Pernahkah kamu merasa dirimu ini sendirian? Terasa kosong dan sepi.
Berdiam di keheningan seorang diri, dengan banyaknya pikiran yang tengah bergelut.Apa dosaku? Apa kurangku? Apa salahku? Karma apa yang sedang aku terima dari masa lulu? Seakan Tuhan begitu kejam menghukumku.
Sebelum lebih jauh, biar aku kenalkan dulu siapa diriku. Namaku adalah Amara malorry. Aku bukanlah gadis cantik seperti pada umumnya. Kulitku sawo matang khas orang Indonesia. Rambutku panjang, hitam bergelombang. Tubuhku pendek dan berisi. Kelebihan dari diriku adalah memiliki anggota tubuh yang lengkap dan tanpa cacat sedikitpun.
Hobiku adalah bediam diri di dalam kamar sembari merenung, menatap langit di balik jendela.
Meski begitu, bukan berarti aku tak mempunyai seorang teman. Jika bisa dikata, aku mempunyai banyak seorang teman yang berada disekelilingku. Tapi, apakah mereka bisa disebut dengan kata teman? Jika di depan mereka berkata baik, tapi jika di belakang mereka seakan berlomba-lomba mengatakan keburukan.
Aku tau, tapi aku selalu diam. Berusaha seolah tidak mendengar apa pun juga. Aku berusaha keras agar tidak melakukan tindakan yang menyakiti mereka. Berusaha menghibur mereka dengan kekonyolanku. Munafik. Mungkin satu kata itu terdengar cocok dengan diriku.
Aku seakan tengah bersandiwara dan membohongi dunia. Menunjukan wajah kepura-puraanku agar aku tak lagi merasa sendirian.
"Mara!" panggil seseorang berhasil mengejutkanku.
"Ngelamun aja, kesambet baru tau rasa," lanjutnya yang ku balas dengan senyuman manisku. Dia tidak tau saja, bahwa aku sering melamun seperti ini di balik jendela kamarku, bedanya ini aku melamun di dalam kelas sembari menatap keluar jendela yang memperlihatkan keramaiannya.
"Gapapa kalau kesambetnya setan ganteng," kataku sembari terkekeh kecil. Dia membalas perkataanku dengan mendorong pelan dahiku dengan telunjuk kanannya.
"Yee, meskipun ganteng yang namanya setan tetaplah setan."
"Ya siapa tau kan ada setan berwujud manusia," ucapku sembari melirik sekilas padanya.
"Kalo itu mah banyak," ucapnya sembari tertawa lebar.
"Wkwkkwk, malah lebih sereman manusia ketimbang setannya," ucapku menimpali dengan tawa.
"Dari pada lo bengong di sini, mending ikut gue," ajaknya. "Kemana?"
"Lihat cowok-cowok main futsal," katanya dengan tersenyum lebar. Aku memutar bola mata malas. "Males, ah," kataku sembari mengibaskan tangan.
"Udah ayoo ikut." Dengan sedikit paksaan dan tarikan pada tanganku, aku pun akhirnya mengikuti langkah kaki Gween Lowena, salah satu seorang teman terdekatku.
"Pelan-pelan," tegurku yang dibalas kekehan Gween.
"Teman-teman yang lain udah pada kumpul di sana." Tunjuknya ke arah lapangan di bawah pohon rindang. Benar, mereka semua tengah duduk berteduh di bawah pohon. "Masa kelas kita mau tanding lo gak mau dukung sih, biasanya lo kan yang paling semangat."
"Lama banget," gerutu Charlotte Aquila.
"Sabar dong, belum mulai kan," kata Gween.
"Udah duduk sini," kata Shankara menengahi. Aku melirik sekilas ke arah Shankara. Lelaki itu terlihat tenang dan berwibawa. Jiwa kepemimpinannya terlihat begitu melekat dalam dirinya. Tidak salah jika dirinya dijadikan sebagai ketua kelas.
"Wooooohhoooo," teriakan memekikan telinga itu menyadarkanku dari lamunan. Kualihkan pandanganku ke arah lapangan. Kulihat para laki-laki di kelasku tengah bersiap-siap memulai pertandingan.
