3

114 27 0
                                    

⋆ ˚。⋆୨୧˚ 𝗞𝗧𝗛 ˚୨୧⋆。˚ ⋆

𝗦𝗼𝗿𝗲 itu seperti biasa, aku harus berjalan kaki sekitar dua ratus meter jika ingin pulang mengendarai bus langgananku. Di tanganku, tergenggam sebuah surat pemberitahuan mengenai sesuatu yang krusial. Tapi isinya sialan betul.

Aku menendang asal-asalan sebongkah kecil batu jalanan. Mengingat isi surat itu, aku jadi ingin mengumpat lagi.

Musim panas sialan. Terkutuklah teriknya ini.

Surat ini juga sialan. Berkat sepucuk kertas inilah aku meniatkan diri dengan terpaksa agar berhenti dari tempatku bekerja dan mengambil seluruh pesangonku.

Ah! Sialan betul! Kutendang lagi sebongkah batu entah kerikil.

Musim panas kali ini hanya buatku meradang saja. Terkutuklah ia. Tapi aku tahu, ketika hujan turun nanti, aku adalah orang pertama yang menyatakan cintaku pada musim panas. Ini menyedihkan. Orang macam apa aku ini?

Lagi-lagi satu kerikil entah batu trotoar yang terkelupas, kutendang hingga melontar jauh. Aku memayungi mataku dengan satu tangan, seperti orang kurang kerjaan, ingin tahu sejauh apa batu itu terlempar.

Ternyata jauh juga.

Batu itu jatuh tepat pada halte langgananku, tepat pada haribaan seorang gadis, seorang gadis yang baru-baru ini datang untuk kembali memainkan prelude-ku.

Rosé?

Tapi tunggu. Aku tahu teriknya suhu terkadang bisa melakukan semacam trik pada otak, terlebih pada pria rusak sepertiku. Maka, aku memicing-micingkan mata, mencari tahu sejauh apa hawa menyengat ini mempermainkanku. Hingga sepersekon berikutnya aku tergemap nanar.

Itu memang Park Chaeyoung. Itu benar dia. Itu Rosé-ku yang cantik. Kami bertemu lagi.

Rosé memungut batu mungil dari lipitan rok merah mudanya, lalu memandang heran ke arahku yang tengah berdiri mematung seperti pandir. Satu bus memelan sebelum akhirnya berhenti, seketika itu juga aku tersadar dan lekas berjalan laju seperti tupai yang baru saja luput dari pemangsa.

Aku memang sudah mulai lamban. Kupikir langkahku sudah cukup laju untuk menyusul bus langgananku itu. Nyatanya, belum sempat kakiku menyentuh bibir halte, babi hutan besi itu sudah kembali berjalan kencang. Terkutuklah semuanya! Babi hutan besi sialan! Kutendang lagi satu kerikil tak berdosa hingga melanting pada atap si babi hutan besi. Dia tak terusik dan terus melaju.

Aku menekur memandang sepatuku sendiri, ada banyak kekalahan kutemukan di sana. Nafasku tesengal. Kepalaku berat dan membujukku untuk berbaring saja, tapi itu jelas tidak mungkin.

"Tuan Kim?"

Aku menoleh pelan pada suara serupa langgam merdu di sampingku. Rasa pusing masih ingin mengalahkanku, karena itu ketika menatap Rosé, aku terpaksa melakukannya selagi mengurut pelipisku.

"Rosé? Am-maksudku, Nona Park?"

"Astaga, ternyata benar dirimu. Apa kau sakit? Kau terlihat sedang tidak baik-baik saja."

Aku merasa malu. Serapuh apa kira-kira sosokku di matanya? Sudahlah tak sanggup mengejar bus yang padahal masih bergerak jauh di bawah kecepatan rata-rata, sekarang malah bersikap seperti tua renta usia senja yang penyakitan.

"Tidak. Hanya sedikit pusing. Kurasa aku tidak muda lagi. Tidak bisa mengejar bus seperti dulu," jawabku, lalu aku terkekeh kaku.

"Apa kau ingin pergi ke suatu tempat?"

Aku mendesis coba menahan sakit yang tersisa. "Ya," jawabku lagi, "Pulang ke apartemenku."

Rose menatapku penuh tanda tanya. Di situlah aku menyadari sesuatu. Mata bulatnya basah, seperti baru saja dirahab oleh tangisnya sendiri.

𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐒𝐚𝐦𝐚-𝐬𝐚𝐦𝐚 𝐒𝐮𝐤𝐚 𝐇𝐮𝐣𝐚𝐧 | A Short Fanfiction (KTH × Rosé)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang