Dua Kehidupan Berbeda

59 19 7
                                    





Jihoon menegak bir sekali lagi.
Dari satu botol bir lain yang baru saja dia buka sendiri. Tidak peduli dengan botol bir lainnya ada di mana-mana. Jihoon hanya peduli menegak, menegak, menegak, dan menegak lagi bir-bir itu sampai dirinya benar-benar hilang kesadaran. Jihoon hanya perlu hilang kesadaran malam ini, Jihoon ingin tidur lelap malam ini. Jihoon mohon.



Tetapi hanya dikata, meski matanya sudah sayu, atau wajah sudah memerah, dengan keseimbangan tubuh yang sedikit melayang jauh, juga sakit dikepala yang sudah mendatangi sejak tadi. Tapi, anehnya Jihoon masih tersadar. Benar-benar tersadar.

Bahkan Jihoon tahu betul kalau Hyunsuk menelponnya berulang kali. Entah bagaimana, tetapi ponselnya selalu berdering dan selalu tertera nama Hyunsuk disana. Yakin sekali, Hyunsuk --- kakaknya itu pasti amat sangat kesal hati padanya. Jihoon sudah pergi dua hari ini. Tanpa mendatangi siapapun juga tanpa memberi kabar apapun.

Jihoon pergi. Mengasingkan diri di rumah flat kecil di pinggiran kota Seoul. Rumah flat kecil pertama yang ditinggalinya selama lima tahun penuh. Satu-satunya Tempat tinggal disaat Jihoon butuh mengasingkan diri. Menenangkan diri dari berbagai hal. Saksi biru dimana Jihoon berjuang melawan depresinya.

Meski sekarang jiwa raga dan otaknya sudah tenang dalam arti hebat bahwa Jihoon menang. Tetapi, Jihoon juga selalu bisa merasakan dejavu. Rasa dimana Jihoon pernah melintasi rasa yang tak sembarang orang bisa memahami orang-orang depresi sepertinya. Dulu dan kini.

Sekarang, Jihoon tidak kembali menyelami masa kelamnya --- depresi yang dulu diderita. Tidak, Jihoon sudah berdamai. Ada rasa baru yang memukulnya. Tidak bisa dijelaskan tetapi membuatnya ---- sakit(?).

Dengan tubuh yang menyeluruh kelantai dan tubuh yang sepenuhnya menumpu pada dinding tua putih tulang. Jihoon Menegak bir kembali. Kali ini rakus, mengecap semua rasa yang ada. Memejamkan mata yang tanpa disadari sudah basah air mata.

Jihoon sedih. Hatinya sakit.

Membiarkan suara-suara liar di otaknya satu kali lagi. Perkataan tajam tetapi berjuta makna. Kata yang sama sekali tidak ia sukai. Sangat tidak suka. Memukul kepala, berharap suara-suara itu mampu terpental keluar dari dalam.


Kenapa terus saja menghalangiku?


Tidak kau tau bahwa, kau bertindak seperti ingin membunuhku?

Aku sudah sekarat. Dan kau tahu itu, bukan?

Lalu, apa yang salah?

Tentang seorang wanita yang sangat dihargai nya setelah ibu. Satu-satunya wanita yang mau merangkulnya. Meski terkadang mengesalkan, tapi Jihoon sangat mencintainya, namun hanya dalam diam. Jihoon begitu pengecut.

Pula yang harus dibenarkan mengenai dirinya. Tidak juga harus disalahkan.


Tidak membantu? Seolah membiarkan. Tidak, Jihoon tidak bermaksud makin menyulitkan. Jihoon hanya terjebak ketakutan. Takut bersuara. Takut disalahkan atas kesalahan yang tidak dibuatnya.

Lalu, jika Jihoon dihina sedemikian rupa tentang hal itu. Tidak apa, Jihoon memang seperti itu. Ditengah sesalnya yang dalam.


"Maaf".

Tentu, laki-laki itu menangis di tengah diri terus menegak minuman beralkohol yang sudah empat jam dikonsumsi nya. Jika ada seseorang di sampingnya, dipastikan Jihoon akan di katakan Kau mau mati!


Jihoon bukanlah penjahat, ia juga memikirkan segala hal. Tentang dampak yang mungkin saja terjadi. Ya, tidak bebas. Tetapi, bukan seperti menyerah dalam batin. Jihoon masih ingin, tetapi ia masih belum bisa. Entah sampai kapan, tetapi Jihoon akan menyimpannya dengan baik. Jihoon juga ingin membantu. Tetapi tidak sekarang.

TIMESHEETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang