9 ETERNITY • 15

141 55 0
                                    

Hazel menyandarkan tubuhnya di kursi, jam sudah menunjukkan pukul 15:45 dini hari.

"Masih ada minum, kah?" tanya Hazel dengan nada lemah, wajahnya sedikit pucat.

"Nih," Dewa memberikan botol minum itu kepada Hazel. Tanpa ragu, gadis itu langsung meneguknya dengan cepat, tidak menyadari bahwa itu adalah bekas bibir Dewa. Dewa hanya melihatnya dengan ekspresi tak bersalah, sedikit tersenyum melihat keasyikan Hazel.

Setelah meneguk, Hazel memejamkan matanya, berusaha mengatur napasnya perlahan. Padahal, ia hanya berjalan ringan, tetapi rasanya seperti baru saja menyelesaikan maraton dari Sabang sampai Merauke.

"Lo kenapa?" tanya Dewa, sedikit khawatir melihat gadis itu yang tampak kesulitan bernapas.

"Mau ke rumah sakit?" tawar Dewa.

Hazel menggeleng lemah, "Nggak, cuman lelah sedikit," jawabnya sambil mengangkat tangan, menunjukkan dengan jarinya bahwa rasa lelahnya hanya sedikit.

"Kalo ke plaminan, pasti mau?" goda Dewa sambil mengedipkan sebelah matanya, senyum nakal menghiasi wajahnya.

Hazel terkekeh kecil, perlahan membuka matanya dan menoleh ke arah Dewa. "Emang kak Dewa mau nikahin aku?" sindir Hazel, nada suaranya penuh canda.

"Siapa juga yang mau nikah sama orang yang penyakitan? Jelas nggak mau lah," balas Dewa, tanpa memikirkan kembali ucapannya itu.

"Dih, tapi bagus sih," desis Hazel, tak sedikit pun tersinggung oleh kata-kata Dewa.

Dewa menatapnya serius, "Beneran nggak mau ke rumah sakit?"

"Nggak usah, tadi telat minum obat doang," jawab Hazel jujur, dengan senyuman yang tak pernah pudar dari wajahnya.

"Yaudah, kalo gitu kita pulang ya. Udah mau sore juga," ajak Dewa, yang tampak kewalahan karena Hazel sedari tadi merengek tidak ingin pulang. Ia sangat menyukai suasana di kebun binatang ini, bahkan ingin mengganti wishlistnya untuk menginap sehari di taman safari ini. Melihat Hazel yang begitu excited, Dewa hanya bisa menurut saja.

Dewa menggelengkan kepala melihat kesungguhan Hazel. "Gue masih pengen disini, liat Tejo dan teman-temannya." .

Dewa menghela napas, berusaha menahan tawanya. "Lo nggak liat muka lo udah kayak mayat hidup?" omelnya blak-blakan, meski sebenarnya ia merasa senang melihat Hazel begitu bersemangat.

"Cieh, perhatian!" goda Hazel, matanya berbinar penuh canda.

"Perhatian apaan. Yang ada gue ngehina lo, bego!" Dewa dengan gampangnya menoyor kepala Hazel dengan jari telunjuknya, tapi di dalam hatinya, ia tahu betapa berartinya momen ini.

Namun, di balik momen manis antara kedua sejoli ini, ada sosok yang memperhatikan mereka dari jauh. Cowok dengan model rambut punk itu melangkah keluar dari balik pohon, menampakkan dirinya dengan tatapan tajam tepat di hadapan Hazel dan Dewa yang sedang beristirahat. "Pinter ya lo, morotin anak orang lugu kayak dia," ucapnya dengan nada sinis, suaranya penuh ejekan.

Dewa mengerngit, siapa orang yang ada di depannya ini? Dewa sedikit familiar dengan wajah dan gerak-geriknya. Sedangkan Hazel terdiam, tidak bisa berkata apa-apa, ia juga merasakan lelah yang amat berat.

"Kenapa? Kaget lu." ucap orang itu kepada Hazel.

Dewa yang melihat tidak diam saja. Cowok itu langsung menoleh dengan wajah serius. "Maksud lo apa?" tanyanya, suaranya tegas dan penuh perlindungan. Dia berusaha melindungi Hazel dari kata-kata tajam yang bisa melukai perasaannya bahkan yang ia takutnya orang asing ini malah melakukan hal nekat yang tidak bisa Dewa bayangkan.

