Delapan

619 34 1
                                    

Jeonghan dan Sseungcheol tiba di depan rumah berlantai dua dengan cat luar didominasi warna abu-abu dan putih. Undakan depan diberi cat berwarna putih, senada dengan dinding dan juga pintu depannya. Di sekeliling undakan terdapat tanaman hias bunga forget-me-not berwarna biru cerah.

Seungcheol melangkah lebih dulu, Jeonghan mengikuti di belakangnya. Jeonghan bisa melihat dengan jelas pohon apel yang sudah berbuah di sebelah rumah. "Apa kau menanam semua pepohonan ini seorang diri?"

Seungcheol berhenti melangkah di undakan terakhir. Dia berbalik dan tersenyum. "Ya... Ibuku senang berkebun, dan dia memaksaku untuk menanam banyak sekali pohon di rumah ini... Kau akan terkejut melihat berapa banyak pohon yang ada di rumah orangtuaku.."

Seungcheol membuka pintu depan dan keduanya melangkah masuk ke dalam. Kesan pertama yang muncul dalam benak Jeonghan ; rumah milik Seungcheol terlalu terang. Pria itu mendekorasi rumah pribadinya dengan seminimal mungkin hiasan dan barang, dan semua perabotan serta dindingnya berwarna senada dengan bagian luar.

Seungcheol berjalan agak tergesa untuk menyibak tirai yang ada di depan mereka. Jeonghan bisa melihat dengan jelas taman kecil yang ada di bagian belakang rumah, dengan pohon besar yang sangat rimbun. Bintang-bintang di langit menatap mereka balik dalam kesunyian.

"Aku ingin membersihkan diri dulu. Bagaimana menurutmu?" Seungcheol sedang membuka kancing lengan kemejanya, berdiri pada tumitnya dan memandang Jeonghan.

"Tentu... Aku akan menunggu..."

Jeonghan duduk di kursi santai yang menghadap ke jendela berbingkai. Dari jendela yang terbuka ia bisa melihat beberapa tanaman hias lainnya yang tumbuh subur di pekarangan belakang rumah. Dalam hati ia bertanya-tanya sendiri bagaimana Seungcheol merawat kebunnya sementara pria itu menghabiskan hampir seluruh waktunya di kantor.

Kepalanya menoleh ke berbagai penjuru rumah, menatap ingin tahu setiap benda yang ada dalam ruangan minimalis namun nyaman tersebut. Bersandar pada dinding di dekat pintu masuk terdapat sepeda berukuran sedang yang Jeonghen yakin sering digunakan Seungcheol untuk berjalan-jalan jika pria itu sedang libur bertugas. TV layar datar dengan ukuran yang cukup besar diletakkan diatas nakas kayu berwarna cokelat gelap, dan di bagian bawah nakas tersebut terdapat pemutar CD model yang sudah ketinggalan zaman. Di sebelahnya berdiri rak yang diisi Seungcheol dengan beberapa gelas kaca berukuran kecil seperti gelas untuk meminum sampanye, botol-botol parfum yang isinya tinggal setengah, dan juga tumpukan buku yang tersusun rapih. Di dinding dekat pintu masuk juga terdapat figura berukuran sedang dengan banyak paku di sekelilingnya dan Seungcheol menggunakan figura tersebut untuk menggantung berbagai lencana serta penghargaan yang pernah dia dapatkan.

Tidak ada foto keluarga dalam ruang tamu pria itu. Yang ada hanya sebuah lukisan rumit tempo dulu, berukuran sangat besar, yang digantung di dekat bar mini.

Seungcheol kembali ke ruangan dengan hanya mengenakan celana pendek. Rambutnya masih meneteskan air dan dia sedang menggosok kepalanya dengan handuk berwarna putih bersih. Jeonghan mendongak, tersenyum lebar.

"Rumahmu luar biasa... begitu putih dan terang..."

Seungcheol tertawa. Dia meletakkan handuk di jemuran kecil yang diletakkan di dekat pintu masuk, mengambil minuman dari bar mini dan duduk di sebelah Jeonghan. Dia menyerahkan minuman segar untuk wanita itu.

"Terima kasih," Jeonghan menyesap minumannya sekilas, meletakkan gelas kecilnya di meja samping kursi berlengan. Tangannya menepuk-nepuk kedua pahanya dengan canggung. Seungcheol masih menyesap minumannya selama beberapa saat, kemudian melakukan seperti yang Jeonghan lakukan, meletakkan gelasnya diatas meja di sebelah Jeonghan.

"Aku bertanya-tanya, apa kau sendiri yang mendekorasi rumah ini?" Jeonghan menunjuk ke figura berisi lencana-lencana yang didapatkan Seungcheol menggunakan dagunya. Pria itu menoleh sekilas, mengangguk lalu tertawa pelan.

"Ya... hampir seperti itu. Beberapa didekorasi oleh ahlinya..."

"Ahlinya?"

"Aku membayar orang yang memang bekerja di bidangnya untuk menyusun ini semua..."

Jeonghan menganggukkan kepala sekilas. Dia baru akan membuka mulutnya lagi saat Seungcheol tiba-tiba saja seolah menerjangnya ke samping, membuatnya tertidur diatas kursi berlengan, tubuhnya di bawah kungkungan lengan Seungcheol. Jeonghan melenguh pelan.

Seungcheol melarikan bibirnya yang hangat dan manis ke bibir Jeonghan yang setengah terbuka. Aroma napasnya seperti campuran antara permen jeruk dan soda, dan Jeonghan bertanya-tanya dalam hati apa merk obat kumur dan pasta gigi yang digunakan oleh pria itu. Dia akan mencaritahu nanti.

Satu tangan Seungcheol masuk ke dalam gaun yang dikenakan Jeonghan tanpa diduga. Wanita itu mengangkat kepala, melempar kepalanya ke belakang saat jemari Seungcheol berlari pelan dan lembut di pahanya yang tidak terlindungi. Seungcheol menyingkap gaunnya semakin keatas sementara bibirnya kini menjelajah leher wanita itu.

Napas Jeonghan berubah cepat. Tangannya berlari meraih setiap anggota tubuh Seungcheol yang bisa diraihnya. Jemarinya berlari di sepanjang kepala pria itu, menarik-narik, sedikit menjambak rambut pria itu. Seungcheol melenguh diatas kulit lehernya. Jemarinya turun meraba punggung Seungcheol yang telanjang, menyusuri lekukannya membuat Seungcheol bergidik.

Dalam waktu singkat mereka sudah menanggalkan seluruh pakaian mereka. Dengan tergesa-gesa Seungcheol menyelipkan kedua lengannya dibawah tubuh polos Jeonghan, mengangkatnya, menggendongnya. Masih saling berpelukan, mereka berciuman, menabrak beberapa perabotan dalam ketergesaan mereka hingga mereka sampai di kamar tidur pria itu. Seungcheol membuka pintu kamar dengan satu kaki sementara kedua lengannya masih menggendong tubuh Jeonghan dan bibirnya masih berada di ceruk leher wanita itu.

Jeonghan membuka mata. Dia mendapati kamar tidur yang luas dengan ranjang berukuran besar di tengah ruangan, lemari pakaian besar dari kayu mengkilat di sudut ruangan, lukisan berukuran besar seorang pria yang sedang berdiri memunggungi mereka sambil memegang senapan. Penutup tempat tidurnya berwarna hitam. Secara keseluruhan kamar tidur Seungcheol tampak sangat bergaya dan sangat mewah.

Seungcheol menurunkan Jeonghan dengan hati-hati keatas ranjang. Bibirnya hanya sejengkal dari bibir Jeonghan.

Dia bergerak perlahan, naik ke atas ranjang. Kedua matanya yang hitam menatap Jeonghan dengan lapar. Jeonghan merasa dia seperti terbakar dibawah tatapannya.

Tiba-tiba kesadaran menghentaknya. Dia sudah berhenti meminum pilnya sejak beberapa waktu lalu. Dia bahkan sudah berhenti meminum pilnya sejak sebelum pernikahan Jihoon berlangsung. Dia ingin memberitahukan hal itu pada Seungcheol, tapi lidahnya terasa kelu. Dia ingin meminta Seungcheol, tapi jauh dalam lubuk hatinya dia sendiri tidak ingin berhenti. Bisakah dia atau Seungcheol berhenti? Bisa kah dia menunggu selagi Seungcheol membeli kondom di minimarket terdekat?

Jawabannya sudah jelas. Tentu saja dia tidak bisa. Dan Jeonghan sendiri ragu bahwa Seungcheol bisa menunggu. Maka dengan rasa bersalah dia berbohong, mengangguk sambil mengerang saat Seungcheol mulai menyatukan tubuh mereka. Seungcheol bergerak dengan kelembutan yang luar biasa. Gerakannya tepat dan membuat Jeonghan merasa terbang ke langit ke tujuh. Dia mengerang, memejamkan mata, mencakar setiap jengkal anggota tubuh Seungcheol yang bisa diraihnya. Dalam sekejap kekhawatiran yang tadi dia rasakan lenyap.

Mereka bercinta hingga larut malam, berkali-kali mencapai puncak. Keduanya baru benar-benar berhenti menjelang pukul satu dinihari, dan Jeonghan tertidur dalam pelukan erat Choi Seungcheol. Rambut kecokelatannya yang panjang tampak kusut dan berantakan diatas bantal pria itu, dan hangat tubuhnya terasa sangat nyata di kungkungan lengan pria itu.

LIGHT A FLAME | JEONGCHEOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang