Perhatian Abercio

1 0 0
                                    

Bab 3
Lucia menangis histeris, dalam
pangkuannya Abercio terus mengeluh sakit pada bagian kepala. Sekelompok orang berbaju putih mendekat kearahnya, Lucia tak tahu siapa mereka. Cukup jelas baginya jika itu bukanlah tenaga medis.

"Siapa mereka?" gumam Lucia.
"Tunggu," teriak Lucia. Mereka berhenti berjalan lalu memandang sekilas Lucia.
"Jangan bawa Kak Cio, hiks." Lucia menangis histeris saat tubuh sang kakak di bawa pergi oleh mereka.
"Kakak..... Jangan bawa kakak," teriak Lucia.

Ternyata itu hanya alam bawah sadar Lucia, kini Abercio begitu khawatir melihat sang adik yang terbujur di atas brangkar UKS. Dengan penuh perhatian, Abercio terus mengompres kening Lucia dengan air dingin. Linang air mata keluar dari pelupuk mata Lucia, sekali lagi perlakuan manis Abercio membuat pak Uus merasa tersentuh. Begitu jelas terlihat rasa sayang kakak kepada sang adik.

"Cio, biar bapak aja yang menjaga Cia. Sekarang kamu istirahat gih," titah pak Uus.
"Cio masih mau di samping Cia, pak." Abercio menggeleng pelan. Tangannya terus menggenggam jari-jari Lucia yang terasa dingin.
"Cia, adiknya Cio kapan bangun?" tanya Abercio.
"Cio udah nyiapin kado spesial loh buat Cia," lirih Cio. Punggungnya bergetar, tak di sangka Cio yang terlihat kuat kini menangis di depan sang adik yang terbaring. Matanya terus mengeluarkan bulir-bulir bening berjatuhan pada pucuk kepala sang adik. Suaranya semakin terdengar pilu, Abercio begitu terpukul saat mengetahui sang adik terkena bully akibat ulahnya.

Tak ada tempat ternyaman untuk mereka berdua. Karena Abercio, Lucia menjadi sasarannya. Karena kekurangan Abercio, Lucia terkena dampaknya. Selepas pulang sekolah Lucia mendengar sang kakak di ejek oleh sekelompok orang. Ada rasa tak terima, Lucia memberanikan diri untuk berkata jika kakaknya adalah sempurna. Akhir-akhir ini, Lucia merasakan rasa sayang sang kakak yang begitu besar. Lucia sedang belajar menerima kekurangan sang kakak, namun ego selalu mengalahkan perasaan itu. Lucia menepis rasa empati untuk sang kakak, namun hatinya selalu mengetakan Abercio-lah keluarga yang sesungguhnya. 

Kulit putih Abercio memucat membuatnya di ledek seperti mayat hidup yang selalu berjalan terpincang-pincang. Tak terima dengan perlakuan mereka, Lucia menendang perut Langit dengan sekali tendangan. Abercio yang sudah merasa lemas akibat di timpuk balok kembali bangkit saat melihat Awan, teman langit mengangkat batu lalu melempar tepat pada kepala belakang Lucia.

"Cia awas," teriak Abercio.

Dug
Terdengar nyaring saat batu itu terkena punggung Abercio, baju seragam putih nya memerah terkena darah. Kali ini Abercio menyelamatkan Lucia lagi dari keusilan mereka, namun ini belum berakhir. Saat dirinya lenggah karena menahan sakit di punggung, dengan sengaja Rain menyiram Lucia dengan air comberan yang ada di dekatnya.

"Cio, punggung kamu bapak obati ya." Lamunan Abercio terbuyarkan, tangan Abercio terkepal kuat. Dalam hatinya ia berjanji akan melakukan apapun untuk Lucia dan membalas mereka yang telah menyakiti senjanya.

"Cio gakpapa," ucap Abercio.
"Kamu di bilangin ini ngeyel ya, sini bapak liat lukanya." Pak Uus menarik Abercio mendekat kearah brankar di sebelahnya.
"Sakit pak," gumam Abercio
"Tukan bapak bilang apa, cepet sana pulang dulu. Biar Cia nanti ada bu Indi yang jagain," titah pak Uus setalah membalut luka di punggung dengan perban.

"Bapak kira saya mumi, di perban seluruh badan. Yaudah saya pulang, nitip Cia yah pak"

"Yaudah sana," usir pak Uus.

30 menit setelah kepergian Abercio, Lucia sudah sadarkan diri. Di ruangan yang serba putih ini Lucia menangis, takut jika mimpi itu emang nyata. Di cari sang kakak yang tak ada di sampingnya membuat Lucia berpikir yang tidak-tidak. Apa mungkin benar jika kakaknya telah pergi meninggalkan nya.

Ego Lucia kini kembali, sikap yang tadi khawatir akan Abercio kini berubah ketidak sukaan. Hatinya kembali beku setelah meleleh, namun itu hanya beberapa saat. Terlihat pintu UKS terbuka menampakan remaja laki-laki yang berjalan terpincang-pincang. Senyuman manis Abercio tak pernah luntur dari bibirnya untuk sang adik.

"Ngapain kakak kesini?" tanya Lucia.
"Seperti yang Cia liat," jawab Abercio, "emm Cia belum makan ya?" tanya Abercio. Tangannya mengambil bungkusan plastik yang berisi bubur.
"Kakak suapin ya?" pinta Abercio. Lucia merasa tersentuh namun dengan cepat ia memasang wajah tak suka.
"Cia punya tangan, sana pergi." Lucia menyerobot kotak berisi bubur itu dengan kasar.
"Cia kan lagi sakit biar kakak aja ya yang suapin." Abercio tersenyum gemas saat sang adik memasang wajah kesal.
"Sini buka mulutnya," perintah Abercio.
Lucia hanya menurut tanpa membantah saat sang kakak menyuapinya, ada rasa senang sekaligus terharu saat mendapat perlakuan manis dari Abercio.

"Yeyyy abis," pekik girang Abercio. Lucia tersenyum simpul saat sang kakak terlihat gembira menyuapinya.
"Emm Cia," panggil Abercio.
"Hm?"
"Maafin kakak ya," lirih Abercio.
"Iya,"
"Makasih." Abercio menatap sang adik, senyumannya tak pernah luntur. Ada rasa hangat yang Lucia rasakan, mungkin suatu saat nanti senyuman Abercio akan Lucia rindukan.
"Cia boleh peluk kakak?"tanya Lucia dengan ragu.
"Boleh Cia," ucapnya dengan senang hati.

Lucia memeluk erat tubuh sang kakak, tak sengaja dirinya menyentuh luka yang masih basah di punggung Abercio.
"Aww," ringis Abercio.
"Kenapa," tanya Lucia.
"Eh ngak, tadi kaki kakak terjepit." Abercio berkata bohong.

"Cia, kakak pamit sebentar ya. Ada sesuatu yang harus Cio kerjakan," ucapnya. Elusan lembut di kepala Abercio lakukan pada Lucia sebelum pergi, rasa sayang nya tak akan terganti untuk Lucia sang adik. Dengan penuh rasa sayang, Abercio mengelus pipinya.
"Dadah Cia. Cio seneng banget bisa di peluk Cia," ucap Abercio sebelum pergi meninggalkan Lucia seorang diri.

Hadiah Terakhir Untuk LuciaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang