Aku tidak habis pikir dengan orang-orang yang selalu menyudutkanku karena hampir tidak berada di rumah. Bukankah ini urusanku dengan Aditya? Ini rumah tangga kami, kami yang mengaturnya. Mereka tidak punya hak untuk bicara seenaknya.
Mereka tidak tahu apa-apa. Mana tahu mereka kalau sebenarnya Aditya cuma pekerja kantoran biasa. Pangkatnya rendahan. Mana tahu mereka kalau sebenarnya aku-lah yang menopang sebagian besar kebutuhan rumah tangga dengan gajiku. Biaya listrik, gas, air, semua dibayar dengan gajiku. Maka bukan salahku, kan, kalau aku bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku?
"Kenapa baru pulang? Ini sudah lewat tengah malam." Teguran Aditya merupakan hal pertama yang aku dengar begitu memasuki rumah.
"Aku capek, mau mandi dulu." Balasku acuh sambil melepas sepatuku.
"Kau pergi bahkan sebelum matahari terbit, dan baru pulang setelah lewat tengah malam.
Sesibuk apa, sih, pekerjaanmu itu?"
Mendengar seruan Aditya yang penuh kejengkelan itu membuatku ikut naik pitam. Pembahasan ini selalu saja memantik pertengkaran.
"Apa kau tidak lelah, Dit? Kita sudah membahas ini berkali-kali. Dan jawabanku akan tetap sama. Aku bekerja sampai selarut ini juga demi kau, demi rumah tangga kita. Tidak perlu lah kau perpanjang masalah ini."
Di hari-hari berikutnya, Aditya tidak pernah mengungkit masalah itu lagi. Aku pun tidak mau peduli. Semua berjalan seperti biasa. Aditya dengan pekerjaannya, aku dengan pekerjaanku. Makin hari aku semakin sibuk. Dua bulan lalu, aku baru saja dipromosikan untuk naik jabatan. Pekerjaanku semakin menumpuk. Istirahat 15 menit pun sangat berharga rasanya. Aku semakin jarang berjumpa dengan Aditya. Aku pergi ketika dia masih tidur, dan pulang ketika dia sudah tertidur pula.
Makin hari juga semakin terasa perbedaannya. Tidak, bukan perbedaan pada diriku, tapi Aditya. Entah kenapa lelaki itu terlihat kuyu. Apa dia naik jabatan? Apakah pekerjaannya menumpuk sepertiku? Aku tidak pernah bertanya, tidak pernah pula mau tahu. Di benakku, selama kebutuhan kami tercukupi, maka kami baik-baik saja.
"Dit, ini piring-piring kenapa belum habis dicuci? Kau pulang daritadi tapi tidak melakukan apapun! Masa pekerjaan begini saja tidak bisa kau selesaikan?"
Hari itu, aku meledak. Amarahku tumpah ruah ketika mendapati rumah masih dalam keadaan berantakan. Piring bekas makan belum dicuci, bantal sofa berserakan. Tubuhku ini rasanya sudah hampir remuk. Dalam perjalanan pulang aku mengharapkan keadaan rumah yang rapi, setidaknya itu mampu mengurangi beban di pundakku. Namun yang kudapati malah Aditya yang dengan santainya merebahkan tubuhnya di sofa sambil selonjor kaki.
"Nanti pasti aku cuci. Tubuhku lelah sekali rasanya." Balas Aditya. Tak kusadari betapa lemah suaranya saat itu. "Sebegitu lelah, kah, pekerjaanmu itu? Pekerja rendahan sepertimu tidak ada apa-apanya dibanding aku! Aku pergi pagi dan pulang hampir pagi juga! Belum lagi harus memasak, mencuci pakaianmu, menyapu, mengepel! Sedangkan kau, enak sekali bisa pulang cepat dan berleha-leha. Dasar tidak tahu diri! Tidak kah kau sadar, Dit? Tanpa aku, kau bukan apa-apa." Aku tertegun setelah selesai menumpahkan amarahku. Rasanya jahat sekali kata-kataku saat itu. Tapi aku tidak mau peduli. Pria ini harus sadar betapa salah sikapnya itu.
Kuperhatikan tubuh Aditya menegang. Namun setelah itu dia bangun, dan beranjak menuju dapur untuk menyelesaikan pekerjaan mencuci piringnya itu. Aku pun memilih berlalu untuk bebersih. Kalau berada lama-lama di sana rasanya bisa saja aku langsung meminta cerai saking marahnya.
Berminggu-minggu telah lewat setelah kejadian itu. Sekarang Aditya sudah jarang bicara. Wajahnya pun entah kenapa semakin terlihat lemas. Jujur, aku mulai khawatir. Aditya itu pria kuat, baik fisik maupun mentalnya. Pria itu tidak mudah jatuh sakit. Maka ketika melihat wajah pucatnya itu, aku berinisiatif membuka obrolan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Derana Lahirkan Asa
Short StoryTugas Cerpen Kelompok 5 : 1. Linaas 2.Gwen Sharlleen Suyanto 3.Nathania Kirana Mursyid 4.Radhika Akhila Zhafran 5.Seftya Ayuning Khoirunnisa 6.Yusa Yabes . S. P