Hazel, yang awalnya bingung dan tidak mengerti situasi yang terjadi, merasa keberanian mengalir dalam dirinya

"Siapa yang morotin? Kak Dewa sendiri kok yang mau," ucapnya, meski suaranya bergetar, ada kepercayaan diri yang baru ditemukan dalam kata-katanya.

Cowok itu hanya tersenyum sinis, merasa bangga dengan apa yang Hazel lontarkan. "Oh, jadi lo pikir bisa main-main dengan orang lain tanpa konsekuensi?" ujarnya, menantang.

Dewa semakin merasa marah, berusaha menjaga ketenangan. "Lo nggak tahu apa-apa tentang dia."

"Iya, karena dia bodoh," celetuknya, wajahnya merah padam.

"Oi," Dewa langsung menyentak, emosinya mulai terbakar.

"Gue tanya, emang lo siapa gue, hah?" jawabnya dengan nada menantang, seolah ingin menegaskan posisinya.

Ketegangan semakin memuncak, dan suasana di sekitar mereka terasa berat. Dewa mengambil napas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya. "Kalo lo masih pengen tempat tinggal, pergi sekarang, gue tau kok lo siapa," perintah Dewa.

"Penghianat!" Maki Dewa.

Mendengar itu, cowok itu hanya tertawa kecil, tetapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Hazel merasa tidak nyaman. "Kita lihat saja nanti," ujarnya sebelum pergi.

"I-itu temennya kamu?" tanya Hazel, sedikit terkejut dengan situasi yang baru saja terjadi. Dia masih merasakan getaran dari teriakan Dewa yang menggema di telinganya.

"Bukan siapa-siapa gue," jawab Dewa, berusaha menenangkan diri meski emosi masih mengalir deras di dalam dirinya.

"Kak, makasih ya buat hari ini. Dan maaf," ucap Hazel, menundukkan kepalanya dengan rasa bersalah. Dia merasa.... Tidak pantas mendapat hal ini, ia takut membuat Dewa jadi di lingkupi dengan masalah, hanya karena dirinya

"Maaf kenapa?"

"Maaf, karena ak-"

Tiba-tiba, suara dering ponsel Dewa memecah keheningan. Dewa langsung mengangkat ponselnya, seakan mengabaikan ucapan Hazel. Dengan cepat, dia melihat layar ponselnya dan berlari menjauh, mengangkat telepon itu.

Hazel berdiri di tempatnya, memperhatikan Dewa dari kejauhan. Dia tidak bisa menahan rasa ingin tahunya tentang siapa yang menelepon Dewa dan apa yang sedang dibicarakan. Dari ekspresi wajah Dewa, Hazel bisa merasakan amarah. Raut wajahnya tampak tegang, seolah ada sesuatu yang sangat mengganggu pikirannya.

Hazel merasakan ketegangan di antara mereka, dan dia mulai merenungkan perasaannya. Dia ingin Dewa tahu bahwa dia ada untuknya, bahwa dia peduli. Namun, di saat yang sama, dia juga merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Semua ini membuatnya merasa terjebak dalam situasi yang rumit, di mana pertemanan dan emosi saling bertabrakan.

Hazel hanya bisa menghela napas berat, merasakan beban yang menekan kepalanya. Hidungnya terasa tersumbat, dan dia sudah hapal betul dengan tanda-tanda tubuhnya yang tidak bersahabat ini. Saat dia mengusap hidungnya, darah segar mengalir, menetes ke telapak tangannya.

Beberapa saat kemudian, Dewa kembali dan melihat keadaan gadis itu.

"Zel?"

"Nggak ap-"

Ucap Hazel berusaha menjawab, suaranya terbata-bata. Badannya terasa lemas, seolah semua tenaga telah dihisap keluar. Namun, tanpa ragu, Dewa langsung mengangkat tubuh Hazel.

"Sabar ya, kita cepat sampai," Dewa berjanji, berusaha menenangkan Hazel yang tampak semakin pucat. Dia berlari menuju parkiran, langkahnya cepat namun hati-hatinya, memastikan Hazel tetap nyaman dalam pelukannya.

***

9 Eternity || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang