Pertama kali gue bertemu Mas Tristan adalah ketika gue diperkenalkan sebagai editor baru di sebuah media massa online besar di Indonesia. Sebelumnya, gue bekerja di sebuah media massa lokal di Jogjakarta.
Gue sama sekali nggak pernah meninggalkan Jogja sejak lulus S1—ya karena, gue nyaman sama kota itu. Sampai akhirnya, keadaan memaksa gue untuk kembali ke Jakarta.
Mama meninggal karena kecelakaan, dan dengan begitu, Papa berada di Jakarta sendirian. Gue memang punya satu kakak laki-laki, tapi Mas Erwin kerja di sebuah perusahaan tambang daerah Papua dan sangat jarang kembali ke Jakarta.
Awalnya, Papa terbiasa hidup sendiri tanpa Mama dan anak-anaknya. Gue pun tiap hari memastikan keadaan beliau. Sampai akhirnya, tiba-tiba Papa getol mengirimkan link lamaran sebuah media massa besar yang kantornya berada di sekitaran rumah gue.
Gue awalnya nggak begitu menggubris, karena gue begitu menikmati bekerja di sini meskipun gaji gue nggak sebesar kalau gue bekerja di Jakarta. Tapi lama-lama gue ngeh.
Papa ternyata kesepian, tapi nggak mau bilang kalau beliau kesepian.
Maka ketika suatu sore sehabis pulang kerja gue telepon Papa—memberanikan diri bertanya, "Papa pengen Icha kerja di Jakarta aja?"
Papa diam lama. Cukup lama dan gue sabar menunggunya. Sampai akhirnya, satu helaan napas panjang keluar dan Papa menjawab, "Ya ..."
Perasaan gue campur aduk. Gue hanya bisa menangis setelah menelepon Papa. Di satu sisi, gue merasa sedih karena harus meninggalkan Jogja dan segala kenangannya. Juga teman-teman baik gue di sini. Di sisi lain, gue merasa nggak berguna sebagai anak karena gagal menyadari kalau Papa kesepian sejak lama.
Singkat cerita, gue resign dan melamar kerja di kantor dekat rumah gue. Papa senang bukan main—dan melihat itu, gue sedikit lega. Paling nggak, Papa nggak akan kesepian lagi. Dan ini adalah satu dari sekian banyak cara gue untuk membahagiakan sosok lelaki yang dari dulu memperjuangkan keluarganya.
Lalu setelah diterima sebagai editor untuk divisi travel, gue menjalani pelatihan selama dua minggu bersama dengan calon editor lain. Jujur aja, gue nggak belajar banyak karena udah paham dunia newsroom itu seperti apa. Gue hanya belajar soal content management system yang memang jauh berbeda dari tempat kerja gue dulu.
Setelah selesai pelatihan, para calon editor diperkenalkan dengan manajer-manajer mereka. Beberapa ditempatkan di divisi hardnews, sisanya di divisi selebriti dan lifestyle, dan hanya gue yang ditempatkan di divisi travel.
Emma mencengkeram tangan gue erat saat tiga manajer dari divisi-divisi itu masuk ke ruangan. Gue yang sedang sibuk membaca salinan kontrak sontak mendongak—dan langsung paham kenapa cewek di sebelah gue ini heboh sendiri.
Dari ketiga manajer itu, ada satu yang jelas-jelas usianya masih sangat muda. Dibanding dua manajer lain yang paling nggak sudah berusia di atas lima puluhan, satu manajer itu sepertinya masih berusia di akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan.
Wajahnya ganteng banget kayak orang blasteran setengah surga—tatapannya tajam tapi wajahnya adem dan menenteramkan kayak ubin masjid. Saat manajer itu menyibak rambutnya ke belakang, gue bisa merasakan cewek-cewek lain kompak menahan napas.
"Semoga dia manajer divisi selebriti," gumam Emma. "Tapi kayaknya nggak mungkin deh ..."
Manajer ganteng itu dapat kesempatan pertama untuk mengenalkan diri.
"Hallo, nama saya Tristan Iswara—biasa dipanggil Tristan," katanya sambil tersenyum—dan gue merasakan guepun ikut tersenyum bodoh. "Dan saya manajer divisi ..." Dia sengaja memperlambat temponya. "... travel."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Kondangan (AN ONE SHOT)
General Fiction"Fal, kerjaan yang kemarin udah belum ya?" "Fal, temenin saya lunch sama pimred hari ini mau?" "Fal, cara hilangin noda di baju putih gimana ya?" "Fal, kondangan Shinta besok saya sama kamu ya?" "Fal, bagusan baju batik yang ini atau ini?" "Fal ..."...