"Tumben diem?" Kualihkan pandanganku ke arah samping kananku. Keningku sedikit mengernyit, ku tatap matanya. "Ngomong sama gue?" Tunjukku ke arah diriku sendiri. Kulihat dia memutar bola mata malas. "Bukan, gue lagi ngomong sama daun yang bergoyang." Aku terkekeh kecil melihat kekesalan di wajahnya. "Maaf, maaf, gue kan gatau kalau lo ngajak ngomong gue."
"Its oke, gue sudah terbiasa gak dianggap kok," katanya dengan raut wajah di buat sesedih mungkin sembari mengibaskan tangannya.
"Muka lo gak cocok belagak sedih gitu!" Shanka terkekeh kecil mendengar gerutuanku.
"Dan lo gak cocok dengan kediaman lo kayak gini," balas Shanka membuat kita berdua terkekeh bersama.
"Kalau lo ada masalah, lo boleh cerita ke gue, jangan lo pendem sendiri. Karena masalah itu bukan sebuah harta karun yang perlu di pendam."
"Lo tenang aja, gue orangnya baik hati dan suka berbagi, termasuk berbagi masalah gue sama lo, biar nanti lo juga ngerasain masalah karena gue."
"Sialan!" Aku hanya tertawa mendengarnya mengumpat.
"Goolllll!!!" teriakan kebahagiaan itu menginterupsi percakapan kami. Aku ikutan berdiri dan berteriak kencang saat kelas kami unggul satu gol.
"Golllll!! Ayoo semangattt Abang-abangku!" Aku berteriak sembari bertepuk tangan.
"Ini baru Mara yang gue kenal." Bisikan ditelingaku itu membuatku menoleh ke arah samping. Shankara, pemuda tampan itu tersenyum damai ke arahku sembari menepuk puncak kepalaku.
Aku tertegun sejenak, tak lama kemudian senyum manis di bibirku ikut mengembang mengikuti senyumannya.
Pertandingan telah usai dengan kemenangan kelasku.
"Karena kalian telah memenangkan pertandingan antar kelas ini, gue bakal teraktir kalian makan," kata Shanka yang disambut heboh yang lainnya. Senyum manis kebahagiaan tercetak jelas di wajahnya. Aku ikut tersenyum melihatnya. Shankara, lelaki itu memang berbeda dari yang lainnya.
"Makan gratis, makan gratis, yeeeee!!" Kedatangan kami menghebohkan seisi kantin. Shankara, lelaki itu begitu baik dan perhatian kepada kami. Dia memang pantas dijadikan sebagai seorang ketua.
"Kita samain aja ya makannya, biar gk bingung."
"Yakali gratisan masih pilih-pilih," kataku.
"Bu kantin, bakso sama es tehnya ya bu buat kita," ujarnya. "Siap!" Bu kantin menyambut antusias pesanan kami.
Mungkin, di sekolah ini aku bisa merasakan kebahagiaan dan kebebasan. Meski itu hanya sebuah topeng kepura-puraan tapi hatiku rasanya menghangat melihat kebersamaan ini.
Canda gurau, tawa terdengar menggema di kantin ini akan menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa aku lupakan.
"Gue balik dulu yaa Ra," pamit Gween.
"Hati-hati."
"Gue juga udah dijemput, balik dulu ya Ra," timpal Charlotte. Aku mengangguk sembari melambaikan tangan.
Perlahan teman-temanku mulai kembali ke rumahnya. Kebisingan yang tadinya terdengar memekikkan telinga kini terasa hampa. Senyum yang sedari tadi terpatri di wajahku, kini telah lenyap, hilang entah kemana. Topeng yang sedari tadi aku perlihatkan kini perlahan telah terbuka.
Tidak ada lagi senyum, tidak ada lagi canda tawa, tidak ada lagi suara. Semua sepi dan hampa. Kesendirian ini kembali memeluk diriku. Kulangkahkan kaki untuk kembali pulang. 'Pulang?' seakan kata itu sedang menertawakan dan mengejekku. Karena arti pulang sesungguhnya adalah tempat ternyaman yang dibuat singgah. Namun, apakah rumahku bisa dikatakan sebuah rumah? Sedang aku tak merasa bahagia dan nyaman berasa di sana.
***BERSAMBUNG***
AKU LAGI POSTING BEBERAPA CERITAKU YANG ADA DI DRAFF 🤭 MESKI GATAU APA BAKALAN AKU LANJUT ATAU ENGGAK YANG PENTING AKU POST AJA DARI PADA JADI DEBU YANG TAK TERBACA.