Mas Tristan, tentang Falisha

554 87 68
                                    


"Anjir ini cewek tipe gue banget nih ..."

Adalah kalimat pertama yang muncul di kepala gue saat melihat Falisha Dinara. Wajah Falisha memancarkan aura misterius yang kentara, juga kelucuan seperti anak kecil ketika dia nggak sengaja cemberut atau bingung.

Ketika siang itu dia berdiri lalu mengikuti gue menuju tempat dia bakal bekerja, gue nggak bisa menahan diri untuk melirik Falisha tiap lima detik sekali. Meskipun dia kayaknya lebih sibuk mengukur awan karena pandangannya melamun dan mengawang ke angkasa.

Nggak butuh waktu lama sampai gue makin mengagumi dia. Bukan melulu soal fisik yang memang memikat hati—Falisha lebih dari itu. Falisha cekatan, bisa diandalkan, dan nggak pernah menjadi orang lain ketika berada di dekat gue.

Bukannya geer, tapi gue tahu kalau gue punya wajah di atas rata-rata dan banyak cewek naksir gue. Untuk menarik perhatian, mereka biasanya melakukan hal-hal yang absurd. Mulai dari pura-pura jatuh, pura-pura pingsan, sampai sengaja parkir mobil di sebelah mobil gue biar ketemu tiap pulang.

Actually, I don't mind at all. Selama mereka nggak berlebihan dan mengganggu gue, ya gue nggak pernah mempermasalahkan.

Tapi Falisha berbeda.

Gue sering mergokin dia curi-curi pandang ke gue. Sering pula melihat dia tersenyum sambil menonton gue bekerja—dan itu bisa gue lihat dari ekor mata gue. Tapi Falisha nggak pernah benar-benar berusaha untuk menarik perhatian gue.

Mungkin awalnya gue tertantang. Mungkin awalnya ego gue bertanya-tanya—kenapa di saat gadis-gadis lain berebut perhatian gue, Falisha justru biasa aja?

Tapi semakin gue menyelami pikiran dia, semakin gue jatuh ke dalamnya.

Dia nggak pernah menjadi orang lain ketika berada di dekat gue—dan hal itulah yang bikin gue nyaman deket dia. Falisha bisa jadi teman cerita dan pendengar yang baik, bisa jadi teman yang suportif, tapi dia juga sangat blak-blakan mengatakan hal yang dia nggak suka. Falisha bisa sangat jengkel ketika penyakit pelupa gue mulai kumat—dan dia nggak mau repot-repot menyembunyikan itu.

Dia nggak suka, ya bilang nggak suka. Dia suka, ya bilang suka. She never tried to sugarcoat things. And we're both on the same boat about this one.

Ketika orang lain bilang, "Nggak apa-apa, namanya manusia pasti ada lupa," Falisha berbeda 180 derajat. Dia bakal langsung memarahi gue ketika penyakit gue yang satu itu kumat.

"Lupa terus perasaan, periksa ke dokter sana, Mas!"

"Apa sih yang Mas Tristan nggak lupa? Semuanya aja lupa!"

"Ah, mboh lah, Mas! Masa kayak gini aja harus diingetin terus?!"

Tapi Falisha nggak hanya bisa berkata-kata atau memarahi gue. Dia benar-benar jadi tameng gue—mencegah agar nggak banyak hal yang gue lupakan. Dari hal-hal kecil seperti jam meeting dengan Bu Dian sampai hal-hal yang gue nggak kepikiran sama sekali—menyiapkan satu atau dua stel pakaian formal untuk gue simpan di kantor in case ada acara formal dadakan.

Awalnya karena gue nitip laundry di dekat rumahnya dia, lalu saat dia menyerahkannya, Falisha mengambil dua buah baju batik lengan panjang lengkap dengan dua celana span.

"Ini saya ambil—saya simpan di sini," kata Falisha sambil membuka lemari gue yang salah satu sisinya masih kosong. "Jadi Mas Tristan kalau ada acara dadakan nggak repot bolak-balik rumah. Tinggal bawa sepatunya aja, ya? Besok saya ingetin."

Gue hanya bisa melongo. Dan detik itu juga, gue berjanji pada diri sendiri, "Fix cewek ini harus jadi bini gue."

Sejak saat itu, gue jadi terbiasa meminta tolong Falisha dalam hal sekecil apapun. Awalnya gue merasa plin-plan karena kayak nggak bisa ambil keputusan tanpa tanya Falisha. Tapi yang bikin gue takjub, Falisha bisa membalikkan hal itu dan bikin gue lebih pede sama keputusan sendiri.

Teman Kondangan (AN ONE SHOT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang