"Untuk ayah dan ibu yang mati terbunuh oleh mereka. Kelak, aku persembahkan mereka yang mengaku saudara untuk menemani kalian di alam baka."
Putramu, Finn Herman
Perlahan rentetan kalimat itu menghilang bersama dengan kertas yang terbakar. Bersimpuh seorang pria di atas pusara, dia Finn Herman. Sepuluh tahun berlalu membuatnya hidup dalam amarah dan ketakutan luar biasa. Mengingat bagaimana kedua orangtuanya terbunuh dengan luka tembak pada dada mereka. Malam itu Finn hanya melihat para tentara berjalan melewati rumah mereka, salah satu dari mereka terlihat sedikit berbeda. Lencana yang melekat pada baju kebesarannya yang Finn pikir hanya di miliki oleh seorang petinggi militer. Pria itu masuk kedalam rumahnya, diikuti dua orang bawahannya. Finn hanya bisa bersembunyi, tidak ada yang mencurigakan ketika pria itu tersenyum lalu menjabat tangan ayahnya,—sebuah pertemuan saudara jauh atau kawan lama pikir Finn.
Terdengar suara ketukan dari pintu belakang. Entah apa yang ibu Finn lakukan, beliau terlihat berbicara dengan seseorang dibalik pintu, tidak lama ibunya meminta Finn untuk ikut dengan seseorang yang Finn tau bahwa orang dibalik pintu adalah pamannya, Erich.
Finn hafal betul perangai marah pamannya. Rasanya seperti berdiri di samping tank perang yang siap melepaskan bom. Bibinya menikah dengan Erich setelah suaminya mati di medan perang–tanpa anak satu pun. Dalam ingatan kecilnya, Erich begitu berani, meminta sang bibi untuk dinikahi. Dikenalnya Erich sebagai pemilik ladang jagung yang berada di ujung desa. Kembali pada kesadarannya, Finn menatap wajah Erich. Tidak ada yang memecah keheningan selain suara serangga dan derap langkah tentara yang mulai menjauh. Baru beberapa saat berjalan, terdengar suara tembakan dari arah rumah Finn. Tanpa pikir panjang Finn berlari meski batu-batu kerikil melukai kakinya. Kenop pintu berhasil terbuka, dilihatnya pria dengan lencana itu tersenyum ke arah Finn, lalu tembakan kedua tepat mengenai sang ayah yang akhirnya ikut limbung. Finn menangis keras, tubuhnya yang bergetar ketakutan dia gunakan sekuat tenaga untuk mendorong pria itu meski berakhir sia-sia. Pria berlencana dan dua pria lainnya keluar rumah dari rumah Finn. Raut wajah Erich tidak bisa terbaca lagi, dia berjalan keluar meminta bantuan pada warga sekitar. Saat Erich kembali dilihatnya Finn meraih pisau dapur. Namun Erich segera menghentikannya.
"Kamu ingin membunuhnya? Jika ingin membunuh, setidaknya kamu harus bertahan! Lihat badanmu bergetar begini." cecar Erich.
"Mereka ada dalam pemerintahan, kita hanya rakyat biasa. Cukup badanmu yang pendek, otakmu jangan ikut pendek." sambung Erich.
Finn tersenyum setelah tersadar dari lamunnya. Tepat tahun ini dirinya genap berusia tujuh belas tahun. Keinginannya hanya mengikuti seleksi militer— tidak mengharapkan ucapan maupun sepiring daging domba asap. Finn tumbuh menjadi pria tampan, sepasang mata biru dengan sorot tajam serta tahi lalat kecil pada hidungnya mengalihkan perhatian lawan bicaranya. Dibalik semua itu, Finn menyimpan ketakutannya di balik topeng tak kasat mata yang dia kenakan.
Finn berada pada tingkat sekolah menengah atas yang tidak jauh dari rumahnya. Fin merasa dirinya kecil, temannya berasal dari kalangan borjuis. Jauh berbeda dengan Finn, yang yatim piatu dan bernasib malang. Finn sering kali mengalami perundungan, dari sebutan anak pungut, anak miskin hingga pecundang. Finn sering diam-diam menangis saat dirinya pulang sekolah. Berdalih ingin ke ladang untuk mengusir hama, tapi pada kenyataannya dia menangis. Setibanya di rumah, Finn akan memeluk Merly berkata bahwa dia merindukan ibunya. Merly dengan senang hati memberikan pelukan untuk Finn.
Sore ini kelas di bubarkan lebih awal, Finn bergegas meninggalkan tempat duduknya. Masih dengan tas kulit usang milik Erich, sepatu koyak dimakan usia, flat cap brown menghias rambut blonde miliknya yang kini mulai memanjang. Segalanya seperti sebuah monokrom yang melelahkan bagi Fin. Sesaat berjalan, Finn melihat sebuah kertas yang tidak sengaja dia injak. Sebuah selebaran bertuliskan "Rekrutmen Pasukan Khusus", lekuk senyum jelas terlukis di wajahnya. Dengan penuh keyakinan Finn menyimpan selebaran itu di dalam tasnya. Langkah kakinya kian pasti, angan-angan kini tepat di depan mata, meski sebagian dari hatinya masih terisi keraguan apakah Erich akan mengijinkannya atau tidak. Belum lama Finn berjalan dia dihadang lagi oleh segerombolan orang-orang yang suka merundungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Engel
General FictionFinn, anak laki-laki yang mengalami ketakutan besar akan kematian dan mengalami perundungan, memutuskan untuk bergabung dengan pasukan khusus militer yang di bentuk oleh negaranya. Hidup yang keras membuatnya dipenuhi dendam, akankah tujuannya sama...