaan Lucia. Tepat di depan motor, Abercio tergeletak bersimpuh darah dimana-mana, membuat pengendara wanita  histeris di buatnya. Mobil yang menabraknya pergi melarikan diri, mereka yang menyaksikan ini tak berkutik sama sekali hanya melihat jasad Abercio yang terkapar mengenaskan.  Sebelum kesadarannya hilang, Abercio berucap sendu ia begitu sedih mengingat ini adalah ulang tahun Lucia ke 11 tahun.
"Selamat ulangtahun adek ku tersayang," lirihnya.

Di sisi lain Lucia sedang menunggu Abercio penuh harap, hari ini adalah hari ulangtahun yang ke 11 tahun. Lucia tak sabar dengan ke jutan yang akan Abercio berikan. Namun siapa sangka, sang kakak yang ia tunggu kini berada di ujung nyawa hidup dan mati. Satu lilin di depannya terus menyala menyinari gelapnya malam, tak terasa lilin itu akan habis terkikis  oleh waktu yang terus berputar. Lucia tak tahu mengapa sang kakak tak kunjung datang kembali dan membawa apa yang ia inginkan. Dengan penuh harap sekali lagi, Lucia berdoa di depan lilin agar sang kakak hadir di sisinya secepat mungkin.

"Kak Cio kemana ya?" tanya nya.
"Mungkin masih mengamen kali, apa aku samperin aja ya kesana!" monolog Lucia.

Kaki pendek Lucia melangkah maju menuju gerbang di ujung sana, terdapat pak Uus yang sedang terdiam merenungkan sesuatu.
"Pak Uus," sapa Lucia
"Iya Cia?" jawab pak Uus.
"Cia mau keluar boleh," tanya Lucia.
"Mau apa Cia keluar?" kepo pak Uus. Tak seperti biasanya Lucia ingin keluar tengah malam, biasanya anak panti yang keluar malam hanyalah anak lelaki suruhan Semesta.
"Cia mau nyari kak Cio," jawab Lucia sendu.
"Yaudah pak Uus antar yh." Lucia tersenyum tangan mungil nya menjuil baju pak Uus dari belakang.

Lucia gadis manis dengan perawakan tubuh pendek, sehingga siapapun tak akan menyangka jika dirinya gadis 9 tahun bukan 11 tahunan.

Tak jauh dari panti asuhan untuk menuju jalan utama tempat mereka mengamen. Saat mereka di tepi persimpangan jalan menuju tempat biasa, Lucia dan pak Uus melihat banyak yang berkerumun di tengah jalan. Karena rasa penasarannya Lucia lari dan masuk kedalam kerumunan. Betapa hancurnya hati Lucia saat melihat sang kakak tengah di bawa memasuki ambulance.
"Kakak," teriak Lucia.
"Kak Cio, Kak Cio kenapa kak Cio." Lucia berlari sembari menangis. Ambulance telah pergi sebelum Lucia melihat sang kakak.
"Kakak," tangis Lucia. Dirinya bersimpuh ke aspal. Di lihat ada 2 paperbag dengan 1 boneka yang terkena cipratan darah Abercio. Lucia menangis sesenggukan membuat mereka merasa iba, gegas pak Uus mengendong Lucia yang terlihat lemah.
"Pak Uus, kak cio!" lirih Lucia.
"Kita ke panti ya," ucap pak Uus.
•••
Sehari setelah pemakaman Abercio, Lucia tak menampakan senyumnya lagi. Jangankan untuk tersenyum, menampakan dirinya saja ia enggan. Lucia begitu sedih, teramat sedih. Kini dirinya tak ada lagi pahlawan di samping nya. Lucia menyesal, sungguh menyesal saat Abercio masih ada di samping nya, ia begitu jahat dan egois. Namun apalah daya, ia tak bisa menyalahkan dirinya sepenuhnya. Untuk kesekian kalinya Lucia mengenang jika sang pahlawan telah gugur.

Tamat

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 08, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hadiah Terakhir Untuk LuciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang